Musim hujan tidak ada artinya tanpa segelas cokelat panas, atau dua gelas. Begitu
pula aku, tidak ada artinya tanpa dirimu, atau dua dirimu. Satu untukku dan
satu untukmu. Dirimu untukku semua.
Rintik hujan di luar seakan mengunci kakiku dengan rapat, melekatkan sofa
empuk dengan punggungku seakan menahanku untuk tidak kemana – mana, bahkan
untuk sekedar buang air kecil. Penahanan yang sama sekali tidak membuatku
meronta dan malah membuatku memintanya terus begitu. Didekap oleh selembar
selimut hangat kesukaanku, lebih karena baunya daripada kelembutannya, aku
jatuh semakin dalam memuja kehangatan itu. Lantai kayu yang terhampar seolah
mengancam ’jangan pergi dari sini, atau kamu akan menyesal.’ Aku tidak melawan,
tidak akan.
Novel lima ratus halaman, dengan wangi khas kertas yang memanggil –
manggil, semakin mengekang ruang gerakku menjadi cuma sepenjentikkan jari untuk
membaliknya, halaman demi halaman. Terjerembab semakin dalam di galaksi asing
rekaan si novelis, baris demi baris kalimat terasa menusuk hati. Sampai
akhirnya aku berhenti di sebaris kalimat, yang aku curigai sang novelis
menulisnya eksklusif untukku, untuk memperingati kehancuran hatiku, dan mungkin
hatinya.
’Beberapa hal tidak pantas dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan.’ Sulit
untuk membalik halaman setelah menyadari keberadaan kalimat ini. Jemari terasa
dingin, dugaanku beku, putaran otak seakan tertahan keberadaan memori lama yang
terproyeksikan kembali dalam lamunan. Perlahan namun pasti, mataku terpejam,
setelah kuyakini, mungkin jalan ini yang paling tepat.
Cerita dia, bukan yang terindah, bukan yang terlama, tapi pasti yang paling
membekas. Kami, berdua, cuma bertahan paling lama dua bulan, sebelum akhirnya
kami menyerah pada ketidaksamaan kami. Ketidaksamaan yang sesungguhnya aku
anggap sama, tapi ia tidak. Kesungguhan yang tak terbalas, yang bahkan tidak ia
terima. Kekaguman yang sulit hilang, hingga sekarang.
Tanpanya, mungkin aku bahagia, begitu pula ia tanpaku. Secara logika bisa
diterima. Walau kita semua tahu, cinta bukan semata benar atau salah. Kadang,
kebenaran bisa disalahkan, kesalahan bisa dibenarkan. Apa yang menurutmu pantas
disalahkan atas ’kekeliruan’ itu? Tidak, bukan cinta jawabmu.
Misteri ini, atau lebih tepat disebut nurani, harus dibenarkan. Siapa yang
mau seumur hidupnya hanya diwarnai satu cinta? Cinta yang mungkin tertiup angin
sehingga tak diterima. Jika ada tawaran seperti itu, aku dengan rela pasti
memilihmu. Pasti. Biarlah nuraniku salah selamanya, karena denganmu aku merasa
benar.
Tanpa kau sadari, aku sudah simpan rasa ini sejak tiga tahun lalu, dan
sampai sekarang masih belum berani aku ungkapkan kepadamu. Bisa kau hitung
berapa cinta yang kupendam, jika dalam sedetik aku merindukanmu satu kali?
Sembilan puluh tiga juta tiga ratus dua belas ribu cinta. Silakan ambil
kalkulatormu.
Belaian lembut di pipiku sepertinya tahu aku akan jatuh lebih dalam lagi di
pusaranmu, jadi segeralah ia berubah menjadi tamparan lembut yang seketika
langsung menyadarkanku. Masih belum sempat aku sampaikan padamu, ya?
No comments:
Post a Comment