Jalan
hidupku yang membawa arah, ke manapun ia melangkah, aku diam pasrah. Akulah
yang menjalani lika-likunya, dan sudah seharusnya ia yang mengikut, dan bukan
bertanya. Hidupku bukan hidupmu, jadi cukuplah simpan prakatamu, sebelum
semuanya jadi semu, dan hidupku jadi hidupmu. Aku tak mau! Apa yang telah
kuraih, dengan tangan yang selalu menggapai, takkan pernah cukup memenuhi ego
yang membuatku lunglai. Sekencang apa aku berlari? Secepat itukah aku mengejar,
apa? Diriku sendiri?
Langkahku
yang semula cepat, tiba-tiba bergetar hebat. Entah apa yang membuatku melambat,
apakah hujan badai, apakah hujan deras, ataukah hanya gerimis lebat? Aku terkesiap.
Seperti berlari sendirian di lintasan balap, putaran demi putaran kulahap,
dengan langkah kaki yang semakin berderap. Bayanganku mengejar semakin cepat
saja, padahal di putaran sebelumnya aku cukup berjalan manja. Begitukah putaran
kehidupan? Akan semakin cepat dan memusingkan, hingga tidak ada lagi asa untuk
bahkan melangkah pelan.
Sudah
sewajarnya tujuanku terkuak jelas, semua yang bisa dan tidak bisa kuraih, harus
bisa kupilih dengan bebas dan tegas. Tapi kenyataannya? Semua masih samar,
buram hampir tak berbentuk, dan jalannya belum tentu benar. Sedikit mencuat
harapan masa depan, dengan probabilitas yang tidak bisa dibilang bukan, tidak
juga bisa dibenarkan. Langkah demi langkah kulihat bayanganku akan selalu lebih
jauh di depan, menggenggam sedikit semangat terus belajar. Oh, aku harus terus
mengejar!
“Aku
mau melakukan sesuatu untuk satu alasan!”, pikirku di awal perjalanan. Satu
alasan yang paling konkret dan sekaligus paling klise adalah ‘menjadi bahagia’.
Bagaimana
mendefinisikan bahagia? Di saat semua yang aku lakukan membuatku gila? Oh,
dengan menyelesaikannya segera. Aku menyelesaikannya segera,
dengan harapan jadi bahagia. Perlahan, aku mulai paham artinya, ‘kebahagiaan
yang kudapat dari selesai segera dan selesai bermakna adalah sama’. Aku mulai
tenggelam dalam kebahagiaan yang lama-lama punya nama. Namanya bukan bahagia.
Di
saat filosofi datang menyapu semua logikaku, sekejap ototku kaku, lidahku kelu.
Seperti dihantam badai topan, aku terpaku. Ingin rasanya ikut lari bersama yang
lain, tapi apa arahnya sama, atau sama sekali lain? Kekakuan ini membuatku
jatuh tersungkur, tersapu sisa-sisa badai yang telah gugur. Aku masih hidup,
dan hari ini membuatku berpikir sejenak, apa yang membuatku redup? Apakah aku
terlalu bahagia? Atau karena “bahagia” ini aku jadi menderita? Entahlah. Aku
yakin.
Satu
alasan itu tiba-tiba jadi jelas, seperti kamu tersenyum di balik beningnya
gelas. Aku hanya ingin segera, dan bukannya bermakna. Itulah mengapa!
Kesegeraan membunuh makna. Aku belajar banyak menyelesaikan masalah dengan segera,
dan itu meletupkan kebahagiaan semu yang sama sekali berbeda. Menjadi bermakna
bukan berarti selalu sama, bisa saja berbeda, namun tetap seirama. Aku yakin,
untuk saat ini, itu yang akan kucari.