Ini bukan malam
yang panjang, namun bukan juga yang singkat. Daun jendela yang kadang menutup
otomatis kena semburan angin malam, pintu yang terus – terusan menutup padahal
ingin dibuka. Rasanya malam ini cukup mewakili perasaanku, disamping derasnya
hujan yang seakan terus meraung – raung benci. Lantunan pemutar musikku juga
tanpa daya menyerah pada derasnya hujan, sehingga cuma sepatah – dua patah
lirik yang terdengar dari lagu yang dimainkan.
Ingin rasanya aku
menghambur keluar, berteriak di tengah hujan. Melakukan apa yang ingin
kulakukan sekarang, menangis. Dengan begitu mungkin derai tangisku akan
tersembunyi, tersaru dengan hujan.
Adalah dia, yang
pertama, dan yang kuharap jadi yang terakhir. Diana namanya, parasnya biasa saja, cantik juga
biasa saja. Kibasan rambutnya
tidak semenggoda bintang iklan sampo kecantikan itu, wajahnya tidak secerah
artis manapun yang bisa kau sebutkan. Tapi hatinya luar biasa. Hati itulah yang
bisa membawa lelaki manapun terbang ke surga tertingginya. Hati itulah yang bisa
membuatku melepaskan kata – kata yang sebelumnya sulit terucap, ”I love you”.
Aku, salah satu
aset terbesar yang dimiliki negeri ini. Bukannya sombong, tapi hampir di seluruh
gelaran kompetisi sains yang pernah diadakan di negeri ini, pasti kau temukan namaku
disana. Di tempat tertinggi pastinya. Di salah satu sudut kamarku, berdiri
dengan bangganya satu set lemari kaca besar, dengan piala – piala hasil kerja
kerasku terpampang gagah di dalamnya. Tapi itu semua tidak membuatku punya
kebanggaan yang cukup untuk membawaku keluar dari kamar dan mulai melangkah
maju. Hari – hariku cukup banyak dipenuhi dengan diktat – diktat tebal, pulpen
berbagai rupa, dari yang tebal hingga yang lebih tipis dari rambutmu sendiri,
kertas – kertas soal bertebaran hampir di seluruh sudut kamar. Semua itu yang
harus dibayar demi piala – piala gagah yang sombong itu.
Romantisme malam
itu tidak berlangsung lama. Sesaat setelah hujan reda, Andre, salah satu jenius
sains sepertiku mampir kerumah. ”Reza!”, teriaknya dari balik pagar depan.
Kuintip dari balik tirai jendela kamarku, Andre membawa setumpuk diktat fisika
miliknya, serta satu tas penuh berisi soal – soal fisika terapan yang
didalaminya setahun ini. ”Yaa!”, jawabku dari balik tirai sambil berlalu ke
pintu depan. ”Sudah siap belum buat seleksi besok?”, sembur Andre yang sangat
telak menamparku di pipi kanan kiri, karena selembar pun belum kupelajari.
”Belum, Dre. Yuk ke kamar aja!”, jawabku pura – pura terlihat santai sambil
menyembunyikan bekas tangisan tadi. ”Udah hampir subuh kali, Dre. Ngapain kamu
kesini?”, tantangku. ”Kamu juga kok belum tidur? Kukira lagi belajar, jadi ya
aku datang aja, mau belajar bareng.”, jawabnya lebih santai.
Akhirnya, sesi
belajar dadakan itu pun berakhir, tepat pukul enam. Andre pun segera pulang
untuk bersiap berangkat kuliah, begitupun denganku. Dengan raut muka yang sudah
tak keruan hasil belajar tadi, ditambah tangisan tadi malam, perlu hampir satu
jam aku di dalam sana. Cuma diam memandangi wajah seseorang di balik cermin,
apakah dia bernyawa? Apa yang akan dia lakukan jika jadi diriku? Entahlah, dia
juga tidak menjawab.
Tidak kulihat
Diana di kampus, aroma parfumnya pun tidak sempat lewat depan hidungku. Apa dia
sudah pulang? Dengan siapa?. Biasanya dia pasti menungguku, selama apapun. Kuputuskan
saja pulang sendiri, dengan pikiran yang terus mengganggu, serta perasaan
bersalah apabila ternyata ia menungguku, tapi aku yang tidak melihatnya. Ada
pikiran kecil yang menyuruhku berbalik, tapi aku terus saja jalan. Sesampainya
dirumah, tepat sekali begitu aku menutup pagar seusai memarkir motor, petir
menyambar dan hujan mulai turun lagi dengan derasnya.
Tak mampu lagi
kutahan perasaan itu, perasaan bersalah dan khawatir yang kalau dikolaborasikan
bisa jadi satu penyebab kematian terhebat di bumi ini. Segera kukirim pesan
singkat untuk memastikan ia baik – baik saja. Satu pesan, dua pesan, tiga
pesan, tidak dibalas. Sudah cukup pikirku, segera kutelepon ponselnya. Ada
nada, tapi terus tidak diangkat, sudah kucoba berulang kali, masih tidak diangkat.
Ada yang salah sepertinya. Hingga akhirnya diangkat, segera kukenali dari
sepatah ”Halo” yang dia ucapkan, ini bukan suara Diana! ”Halo, ini HP-nya Diana
kan? Mana Diana?”, tanyaku cepat. ”Pak, maaf, mungkin yang bapak maksud itu
pemilik HP ini ya? Dia baru saja ketabrak mobil waktu menyeberang, sekarang
lagi dilarikan ke rumah sakit, Pak”, jawab suara disana tak kalah cepat.
Segera kusiapkan
motorku, lalu pergi secepat mungkin ke rumah sakit. Dengan pikiran yang campur
aduk, aku melaju kencang di jalanan basah bekas hujan, berusaha secepat mungkin
untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya, aku segera mencari kamar tempat Diana
dirawat, aku bertanya dengan nafas yang tersengal – sengal, sampai satpam di
sebelahku perlu menenangkanku. Dari kejauhan, tampak tante Mia, mamanya Diana,
om Paulus, papanya, serta Ricky, kakaknya. Bukan niatku untuk tidak hormat, tapi aku bertanya langsung
tanpa basa – basi, ”Dimana Diana?”. Mereka tampak bersamaan mengarahkanku pada
satu pintu dengan tatapannya.
Langsung kuraih
gagang pintu, dan kubuka perlahan. Antara aku takut pada kenyataan yang
terbaring di depanku dan perasaan bersalah yang sudah terakumulasi begitu
banyak plus bunganya, yang seketika dapat memecahkan tangisku. Tapi aku
berusaha tetap tenang dan melangkah masuk. Terlihat Diana, terbaring lemah di
ranjang, dengan kepala terbalut perban dan lengan yang terbujur kaku terbalut
gips. ”Reza..”, panggilnya lemah. ”Ya, Di. Aku disini. Maaf ya, tadi siang aku
langsung pulang, aku harus siap – siap buat seleksiku minggu depan.. Aku..”,
tiba – tiba, Diana dengan lemah meletakkan telunjuknya di bibirku yang dekat.
”Sshh.”, desisnya pelan. Tampak air mata juga mulai berderai membasahi pipinya,
sambil terisak dia membisikkanku sesuatu. ”I love you, Za.”
No comments:
Post a Comment