Tidak ada yang
lebih menyebalkan daripada hujan di malam minggu. Bukan hujan biasa, badai yang
menerpa dan merubuhkan semua rencana brilian yang telah kususun sejak minggu
lalu. Hujan yang kini meninggalkanku duduk sendirian terpaku memandangi layar
komputer. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, Facebook jadi pelampiasanku malam
ini.
Wah, new friend request. Lumayan, pikirku. Thumbnail foto
profilnya menggodaku untuk lebih dari sekedar menekan tombol accept, dan
malah masuk ke profile page-nya. Dalam sepersekian detik proses ke sana , sejuta harapan mulai
bertunas di hatiku. Sedetik setelahnya, hatiku seketika lebat dipenuhi
tunas-tunas yang langsung berubah jadi pohon besar seakan-akan sudah ratusan
tahun.
Dimensi waktuku sekejap berhenti. Dengan tatapan yang kini menembus layar
komputer, kukagumi dirinya dengan segenap tenaga yang kupunya saat itu. Buset,
ganteng amat!
Tidak perlu dua detik untukku memikirkan langkah selanjutnya. Kutelusuri mutual
friends, dan kutemukan nama yang sangat familiar di sana . Valerie Sulistio.
“Val, kemarin gue di-add
sama Alberto Arnaldo di FB. Lo ada di mutual friends, kenal gak?”
tanyaku tanpa berbasa-basi lagi saat kutemui Val di kampus.
“Oh, itu ‘mah temen sekelas
gue! Napa, Kay? Demen lo?”
jawabnya santai.
”Kenalin gue, Val. Cepet!”
”Yakin, lo? Dia ganteng banget
sih, tapi dia......,” Val mulai nyerocos tanpa arah, “tapi orangnya baik, sih.”
Penutup yang baik. “Oke, besok
ya.” Jawabku seraya ngeloyor masuk kelas.
(dua hari kemudian..)
Aku terdiam terpaku di tempatku duduk. Memandanginya
dari jauh saja sudah membuatku kaku, bagaimana selanjutnya nanti, ya? Seiring
derap langkahnya yang semakin cepat, detak jantungku juga seakan
berlomba-lomba.
“Hai, Albert.“ Katanya sambil
menyodorkan tangannya ke arahku. Mampus!
”Kayla. Salam kenal, ya.”
Tidak habis pikir, bagaimana kalimat terakhir itu bisa meluncur dari mulutku.
Ia tersenyum tipis, lalu duduk
di sebelahku. Bahagia itu sederhana.
Aku mengerling ke Val, yang
dibalasnya dengan senyum masam yang tampaknya dipaksakan.
(dua minggu kemudian..)
Hanya perlu dua minggu, untukku mendapatkannya.
Ups, atau ia mendapatkanku. Sudah, tidak peduli. Semua judgement yang
pernah ditembakkan Val pada Albert tidak ada yang masuk akal. He’s too sweet
to be judged. Dua minggu kemarin jadi hari-hari paling bahagia dalam
hidupku sampai saat ini. Senyum yang biasanya terus-terusan pergi dari bibirku,
kini betah diam di sana seharian.
Aku mulai merasa, inilah jalan
kami berdua. Jalan terbaik. Aku selalu percaya, siapa yang sabar menunggu,
tidak pernah akan dikecewakan. Dalam kasus ini, aku memang sering menunggu.
Menunggunya selesai kelas untuk kemudian pulang bareng, menunggunya makan di
kantin dengan senyum yang masih mengembang. Aku sang penunggu sejati.
(lima bulan penantian kemudian..)
Waktu memang punya caranya sendiri. Ia berjalan
pelan di saat-saat bahagia, dan di kala kebahagiaan itu pergi, ia bergulir
cepat hingga aku tidak bisa mengejarnya lagi. Penantian-penantian itu, yang
awalnya kukira akan berbuah manis, kini mulai menunjukkan wajah aslinya.
Seperti perjalanan menempuh labirin berliku mencari secercah cahaya di
ujungnya, yang kutemukan malah api yang membakar semua yang tiba di ujungnya.
Aku mulai
mempertanyakan keyakinanku sendiri, tembok-tembok megah yang telah kubangun
bertahun-tahun kini seketika rubuh. Semua pikiran positif yang kukira bisa
membantu, kini kupersilakan pergi, dan mengundang lagi skeptisme yang dulu
kutendang jauh-jauh.
Dua minggu sudah
ia hilang tanpa kabar, setiap kutelepon ponselnya, nada sambunglah yang selalu
muncul. Di dalam setiap SMS yang kukirimkan, pasti kusisipkan segenggam cinta
yang kupunya. Kini habislah sudah, tak terbalas.
Aku percaya
penuh, kita semua hidup dalam rimba ketidakpastian. Dimensi ruang dan dimensi
waktu yang tidak pernah bisa berjalan bersamaan, yang membawa kita kepada
konsep ’kebetulan’, atau ’mukjizat’, yang mungkin terdengar religius. Aku tidak
pernah percaya adanya kebetulan. Bagiku, ’kebetulan’ yang mereka bicarakan itu
hanyalah kebaikan semesta pada mereka-mereka yang sudah berusaha terlalu keras
untuk mencapai apa yang sebenarnya bukan untuknya. Semesta memberinya satu
kesempatan, hanya untuk membuatnya sadar dan berpikir ulang.
Ketidakpastian
juga membawa kita untuk tidak lagi percaya adanya keabadian. Semua yang kita
miliki sekarang, hanyalah sesuatu yang berada di antara ’halo’ dan ’sampai
jumpa’. Tinggal waktu yang menentukan.
Kini, sampailah aku pada kesadaran penuh
yang berhasil kuraih kembali setelah lama terbuai dalam kebahagiaan semu penuh
harap. Tidak ada kebetulan dari awal kami bertemu, yang ada hanyalah
ketidakpastian yang tidak kusadari.
Kuambil ponselku
untuk mengiriminya satu SMS terakhir padanya, saat aku teringat ada satu tempat
lagi yang belum kuperiksa. Facebook. Aku meluncur cepat menuju ke profile
page-nya, mungkin untuk mencari pembenaran, atau alasan yang bisa membawaku
kembali. Tapi nihil.
”Bert, you’re perfect in every way, just not for me.
Kita udahan, ya.” Sent
Tepat setelah pesan terakhirku terkirim, mataku berhenti di
salah satu line di homepage Facebook.
“Alberto Arnaldo is now in a relationship with
Valerie Sulistio”
Tidak ada kebetulan, tidak ada kebetulan, batinku,
sambil mengurut dada.
No comments:
Post a Comment