Friday, December 16, 2011

I.L.U


Ini bukan malam yang panjang, namun bukan juga yang singkat. Daun jendela yang kadang menutup otomatis kena semburan angin malam, pintu yang terus – terusan menutup padahal ingin dibuka. Rasanya malam ini cukup mewakili perasaanku, disamping derasnya hujan yang seakan terus meraung – raung benci. Lantunan pemutar musikku juga tanpa daya menyerah pada derasnya hujan, sehingga cuma sepatah – dua patah lirik yang terdengar dari lagu yang dimainkan.

Ingin rasanya aku menghambur keluar, berteriak di tengah hujan. Melakukan apa yang ingin kulakukan sekarang, menangis. Dengan begitu mungkin derai tangisku akan tersembunyi, tersaru dengan hujan.

Adalah dia, yang pertama, dan yang kuharap jadi yang terakhir. Diana namanya, parasnya biasa saja, cantik juga biasa saja. Kibasan rambutnya tidak semenggoda bintang iklan sampo kecantikan itu, wajahnya tidak secerah artis manapun yang bisa kau sebutkan. Tapi hatinya luar biasa. Hati itulah yang bisa membawa lelaki manapun terbang ke surga tertingginya. Hati itulah yang bisa membuatku melepaskan kata – kata yang sebelumnya sulit terucap, ”I love you”.

Aku, salah satu aset terbesar yang dimiliki negeri ini. Bukannya sombong, tapi hampir di seluruh gelaran kompetisi sains yang pernah diadakan di negeri ini, pasti kau temukan namaku disana. Di tempat tertinggi pastinya. Di salah satu sudut kamarku, berdiri dengan bangganya satu set lemari kaca besar, dengan piala – piala hasil kerja kerasku terpampang gagah di dalamnya. Tapi itu semua tidak membuatku punya kebanggaan yang cukup untuk membawaku keluar dari kamar dan mulai melangkah maju. Hari – hariku cukup banyak dipenuhi dengan diktat – diktat tebal, pulpen berbagai rupa, dari yang tebal hingga yang lebih tipis dari rambutmu sendiri, kertas – kertas soal bertebaran hampir di seluruh sudut kamar. Semua itu yang harus dibayar demi piala – piala gagah yang sombong itu.

Romantisme malam itu tidak berlangsung lama. Sesaat setelah hujan reda, Andre, salah satu jenius sains sepertiku mampir kerumah. ”Reza!”, teriaknya dari balik pagar depan. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku, Andre membawa setumpuk diktat fisika miliknya, serta satu tas penuh berisi soal – soal fisika terapan yang didalaminya setahun ini. ”Yaa!”, jawabku dari balik tirai sambil berlalu ke pintu depan. ”Sudah siap belum buat seleksi besok?”, sembur Andre yang sangat telak menamparku di pipi kanan kiri, karena selembar pun belum kupelajari. ”Belum, Dre. Yuk ke kamar aja!”, jawabku pura – pura terlihat santai sambil menyembunyikan bekas tangisan tadi. ”Udah hampir subuh kali, Dre. Ngapain kamu kesini?”, tantangku. ”Kamu juga kok belum tidur? Kukira lagi belajar, jadi ya aku datang aja, mau belajar bareng.”, jawabnya lebih santai.

Akhirnya, sesi belajar dadakan itu pun berakhir, tepat pukul enam. Andre pun segera pulang untuk bersiap berangkat kuliah, begitupun denganku. Dengan raut muka yang sudah tak keruan hasil belajar tadi, ditambah tangisan tadi malam, perlu hampir satu jam aku di dalam sana. Cuma diam memandangi wajah seseorang di balik cermin, apakah dia bernyawa? Apa yang akan dia lakukan jika jadi diriku? Entahlah, dia juga tidak menjawab.


Tidak kulihat Diana di kampus, aroma parfumnya pun tidak sempat lewat depan hidungku. Apa dia sudah pulang? Dengan siapa?. Biasanya dia pasti menungguku, selama apapun. Kuputuskan saja pulang sendiri, dengan pikiran yang terus mengganggu, serta perasaan bersalah apabila ternyata ia menungguku, tapi aku yang tidak melihatnya. Ada pikiran kecil yang menyuruhku berbalik, tapi aku terus saja jalan. Sesampainya dirumah, tepat sekali begitu aku menutup pagar seusai memarkir motor, petir menyambar dan hujan mulai turun lagi dengan derasnya.

Tak mampu lagi kutahan perasaan itu, perasaan bersalah dan khawatir yang kalau dikolaborasikan bisa jadi satu penyebab kematian terhebat di bumi ini. Segera kukirim pesan singkat untuk memastikan ia baik – baik saja. Satu pesan, dua pesan, tiga pesan, tidak dibalas. Sudah cukup pikirku, segera kutelepon ponselnya. Ada nada, tapi terus tidak diangkat, sudah kucoba berulang kali, masih tidak diangkat. Ada yang salah sepertinya. Hingga akhirnya diangkat, segera kukenali dari sepatah ”Halo” yang dia ucapkan, ini bukan suara Diana! ”Halo, ini HP-nya Diana kan? Mana Diana?”, tanyaku cepat. ”Pak, maaf, mungkin yang bapak maksud itu pemilik HP ini ya? Dia baru saja ketabrak mobil waktu menyeberang, sekarang lagi dilarikan ke rumah sakit, Pak”, jawab suara disana tak kalah cepat.

Segera kusiapkan motorku, lalu pergi secepat mungkin ke rumah sakit. Dengan pikiran yang campur aduk, aku melaju kencang di jalanan basah bekas hujan, berusaha secepat mungkin untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya, aku segera mencari kamar tempat Diana dirawat, aku bertanya dengan nafas yang tersengal – sengal, sampai satpam di sebelahku perlu menenangkanku. Dari kejauhan, tampak tante Mia, mamanya Diana, om Paulus, papanya, serta Ricky, kakaknya. Bukan niatku untuk  tidak hormat, tapi aku bertanya langsung tanpa basa – basi, ”Dimana Diana?”. Mereka tampak bersamaan mengarahkanku pada satu pintu dengan tatapannya.

Langsung kuraih gagang pintu, dan kubuka perlahan. Antara aku takut pada kenyataan yang terbaring di depanku dan perasaan bersalah yang sudah terakumulasi begitu banyak plus bunganya, yang seketika dapat memecahkan tangisku. Tapi aku berusaha tetap tenang dan melangkah masuk. Terlihat Diana, terbaring lemah di ranjang, dengan kepala terbalut perban dan lengan yang terbujur kaku terbalut gips. ”Reza..”, panggilnya lemah. ”Ya, Di. Aku disini. Maaf ya, tadi siang aku langsung pulang, aku harus siap – siap buat seleksiku minggu depan.. Aku..”, tiba – tiba, Diana dengan lemah meletakkan telunjuknya di bibirku yang dekat. ”Sshh.”, desisnya pelan. Tampak air mata juga mulai berderai membasahi pipinya, sambil terisak dia membisikkanku sesuatu. ”I love you, Za.”

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...