Apa rasanya punya pandangan yang tak berbatas? Aku
punya sekarang. Duduk di hamparan pantai menghadap ke laut memberikanku
kebebasan luar biasa. Bagaikan keluar dari dirimu sendiri, lalu beterbangan
tanpa batas ke manapun kita mau. Aku bisa duduk berjam-jam di sana, dengan mata
yang terus menatap lurus.
Malam ini aku menabrak dinding, kemudian pecah
berkeping-keping, dan seketika aku memudar di udara. Kesadaranku kembali. Kamu
ada di sana. Kamulah dinding itu. Dinding pembatas paling cantik yang pernah
kuhadapi, dinding yang bisa membuatku menyerah bertekuk lutut untuk bisa
merubuhkannya, dinding yang membuatku rela terkurung di baliknya, tidak
bergerak ke mana-mana, tapi aku senang.
”Lagi apa sendirian malam-malam?” tanyamu lembut
saat aku menolehkan wajahku, kaget. Lidahku kelu. Dari pancaran sinar matamu,
kulihat dinding itu mulai runtuh, ia meruntuhkan dirinya sendiri, dan aku mulai
bisa melihat apa yang ada di baliknya. Kita berdua.
Semalaman itu, kita berangkulan di hamparan pantai
itu. Tidak, kita tidak sekali
pun saling berpandangan. Malam itu sungguh menakjubkan, bintang-bintang
bertaburan layaknya jerawat, membuatku memikirkan sesuatu, sesuatu yang akan
benar-benar meruntuhkan dinding pembatas di antara kita.
Waktunya benar-benar tepat saat itu, saat
kupalingkan wajahku ke arahmu. Kita sangat dekat. Aku memejamkan mata,
begitupun kamu. Kita berdua mendekat, seiring kudengar suara tabuhan drum
bertalu-talu mengiringi gerakanku saat itu. Sedikit lagi sampai, dan kamu
tiba-tiba mundur, membuyarkan drumband lengkap yang mengiringi saat itu.
”Waktunya belum tepat.” Katamu singkat, sambil berlalu. Aku sendiri lagi, siap
kembali terbang.
Esok paginya, kamu berada tepat di sebelahku saat
kubuka mata pertama kali. ”Selamat pagi.” katamu, sambil mengusap-usap rambutku
yang berantakan. Lalu kamu melompat pergi.
Bukan cara mengawali hari yang baik, kurasa.
Dugaanku tepat, seharian itu kuhabisi dengan hanya merenung, di saat kamu
terlihat sangat menikmati hari. Apa yang salah denganku? Hatiku bukan lembaran
trampolin yang bisa dengan mudah dilompati berkali-kali. Aku lebih mengenali
diriku sebagai selembar karpet bulu domba, yang bisa membuatmu betah
berlama-lama dengannya. Hari itu lewat begitu saja, sampai malam tiba.
Malam ini, aku kembali melayang-layang di udara,
mencari pencerahan yang mungkin akan datang dari atas. Biarkan aku yang jemput
pencerahan itu, tapi ia tidak datang juga. Aku tidak banyak melayang malam ini.
Aku duduk menumpukan dagu pada lutut sambil berpikir, panjang sekali. Apakah
ada maksudnya, semua ini? Dan, aku tidak mendapat jawabnya. Setidaknya aku
belajar satu hal malam ini, expecting sucks.
Tidak, aku tidak akan pernah bisa menahanmu di
sini. Kamu datang dan pergi, dan aku harus membiasakan diri dengan itu.
Beradaptasi dengan keadaan, bukankah itu esensi hidup yang terpenting? Apa yang
kita lihat tidak sama, dan takkan pernah sama. Biarlah seperti itu adanya. Aku
percaya adanya keajaiban, meski tidak datang saat ini.
No comments:
Post a Comment