Saturday, December 15, 2012

Essence of Life


Benarkah manusia diciptakan untuk mencintai, dan bukannya dicintai? Semua orang bilang, “Kamu resmi jadi gentleman saat kamu bisa menerima kebahagiaan orang dengan tidak bersamamu.” Tidakkah bisa semua persepsi itu diubah, demi keselamatan kita semua, baik yang ingin dicinta atau pun yang selalu rela mencinta.

Benarkah manusia diciptakan berpasang-pasangan? Saat di mana kamu tidak bisa melihat yang lain lagi, hanya dia seorang. Saat di mana semua yang hidup di sekelilingmu seakan mati, merelakan hidupnya bagi satu orang yang terus kamu pandang. Saat di mana kamu lihat terbitnya matahari yang sepenuhnya lain dari yang biasa kamu lihat, dan kamu tahu pada saat itu juga, kamu tidak bisa berpaling lagi dari sang mentari baru.

Benarkah Tuhan punya rencana atas semuanya? Semua orang bilang begitu. Saat kamu dikekang sesak mendera, kamu tahu kamu punya Tuhan. Saat kamu jatuh sedalam-dalamnya, kamu tahu Tuhan yang akan mengangkatmu kembali. Namun tidakkah Tuhan punya pilihan, dan Dia menyuruhmu memainkan hidupmu sendiri. Seperti pintu-pintu yang tertutup, kamu harus memilih pintu mana yang akan kamu buka, dan pintu itulah yang mendefinisikan dirimu. Selanjutnya, milyaran pintu-pintu lainnya telah menunggu.

Dan Tuhan memintamu untuk membuat pilihan atas hidupmu sendiri. Dengan segala keplin-plananmu, segala inkonsistensi yang kamu punya, dan segala bentuk kemungkinan yang telah kamu gambarkan baik-baik di kepalamu. Jalan mana yang akan kamu pilih? Bukankah itu esensi hidup yang paling mulia, membuat pilihan?

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...