Saturday, December 31, 2011

Lamunan


Pusat kebugaran biasanya selalu dibuat sejuk dan nyaman. Mengapa? Sejak berkeringat menjadi tujuan utama, semburan angin sejuk yang bagai surga itu seakan bersembunyi dibalik lenguhan – lenguhan puas para anggotanya. Kehangatan selalu menyelimuti tempat itu. Puluhan pria dengan otot yang selalu membesar setiap harinya begitu rajin mengecek perkembangan di cermin, entah perlu atau cuma sekedar pemujaan diri. Wanita yang tidak kalah banyak, dengan semangat pantang menyerah, berusaha membakar setiap mili lemak di tubuhnya. Sambil mereka sesekali menggoda sesamanya, cukup ’Sudah turun berapa? Aku lima loh,’ dengan diiringi tawa penuh kemenangan, yang kadang cuma terbalas senyum masam.

Tapi siang itu berbeda. Dingin yang dengan pede-nya menyeruak keluar, diiringi deru mesin pendingin dan pengharum ruangan otomatis yang setiap lima menit tidak alpa menyemprotkan wewangian khas. Alat – alat yang biasanya digilir belasan anggota sampai aku bisa dengar rintihan lelahnya, kali ini tampak riang. Cermin yang biasanya rela jadi orang lain, kini jadi dirinya sendiri, menyatu dengan ruangan itu. Aku, masih dengan earphone yang menggantung sebelah, masih terus berlari mengejarnya. Siapa? Tidak ada siapa – siapa disana, cuma lamunanku saja.

Rambutnya yang panjang sengaja diurai lepas, bergoyang serentak dengan langkahnya yang cepat di karpet treadmill. Ia tidak pernah lambat, selalu berlari. Aku cuma tahu sedikit tentangnya, hanya sepengelihatanku di pantulan kaca yang membatasi kami, para anggota, dengan udara luar. Ketika mendung, bayangannya tampak jelas, sejelas ia menatapku lama setelah ia selesai berlari. Ketika cerah, semuanya nampak pudar. Tapi masih ada secercah bayangan yang kutangkap, persis di wajahnya.

Pernah, suatu hari aku pindah dari tempatku biasa berlari, yang secara tidak langsung sudah kutempelkan namaku disana, demi melihatnya lebih dekat. Tampaknya ia menyadarinya dari awal, dan memilih tidak berlari hari itu. Kembali, rasa hampa peninggalan mantan – mantanku sebelumnya mengetuk pintu, meminta masuk. Hari itu lewat lagi, seperti ratusan hari yang lalu. Tanpa hasil namun ada kepuasan disana.

Satu hari di bulan Januari, saat hujan sedang lebat – lebatnya. Tidak banyak anggota hari itu. Aku, seperti biasa, berlari tanpa tujuan, mengejarnya. Maksudku, bayangannya. Aku tidak peduli apapun hari itu, terlihat jelas dari earphone-ku yang menggantung keduanya, dengan volume maksimal yang bisa diterima gendang telingaku. Kecepatan lariku meningkat seiring dengan tombol bergambar segitiga yang kutekan terus.

Dengan kecepatan seperti itu, dan dunia yang terpisah dari kenyataan, banyaknya tetes keringat yang membasahi pun jadi tidak terasa. Ini hal terakhir yang kuingat sebelum akhirnya terbangun di ruang ganti, saat itu sebulir jagung keringat menyelinap masuk ke mataku. Refleks, aku menyekanya cepat – cepat, dan aku kehilangan waktu untuk menyesuaikan langkahku. Aku terjatuh, terseret karpet yang terus berputar, lalu, aku lupa.

Saat kubuka mata, ada selembar handuk di sebelahku. Ada terselip selembar memo, ”Hati – hati, dong!” Aku menerka, dan dalam hitungan detik, ia muncul di depanku dengan segenggam es batu. Ini yang kutunggu.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...