Mataku tak bisa berpindah, terus tertuju di foto itu. Rasanya berat untuk sekedar menggerakkan telunjuk kiri sedikit. Memori yang lama hilang seakan menampakkan dirinya kembali, dan otomatis terputar tanpa bisa kuhentikan.
Malam itu, hari pertama di tahun 2012, saat semua menyambut tahun baru dengan ceria, penuh resolusi dan pengharapan tinggi. Aku bukannya tidak punya harapan, tapi tolong jangan bicarakan itu sekarang. Aku masih terkunci rapat diruang kerjaku, bukan seperti yang kalian harapkan, tapi aku memang menguncinya. Bukan untuk pekerjaan kantor atau project– project pribadiku, lebih sekedar melihat kebelakang sebentar, masa lalu yang menjadikanku kini.
Foto itu, 31 Desember 2006, Times Square , New York . Sebagai turis kurang informasi pemberani, atau lebih tepatnya sinting, mungkin tidak seharusnya aku berada disana. Setelah berkeliling New York sekitar tiga jam mencari arah tanpa tuntunan peta dan kemampuan bahasa yang nol, akhirnya kutemukan juga tujuanku. Sekitar pukul tiga petang, sepanjang jalan sudah dipadati warga setempat, dan mungkin ada turis – turis yang tidak terlihat. Ditambah aku.
Cuma bermodalkan senyum yang kulempar pada orang – orang di sekitarku,akhirnya aku mendapat tempat yang cukup strategis untuk bisa mengedarkan pandangan ke segala arah. Saat itu pukul empat, masih lama tampaknya. Tidak ada yang bisa kulakukan, mengobrol pun tidak. Cuma senyum.
Menunggu delapan jam sungguh bukan perkara mudah. Semakin malam, orang semakin berdesakan. Ada banyak orang lalu lalang menawarkan topi tahun baru bertuliskan salah satu merk perawatan kulit terkenal. Pada tawaran pertama, aku menolaknya. Bukan karena aku tidak mau, lebih karena tidak tahu. Setelah melihat banyak orang menerima dan menggunakannya, aku pikir itu gratis. Dengan bahasa tarzan yang sedikit dibuat –buat, akhirnya kudapatkan juga. Lumayan, buat oleh – oleh keluarga. Gratis lagi.
Kulihat di kejauhan, ada wajah yang tidak asing di mataku, orang Asia. Tepatnya Indonesia. Dengan semangat bertemu saudara sekandung, aku mulai bergerak berpindah mendekatinya. Dia tampaknya juga menyadari pendekatanku,sembari memberi senyuman, dia juga bergerak mendekat.
Kami akhirnya dekat, dari hitungan jarak. Hitungan hati, belum. Kami pun terlibat obrolan ringan, sekedar bertanya asal muasal masing – masing, tanpa sempat bertanya nama. ”Ten, nine, eight....” perhitungan mundur pun dimulai, kami semua di sepanjang jalan itu terpaku pada menara tinggi tempat angka – angka bergerak mundur. Kami berdua juga. Tepat pada hitungan terakhir, dan tulisan ”HAPPY NEW YEAR”menyapa, orang – orang di sekitar kami mulai memeluk pasangannya, dan berciuman. Aku cuma diam, cuma mengedarkan pandanganku pada orang – orang itu. Terasa aneh, sebagai orang asing disini dikelilingi warga lokal sibuk mencium pasangannya masing – masing. Pandanganku bertemu dengannya, sesama Indonesia tanpa nama. Aku bertaruh dia pun merasa aneh ada di tempat ini.
“Gimana kalau kita...,” tanpa sempat kuselesaikan kalimatku, tahu – tahu kami sudah melekatkan bibir kami satu sama lain. Tidak perlu kata – kata, pikirku. Sesaat setelah kami tersadar dari apa yang barusan kami lakukan, dia memperkenalkan diri, aku juga, tergagap.
Setelah menuliskan semua hal yang menyesakkan pikiranku, akhirnya terasa lega. Tepat saat kutekan tombol post, terdengar suara pintu kaca bergesek membuka. Anakku. Segera kuselesaikan ritual ini dan menutup laptop-ku. Aku pindah ke sofa dan membiarkan anakku menumpangkan kepalanya di pahaku, nyaman katanya.
Sebelum ia jatuh tertidur, kami biasa menceritakan kisah – kisah dongeng romantis, yang selalu ia minta ulangi setiap malam. Malam ini berbeda,kukisahkan hasil perenungan dan perjalananku barusan. Bagaimana romantis Papanya ini bertemu dengan Mamanya, yang sempat tidak punya nama.
No comments:
Post a Comment