Elena sulit
tidur malam itu. Langit-langit putih yang terbentang tepat dua meter di atas
tempat tidurnya lebih menarik baginya dibandingkan dengan mimpi-mimpi yang
datang menjemputnya. Pikirannya masih belum bisa melupakan kejadian tadi,
kejadian paling manis dalam hidupnya. Ia masih ingat jelas, bagaimana Cedric
mengucapkan selamat malam sambil membukakan pintu mobil untuknya, bagaimana
mereka berpelukan, melepas kepergian satu sama lain.
Elena masih merenung, pelukan tadi terasa kurang berkesan baginya. Cedric
terlalu terburu-buru melepaskan diri saat dirinya baru merasa nyaman. Ia
mengangkat telepon, raut wajahnya langsung berubah, terpancar kepanikan yang
sangat hebat dari kedua matanya. Pasti Magenta. Elena tiba-tiba merasa ngantuk.
Sosok Magenta,
yang sama sekali belum pernah dilihatnya, sudah membuat Elena minder duluan.
Dari cerita Cedric, Magenta terdengar seperti putri kayangan yang sempurna
tanpa cela. Biasanya, setelah mendengar cerita rutin Cedric tentang sosok
sempurnanya itu, Elena menjauhi cermin. Ia tidak mau melihat dirinya sendiri.
Pun begitu, ia masih belum mau menyerah dengan Cedric.
Elena menemukan sosok sempurnanya dalam diri Cedric. Kesalahan yang
disadari sepenuhnya, namun ia tidak kuasa melawan. Elena terus tenggelam dalam
pesona Cedric, tanpa peduli keberadaan Magenta, yang sewaktu-waktu bisa
mencabut suplai oksigennya, hati Cedric.
*
Matahari sudah
tinggi saat Cedric membuka matanya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain
mematikan alarm yang sudah berbunyi berulang-ulang. Ia refleks menutupi
matanya dari sinar matahari siang yang menerobos masuk dari kaca jendelanya.
Sebentar, ia mengecek seseorang yang tidur di sebelahnya, Magenta, yang
ternyata masih terlelap. Ia
membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu melompat buru-buru dari tempat tidur.
Banyak hal yang dicintainya
dari Magenta, yang nomor satu adalah kesediaan Magenta untuk mendengarkan semua
keluh kesah Cedric, tanpa berusaha menambah kesulitannya dengan ceritanya
sendiri. Cedric telah menyerahkan separuh jiwanya pada sesosok yang
terbaring manja di tempat tidurnya itu.
*
“Lena ! Hoi!” teriak Kiara dari kejauhan, ia berusaha
mendapatkan perhatian dari sahabatnya yang sedang berjalan seperti tanpa arah
itu, tatapannya kosong.
“Hei, Ra.” Jawab Elena lemah. Hari itu, ia seperti dirundung duka yang
amat dalam.
“Ada apa, Len? Si Chicco mati?” tanya Kiara asal, sambil
pikirannya terus menerka-nerka, setan apa yang menjerat keceriaan sahabatnya
ini.
“Nggak, Ra. Masih sehat kok,
si Chicco. Makannya banyak
banget.” Suaranya masih datar.
”Terus lo kenapa?
Cerita-cerita kali ke sahabat lo ini, yang kebetulan masih punya kuping!” Kiara
belum juga menyerah.
Selanjutnya, pertemuan mereka
menjadi sepenuhnya berbeda dibanding pertemuan-pertemuan mereka biasanya. Kedua
sahabat karib yang selalu melempar ejekan ke satu sama lain, kini bertukar air
mata. Tentu saja, Elena lebih deras. Kini Kiara tahu penyebabnya, dan ia akan
berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan senyum sahabatnya itu.
*
Pada pertemuan mereka sebelumnya, semua berjalan
sangat baik. Malam ini, Elena ingin mencoba hal baru, yang siapa tahu bisa
semakin mendekatkan Cedric dengan dirinya.
Elena tiba di apartemen Cedric
tepat pukul tujuh, lebih cepat sejam dari janji. Elena pikir, akan lebih baik
jika ia datang lebih awal dan membantu Cedric menyiapkan makan malam, sesuatu
yang dijanjikannya sejak lama. Ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Ia mencoba
memutar kenop pintu yang dikiranya terkunci, ternyata tidak.
Terdengar suara deburan air
dari dalam kamar, Cedric sedang mandi rupanya. Pikiran jahilnya muncul untuk
mengagetkan Cedric sekeluarnya ia dari kamar. Elena berkeliling untuk mencari
tempat persembunyian terbaik, saat tiba-tiba langkahnya terhenti. Mulutnya
langsung menganga lebar, diikuti dengan suara ”wow” panjang. Ia mengurungkan
niat awalnya dan lebih tertarik dengan sesuatu yang baru saja ditemukannya.
”Elena, sejak kapan...” Cedric
yang baru keluar dari kamarnya spontan bertanya, pertanyaan yang tidak sempat
ia selesaikan ketika melihat apa yang terjadi di apartemennya.
”Ini beli dimana, Dric? Bagus
banget! Persis aslinya ya..” Elena mulai menembakkan peluru berisi pertanyaan
yang telah disiapkannya dari tadi. Tentu saja ditambah kekaguman yang jelas
tergambar di wajahnya.
“Hmm.. Ini.., ini..” Cedric
langsung terbata, tidak siap untuk menjawab Elena yang membombardirnya dengan
pertanyaan yang seakan tidak akan pernah bisa terjawab.
