Pernahkah
sejenak kamu menutup matamu? Menghilang dari peradaban. Memisahkan diri dari
kenyataan. Membentuk sendiri realitasmu, yang sepenuhnya kamu. Dari kamu, untuk
kamu, dan hanya kamu. Bumi yang terus berputar, tidak menyisakan waktu barang
sedetik untukmu melihat ke dalammu. Semua hanya semata uang, pendapat orang,
dan membuang waktu luang. Pernahkah sedikit terpikir di benakmu, untuk bisa
terpejam sehari, tanpa perlu melihat dunia yang putarannya takkan pernah bisa
kamu hentikan. Pernahkah tergambar di mimpimu, saat-saat kamu harus menanggapi
apa kata orang, membuang waktu dan peluang, hanya untuk seutas kalimat
pembelaan yang bahkan kamu ucapkan secara otomatis. Bayangkan semua itu hilang
sekarang! Tidak ada lagi bisik-bisik cemburu di belakang, di depan, atau di
manapun karena kamu tidak bisa melihat. Tidak ada lagi waktu yang terbuang,
semua hanya untuk dirimu sendiri. Bayangkan kamu tidak perlu melihat dirimu
sendiri di depan cermin dan terkadang mengeluh, “Aku gemuk.” atau apa saja yang
bisa memojokkanmu sendiri. Dan, jika kamu punya waktu lebih, tolong
mendongaklah. Pandang Tuhanmu yang sudah lama kau tinggalkan demi persepsi
orang tentang dirimu. Tidak, tidak perlulah kamu membuka mata, mata hatimu yang
akan bekerja.
Pernahkah
sejenak kamu menutup telingamu? Menutup jalan masuk semua hal yang membentuk
jalan pikiranmu sekarang. Bisakah kamu tetap bertahan? Apa hidup telah
melatihmu untuk terus mendengar, dan bukannya mendengarkan? Tolong, jika ada
satu orangpun yang berkata buruk tentangmu, lewatkanlah. Telingamu bukan untuk
itu. Coba, sekarang ambillah dua gelas plastik, tenggaklah semua airnya, lalu
tangkupkan di kedua telingamu. Apa yang kamu dengar? Kedamaian? Tentu saja.
Saat kamu menangkupkan kedua gelas itu di kedua cuping telingamu, suara-suara
di sekitarmu terdistorsi hingga hilanglah kekhawatiranmu akan isinya. Dan kamu
hanya perlu menertawakannya, orang-orang gila yang terus saja berbicara kosong,
seolah-olah merekalah yang paling pintar. Dan kamu di sana hanya tersenyum
sambil memejamkan mata, menerka-nerka apa yang sebenarnya mereka sampaikan.
Orang-orang itu yang tidak mengerti duniamu, dan takkan pernah mengerti. Sekali
lagi, kamu tinggal tersenyum.
Pernahkah
sejenak kamu menutup mulutmu? Diam termenung memandangi satu titik
berulang-ulang yang sepertinya akan menusuk kerongkonganmu. Mengolah semua
perasaan yang meletup-letup ingin dimuntahkan. “Pantaskah aku ada di sini, membaktikan
diriku pada dunia, dan bukan pada sesuatu yang tinggi di atas sana?” Begitu
tanyamu.
No comments:
Post a Comment