Aku tidak
sanggup untuk terus-terusan tampil dalam setiap mimpimu. Apa gunanya, jika
kehadiranku hanya meninggalkan luka di hatimu, dan tentu hatiku juga. Aku ingin
pergi sepenuhnya dengan damai. Kepindahanku ke sini untuk beristirahat, bukan
malah menjadi bunga tidurmu.
Aku tidak
sanggup untuk terus-terusan ada di sampingmu. Ya, aku bahagia telah jatuh ke
dalam pelukmu, namun tidak saat ini. Ini saatnya aku bisa berdiri sendiri dan
berjalan dengan kedua kakiku sendiri, entah apa yang menungguku di depan.
Aku tidak
sanggup untuk terus-terusan menjadi orang yang namanya selalu kau sebut. Apa
gunanya, setiap kau sebut namaku, yang tertinggal hanya susutan air mata di
pipimu. Aku lelah dengan semuanya. Aku menyesali ketidakadaanku sekarang. Di
saat aku seharusnya membelai pipimu lembut, kini untuk membayangkannya pun aku
tak sanggup.
Biarlah cukup
aku yang merasakannya, kau tak perlu.
*
Sepanjang jalan itu kita terdiam. Radio pun telah
kumatikan karena sinyalnya tidak stabil. Kini aku sedikit kecewa, seharusnya
kubiarkan saja menyala, siapa tahu suara radio yang ’kresek-kresek’ itu bisa
membuka pembicaraan. Aku tahu, kau memandang lekat ke arahku, namun tanpa satu
patah kata pun yang kau ucap. Aku juga sesekali melihat ke arahmu, mengabaikan
jalan di depan kita berdua yang penuh ketidakpastian.
Jalan tol Cikampek, pukul dua
dini hari. Entah apa yang bisa kuharapkan dari kondisi itu. Tiga jalur kosong
yang mungkin bisa jadi arena lomba lari, saking sepinya. Lampu penerangan yang
tidak semuanya menyala, menyamarkan pandangan semua pengemudi, termasuk aku. Jarak
pandang yang hanya sekitar tiga meter ke depan membuatku semakin penasaran
dengan apa yang ada di depannya lagi. Lagi dan lagi. Mungkin, semangat itulah
yang membuat kami, para pengemudi, mencapai tujuannya.
Kau juga memandang ke depan, menelusuri semua
kemungkinan yang menunggu kita di sana. Sesekali, kulihat kau memejamkan matamu
sesaat, entah karena kau mengantuk, atau kau mencoba melihat dengan lebih
jelas. Mulutmu masih terkatup, namun pandangan matamu tajam, seakan
berkata-kata. Aku sudah berpengalaman denganmu selama lima tahun tanpa putus,
tentu saja aku bisa menangkap artinya dengan jelas.
Aku tidak bisa bersamamu
lagi, pergilah jauh-jauh.
Aku ingin berteriak. Sekeras-kerasnya, sampai pita
suaraku putus. Namun, kuurungkan niatku itu. Aku malah menggenggam jemarimu
erat, mencoba mentransfer kehangatan yang tersisa. Sempat aku berpikir untuk
menyalakan radio yang ’kresek-kresek’ itu, mungkin sedikit gangguan bisa
mengusir pikiran itu dari kepalamu.
Perlahan aku teringat, satu
kalimat yang pernah kuucapkan padamu dulu. ”Hatiku cuma milikmu.”
Kini aku mulai mempertanyakan
diriku sendiri,
Lalu, hatiku untuk siapa?
Perjalanan ini menyakitkanku. Bagaimana kita
memulainya, dan kini harus mengakhirinya seperti ini. Baru kali ini, kudengar
kau berkata seperti itu. Kukira hati kita menyatu, melekat kuat tanpa ada yang
bisa memisahkannya.
Ketika aku tersadar, jawaban
atas pertanyaanku tadi perlahan-lahan menunjukkan bentuknya. Aku mencoba
berlari dari kenyataan yang kiranya telah siap menerkamku bulat-bulat. Kakiku
hilang.
Aku berusaha melompati tembok
pemisah yang berdiri kokoh di antara kita, di mana aku bisa melihatmu melambai
padaku. Wajahmu menunjukkan ketulusan, seakan ini adalah perpisahan termanis
kita. Aku mau menggapai batu pertama. Tanganku hilang.
”Kamu di rumah sakit sekarang,
tadi pagi kamu kecelakaan. Pacarmu tidak terselamatkan.”
Aku benar-benar teriak.
No comments:
Post a Comment