“Ah, kita makan malam yuk! Lapar
nih!” Elena yang tampak tidak sabar menyelamatkan Cedric dari kesengsaraannya.
Makan malam berjalan sempurna bagi
mereka berdua, setidaknya itu yang dipikirkan Elena. Dua porsi ketoprak yang
mereka pesan dari Bang Roni sudah cukup memenuhi janji Cedric. Memang tidak ada
makan malam mewah seperti yang dibayangkan Elena sebelum berangkat, namun semua
yang terjadi malam ini sudah cukup baginya, ia tidak akan meminta lebih lagi.
”Elena, pertanyaanmu tadi,
yang belum terjawab, aku ingin menjawabnya.” Cedric membuka pembicaraan dengan
hati-hati.
”Hmm, yang mana? Boneka itu?”
jawab Elena, santai.
”Iya. Itu Magenta.” jawab
Cedric sambil memandang ke kekasihnya yang masih duduk tenang di sofa.
”Hah? Kamu lucu banget, Dric.
Tapi, dia cantik lho.”
Cedric terdiam sebentar.
”Serius, Len.” Lalu ia mulai
menjelaskan, entah dari mana dimulainya.
Kali ini, Elena terbahak
keras, sambil tangannya mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya.
Perbuatan yang nantinya akan ia sesali seumur hidupnya. Cedric masih tajam
menatap matanya, sesuatu yang baru disadari Elena setelah sekitar dua menit
berada di pucuk kebahagiaannya. Elena langsung membuang tawanya jauh-jauh.
”Len, sudah malam, kamu
pulang, ya.” Cedric berkata-kata tanpa ekspresi.
“Hmm.. Chicco belum dikasih
makan. Aku pulang ya. Good night!“ Jawab Elena sambil menangkupkan kedua
telapak tangannya di depan mulut, menahan tawa.
*
Cedric tidak menyesali keputusannya semalam. Ia
tidak perlu menyesalinya, ia
melakukan tindakan yang tepat, pikirnya. Harinya pun dimulai seperti biasa,
bangun tidur saat matahari sudah tinggi, mengecup selamat pagi Magenta yang
masih terlelap, lalu memulai aktivitasnya. Ia sepertinya cukup bahagia.
”Dric, lo gila ya?” tembak
Kiara saat kebetulan ia menemuinya di jalan. Ia sudah tahu semuanya, semalam
Elena menumpahkan semua padanya. Itulah gunanya sahabat.
”Kenapa, Ra? Gue biasa aja
kok. Hidup gue sendiri, jangan ikut campur lah.” Cedric menjawabnya dengan
sinis, ia berhak untuk itu.
Kiara mulai melunak. Ia sadar,
pendekatannya salah. ”Dric, gue udah kenal lo dari lama, kita udah sering
cerita-cerita. Kalo ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue kok.” Kiara memulainya
lagi, kini lebih lembut.
”Gue udah capek, Ra. Sekarang
gue merasa bebas, gak ada lagi yang nyuruh-nyuruh gue,” Cedric memulai
ceritanya, nafasnya mulai berat. ”Magenta bisa jadi pendengar yang baik, tanpa
nambah-nambahin masalah gue seperti yang udah-udah. Gue cuma perlu pendengar,
Ra!”
”Oh, jadi lo masih belum bisa move
on?” timpal Kiara, sambil menunjukkan foto seseorang yang mirip sekali
dengan Magenta. Ialah Magenta yang sesungguhnya, benar-benar ada.
”Udah lah, Ra. Biarin gue
seperti sekarang aja, gak merugikan siapa pun, kan?” Cedric menjawab sambil
tertunduk lesu.
*
Beberapa hari dihabiskan Kiara bersama Cedric.
Kiara merasa perlu mengembalikan temannya itu ke jalan yang benar, ditambah
lagi, ia bisa menyelamatkan Elena sekaligus.
Empat hari yang menyedihkan
bagi Cedric akhirnya berakhir. Ia telah mengambil keputusan. Bersama Kiara, ia
menggantungkan Magenta palsu di dinding, mengikatnya erat-erat, lalu mereka
mundur tiga langkah, mengambil pisau dapur yang telah siap di meja.
”Siap, Dric?” tanya Kiara
hati-hati.
Cedric menganggukkan kepala,
air mata masih mengaliri deras pipinya.
Mereka maju tiga langkah, lalu
mulai menggoreskan pisau di tangan masing-masing ke kulit silikon Magenta.
Tangan Cedric seperti kaku, perlu Kiara di sampingnya untuk membantunya
menggoreskan pisau.
Prosesi ’pembantaian’ itu
akhirnya selesai, berbarengan dengan air mata Cedric yang berhenti mengalir.
Cedric mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, menandakan ketegaran yang telah
memenuhi pikirannya, dan ia siap untuk mencoba lagi.
Ponselnya berdering, nomor
yang tidak ia kenali terpampang di layar.
”Halo. Ini siapa, ya?”
tanyanya cepat, sambil tangannya masih memainkan pisau dapur yang tadi baru
mencabut nyawa ’seseorang’.
”Magenta. Kita perlu bicara,
Dric.” Suara di ujung telepon seketika menggema berulang-ulang di kepala
Cedric, membuatnya jatuh tertunduk. Kali ini dengan pisau dapur yang masih siap
sedia di tangannya, ia telah mencabut satu nyawa lagi.
“Dric, dric! Cedric!” Suara di
telepon mulai memenuhi seisi ruangan, tanpa ada jawaban.
***
No comments:
Post a Comment