Friday, December 30, 2011

Mengenalmu


Musim hujan tidak ada artinya tanpa segelas cokelat panas, atau dua gelas. Begitu pula aku, tidak ada artinya tanpa dirimu, atau dua dirimu. Satu untukku dan satu untukmu. Dirimu untukku semua.

Rintik hujan di luar seakan mengunci kakiku dengan rapat, melekatkan sofa empuk dengan punggungku seakan menahanku untuk tidak kemana – mana, bahkan untuk sekedar buang air kecil. Penahanan yang sama sekali tidak membuatku meronta dan malah membuatku memintanya terus begitu. Didekap oleh selembar selimut hangat kesukaanku, lebih karena baunya daripada kelembutannya, aku jatuh semakin dalam memuja kehangatan itu. Lantai kayu yang terhampar seolah mengancam ’jangan pergi dari sini, atau kamu akan menyesal.’ Aku tidak melawan, tidak akan.

Novel lima ratus halaman, dengan wangi khas kertas yang memanggil – manggil, semakin mengekang ruang gerakku menjadi cuma sepenjentikkan jari untuk membaliknya, halaman demi halaman. Terjerembab semakin dalam di galaksi asing rekaan si novelis, baris demi baris kalimat terasa menusuk hati. Sampai akhirnya aku berhenti di sebaris kalimat, yang aku curigai sang novelis menulisnya eksklusif untukku, untuk memperingati kehancuran hatiku, dan mungkin hatinya.

’Beberapa hal tidak pantas dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan.’ Sulit untuk membalik halaman setelah menyadari keberadaan kalimat ini. Jemari terasa dingin, dugaanku beku, putaran otak seakan tertahan keberadaan memori lama yang terproyeksikan kembali dalam lamunan. Perlahan namun pasti, mataku terpejam, setelah kuyakini, mungkin jalan ini yang paling tepat.

Cerita dia, bukan yang terindah, bukan yang terlama, tapi pasti yang paling membekas. Kami, berdua, cuma bertahan paling lama dua bulan, sebelum akhirnya kami menyerah pada ketidaksamaan kami. Ketidaksamaan yang sesungguhnya aku anggap sama, tapi ia tidak. Kesungguhan yang tak terbalas, yang bahkan tidak ia terima. Kekaguman yang sulit hilang, hingga sekarang.

Tanpanya, mungkin aku bahagia, begitu pula ia tanpaku. Secara logika bisa diterima. Walau kita semua tahu, cinta bukan semata benar atau salah. Kadang, kebenaran bisa disalahkan, kesalahan bisa dibenarkan. Apa yang menurutmu pantas disalahkan atas ’kekeliruan’ itu? Tidak, bukan cinta jawabmu.

Misteri ini, atau lebih tepat disebut nurani, harus dibenarkan. Siapa yang mau seumur hidupnya hanya diwarnai satu cinta? Cinta yang mungkin tertiup angin sehingga tak diterima. Jika ada tawaran seperti itu, aku dengan rela pasti memilihmu. Pasti. Biarlah nuraniku salah selamanya, karena denganmu aku merasa benar.

Tanpa kau sadari, aku sudah simpan rasa ini sejak tiga tahun lalu, dan sampai sekarang masih belum berani aku ungkapkan kepadamu. Bisa kau hitung berapa cinta yang kupendam, jika dalam sedetik aku merindukanmu satu kali? Sembilan puluh tiga juta tiga ratus dua belas ribu cinta. Silakan ambil kalkulatormu.

Belaian lembut di pipiku sepertinya tahu aku akan jatuh lebih dalam lagi di pusaranmu, jadi segeralah ia berubah menjadi tamparan lembut yang seketika langsung menyadarkanku. Masih belum sempat aku sampaikan padamu, ya?

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...