Pusat kebugaran biasanya selalu dibuat sejuk dan nyaman. Mengapa? Sejak
berkeringat menjadi tujuan utama, semburan angin sejuk yang bagai surga itu
seakan bersembunyi dibalik lenguhan – lenguhan puas para anggotanya. Kehangatan
selalu menyelimuti tempat itu. Puluhan pria dengan otot yang selalu membesar
setiap harinya begitu rajin mengecek perkembangan di cermin, entah perlu atau
cuma sekedar pemujaan diri. Wanita yang tidak kalah banyak, dengan semangat
pantang menyerah, berusaha membakar setiap mili lemak di tubuhnya. Sambil
mereka sesekali menggoda sesamanya, cukup ’Sudah turun berapa? Aku lima loh,’
dengan diiringi tawa penuh kemenangan, yang kadang cuma terbalas senyum masam.
Tapi siang itu berbeda. Dingin yang dengan pede-nya menyeruak keluar,
diiringi deru mesin pendingin dan pengharum ruangan otomatis yang setiap lima
menit tidak alpa menyemprotkan wewangian khas. Alat – alat yang biasanya
digilir belasan anggota sampai aku bisa dengar rintihan lelahnya, kali ini
tampak riang. Cermin yang biasanya rela jadi orang lain, kini jadi dirinya
sendiri, menyatu dengan ruangan itu. Aku, masih dengan earphone yang menggantung sebelah, masih terus berlari mengejarnya.
Siapa? Tidak ada siapa – siapa disana, cuma lamunanku saja.
Rambutnya yang panjang sengaja diurai lepas, bergoyang serentak dengan
langkahnya yang cepat di karpet treadmill.
Ia tidak pernah lambat, selalu berlari. Aku cuma tahu sedikit tentangnya, hanya
sepengelihatanku di pantulan kaca yang membatasi kami, para anggota, dengan
udara luar. Ketika mendung, bayangannya tampak jelas, sejelas ia menatapku lama
setelah ia selesai berlari. Ketika cerah, semuanya nampak pudar. Tapi masih ada
secercah bayangan yang kutangkap, persis di wajahnya.
Pernah, suatu hari aku pindah dari tempatku biasa berlari, yang secara
tidak langsung sudah kutempelkan namaku disana, demi melihatnya lebih dekat.
Tampaknya ia menyadarinya dari awal, dan memilih tidak berlari hari itu.
Kembali, rasa hampa peninggalan mantan – mantanku sebelumnya mengetuk pintu,
meminta masuk. Hari itu lewat lagi, seperti ratusan hari yang lalu. Tanpa hasil
namun ada kepuasan disana.
Satu hari di bulan Januari, saat hujan sedang lebat – lebatnya. Tidak
banyak anggota hari itu. Aku, seperti biasa, berlari tanpa tujuan, mengejarnya.
Maksudku, bayangannya. Aku tidak peduli apapun hari itu, terlihat jelas dari earphone-ku yang menggantung keduanya,
dengan volume maksimal yang bisa diterima gendang telingaku. Kecepatan lariku
meningkat seiring dengan tombol bergambar segitiga yang kutekan terus.
Dengan kecepatan seperti itu, dan dunia yang terpisah dari kenyataan,
banyaknya tetes keringat yang membasahi pun jadi tidak terasa. Ini hal terakhir
yang kuingat sebelum akhirnya terbangun di ruang ganti, saat itu sebulir jagung
keringat menyelinap masuk ke mataku. Refleks, aku menyekanya cepat – cepat, dan
aku kehilangan waktu untuk menyesuaikan langkahku. Aku terjatuh, terseret
karpet yang terus berputar, lalu, aku lupa.
Saat kubuka mata, ada selembar handuk di sebelahku. Ada terselip selembar
memo, ”Hati – hati, dong!” Aku menerka, dan dalam hitungan detik, ia muncul di
depanku dengan segenggam es batu. Ini yang kutunggu.
No comments:
Post a Comment