Friday, June 1, 2012

Grey Area


Menunggumu di sini seperti menguapkan waktuku. Tidak ada yang tahu kapan kamu akan muncul, apakah tiba-tiba atau dengan pemberitahuan, apakah sebentar, atau bahkan kita akan duduk berjam-jam ditemani kopi yang menguap lebih cepat dari waktuku ini.
Kamu tahu, aku ingin sekali menghirup kopi yang sedari tadi terus kupandangi. Buihnya yang menghilang perlahan membuka ruang hitam yang memberiku waktu sebentar untuk memandangi wajahku sendiri di sana. Pandanganku dibuyarkan uap yang membubung ke atas, menghantarkan wangi pahit getir yang sangat kurindukan, seperti kehadiranmu di depanku saat ini. Andai saja.
Dari aromanya, aku bisa tahu, apa yang benar-benar kuhadapi saat ini. Pahit yang menyadarkanku dari segala ilusi optik yang selama ini berparade di depan mataku. Parade yang terus kuagung-agungkan sampai esensinya hilang. Ilusi yang menghantui sampai gambarnya kabur. Kini aku terperangkap dalam keabu-abuan, tanpa kepastian.
Andai bisa, aku ingin sekali melompat keluar dari kungkungan yang hitam bukan, putih pun bukan ini. Dan aku yakin, secangkir kopilah kunci yang bisa membukakan pintu keluarku. Atau, segelas susu yang baru saja kupesan. Hitam atau putih?
Lihat, bagaimana bisa aku keluar dari sini, kalau hitam atau putih pun membingungkan. Si abu-abu tampaknya sudah menancapkan kukunya terlalu dalam, menjauhkanku dari kebenaran dan mendekatkanku pada probabilitas. Sesuatu yang sangat sulit diterka. If someone says, curiosity kills the cat, I would say, probability kills the cat.
Tanpa pikir panjang lagi, atau tepatnya pita yang memuat semua pikiranku hampir habis, kutuangkan gelas yang berisi susu ke dalam gelas kopi. Aku sudah pasrah. Apabila hidupku memang ditakdirkan abu-abu, mungkin ini semacam perayaan yang harus kulakukan. Aku terlonjak dari posisiku semula. Albert Munsell punya cara sendiri untuk mendefinisikan warna, begitu pun aku. Hitam ditambah putih bisa kuyakini hasilnya bukan abu-abu, malah cokelat kekuningan. Detik itu juga, aku terbebas dari jeratan warna yang selama ini membohongiku.
Kusadari kedatanganmu dari bel pintu yang berbunyi saat kamu melangkah masuk. Aku, yang sudah di sini berjam-jam menunggu, akhirnya bisa bekerjasama dengan aku yang sudah menemukan terang dalam jalannya. Aku berjalan memutar, keluar tanpa bisa kamu sadari. Kehilangan yang mengagetkan, bukan?

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...