Seberkas mentari menahanmu disini. Kau tahu berapa banyak waktu yang ada, tidak banyak, namun cukup untuk menggelorakan
visimu sejenak. Terang itu menyilaukan, sekaligus memabukkan. Ia memanggilmu, menarikmu, dan mengurungmu dalam pikiran itu, pikiran yang diterangi oleh berkas-berkas cahaya yang mengintip di balik terali. Waktumu tidak
banyak.
Engkau berlari, mengejar cahaya itu. Tergila-gila kau dibuatnya, entah setengah gila atau sepenuhnya, matamu memandang
lurus dan lehermu tidak goyah, dan ayunan langkahmu mantap. Bukan kebetulan, kata orang cahaya itu luar biasa, menghadirkan makna, dan melegakan jiwa. Derap langkahmu makin cepat, mengingat waktumu tak banyak.
Langkahmu terlalu cepat, nafasmu terlalu lambat, dan semangatmu kurang hebat untuk mengimbangi apa yang menghantui kepalamu.
Engkau mulai kepayahan, matamu mulai gelap, hingga berkas cahaya itu perlahan hilang. Sesaat muncul pertanyaan di benakmu, “Benarkah ini?”, tanpa kau hiraukan, engkau paksa terus berlari. Waktumu tidak banyak.
Hingga berkas cahaya itu benar-benar hilang, pertanyaan tadi mengetuk lagi, “Apakah ini?”, dan engkau terlalu lelah
untuk mengabaikan godaannya, dan engkau jatuh juga. Satu kali, dan engkau kembali bangkit setelah sejenak kau luruskan lagi kakimu dan tekadmu. Cepat, waktu tidak banyak.
Pertanyaan itu datang lagi, kali ini bentuknya berbeda, lebih mirip pernyataan. “Bukan ini!”, katanya. Apa benar
ini? tanyamu dalam hati. Kali ini logikamu bergerak, menghitung semua kemungkinan yang ada, setiap titik cahaya yang kau dapati di depan matamu kau analisa. Sial! Bukan yang ini. Lalu engkau jatuh, kedua kali. Kali ini bukan
karena kakimu lelah, lebih karena hatimu menyerah. Kalau bukan yang ini, lalu yang mana?
Lehermu yang sebelumnya tegar, kali ini pasrah. Matamu yang sebelumnya cerah, kali ini payah. “Apa lagi?”, tanyamu
pada hidup. Tanpa sempat kau dapati jawabnya, kilatan cahaya lain lewat di depanmu, dan hilang begitu saja di ujung labirin. Tentu, bukan itu yang engkau cari, konsistensinya kurang. Sedetik berselang, lewat lagi kilatan tadi,
kali ini di belakangmu, yang hanya bisa kau tangkap dari sudut matamu. “Apa yang itu?”, tanyamu lagi, kali ini benar-benar lupa, waktumu tak banyak.
Sejenak dalam gelap membuatmu sadar. Kau dapati secercah sinar, tidak terlalu terang. Kau ikuti sinar itu, ia terus
bergerak menjauhimu. Terbiasa oleh kegagalan, engkau diam sebentar. Sinar itu ikut diam, namun tidak memudar. Waktumu mulai menipis, bisa kau rasakan detak jantungmu berdetik. Kali ini harus dapat, katamu dalam hati. Segenap
sisa tenagamu dan sedikit sisa hidupmu kau pertaruhkan
semuanya.
semuanya.
Detik terakhir, setelah sekian detik terlewati dengan sia-sia, kau dapati dirimu terjatuh, kepalamu terantuk batu, dan
matamu memejam, “Ini akhirnya.”, pikirmu. Namun, kau dapati sinar itu tetap ada, meski matamu terpejam, sambil mengucap doa yang terakhir, dan akhirnya bisa kau yakini bahwa terang tak melulu pasti, dan gelap tak selalu
mati. Cahaya itu ada di dalammu, selamanya.
No comments:
Post a Comment