Friday, December 16, 2011

"... if we ever meet again"


Siang itu, dibalik tembok sebuah rumah kopi tersohor di Jakarta, aku mengurai semua kisah lalu, semua tawa, semua isak tangis yang pernah kami lewati bersama. Wangi kopi yang khas menyelip masuk pikiranku, bersama semua hal yang sebelumnya ada menjadi satu kombinasi mematikan yang siap memaksaku menitikkan air mata saat itu juga. Aku perlu tahu, sejauh mana kami telah berjalan dan apakah perjalanan ini bisa terus berlanjut, atau cukuplah sampai disini. Hampir 3 tahun kami membagi semua, dan kini kami ada di persimpangan. Apakah menambah masa kami bersama, ataukah harus kucari orang lain lagi. Sangat membingungkan.

Pandanganku kutujukan pada pasangan muda – mudi diseberang sana. Mereka tampak sangat bahagia. Terbahak, saling memegang tangan, dan bahkan saling membuang pandangan sesekali. Terasa ada energi yang kuat disana, yang cukup memanggilku untuk berjalan kesana dan meminta petuah – petuah mereka dalam berhubungan. Oh ya, akal sehatku tiba – tiba menampar. Apa yang terjadi, wanita dewasa 24 tahun, cukup mapan, dan menarik sepertiku tertatih – tatih datang kehadapan dua anak bau kencur untuk sepotong nasehat? Langsung kupalingkan wajahku dari mereka berdua, sebelum mereka bisa melihatku didalam.

Saat itu semua rasanya buram, tidak ada yang benar – benar jelas di mataku. Bahkan ketika barista langgananku mengantarkan latte pesananku, ya, memang aku cukup dapat pelayanan khusus disini. Saat pelanggan lain harus mengantri panjang yang pasti akan memotong umur mereka selama beberapa jam, aku tinggal duduk di sofa favoritku dan berteriak ”Jodi!”, dan dalam beberapa menit secangkir latte duduk sama cantiknya dihadapanku. Aku sontak menampar cangkir yang ia bawa, sampai semua mata di rumah kopi itu tertuju padaku, dan Jodi kembali jadi korban. Celemek baristanya berlumuran whipped cream tamparanku. Maaf.

Sesegera itu, langsung kubereskan semua bawaanku dan pergi dari sana. Aku tidak tahan lagi dengan semua tatapan aneh dan decakan yang entah kagum atau heran itu. Aku berantakan sekali. Jalanku ke mobil cuma kuhabiskan menatap lantai, langkah demi langkah, decit demi decit sepatuku yang bisa kudengar sangat jelas. Saat kubuka pintu mobil dua pintuku, tiba – tiba handphoneku bernyanyi, ”..if we ever meet again..”.

Ternyata Bimo, dalang dari semua insiden hari ini, wajah lucunya muncul di layar, sambil kurasakan getaran – getaran, entah dari hatiku atau dari handphoneku. Bimo, orang terakhir yang kucintai, satu – satunya yang bisa mengambil pedih di hatiku dan menggantikannya dengan kasih. Bahkan orang tuaku pun kesulitan, hari ini bisa secara mengejutkan meneleponku, setelah semua yang terjadi hari ini. Mungkin itulah jodoh kata orang. Aku tak langsung mengangkat teleponnya, sekedar membuat dia menunggu lebih lama untuk bicara denganku, padahal aku telah menunggu hampir 3 tahun lamanya.

”Halo,” sapaku singkat, sambil deg – degan menunggu keluar suaranya yang kutunggu – tunggu. ”Wina, ini Wina kan?” jawab suara diseberang sana. ”Iya lah Momo! Ini Wina, emang siapa lagi?”. ”Hai, Win, apa kabarmu? Aku lagi di bandara nih, 2 jam lagi sampai Jakarta. Eh, aku boarding dulu ya! See you!”. ”klik”, suara telepon ditutup, tanpa sempat kujawab sepatah pun.

Ketemu. Bimo. Kangen. Banget. Kata – kata itu yang terus berputar di kepalaku, bagai anak kecil dalam balutan baju pesta menyambut tumpukan kado ulang tahun dihadapannya. Bahagia sekali! Segera saja, kutekan gas mobilku lebih kencang karena aku terlalu senang, dan supaya bisa lebih cepat sampai dirumah bersiap – siap untuk lalu ke bandara menjemput Bimo. Langsung lupa insiden tadi pagi. J

( 3 jam kemudian.. )

Sudah hampir lima kali aku mondar – mandir terminal kedatangan, sudah puluhan tawaran taksi kutolak tapi tetap saja belum kulihat ada tanda – tanda Bimo disini. Akhirnya aku menyerah, kuketik pesan di handphoneku, ”Mo, kamu udah di Jakarta ya beb? Kok tadi aku jemput kamu di bandara ga ada? Udah punya bandara pribadi yang aku ga tau ya? :p”. Terkirim.

Dalam perjalananku pulang, setelah surprise yang gagal total, aku terus merasa was – was sambil tangan kiriku terus memegangi handphone, kalau – kalau ada balasan dari Bimo, yang sampai sekarangpun belum datang. Aku terus bertanya –tanya, apa sih yang ada di pikirannya Bimo, sampai sekarang belum ada kabarnya. Apa dia betulan sudah di Jakarta atau belum? Atau ada apa – apa yang terjadi, sampai belum bisa memberi kabar?

Esok paginya, lebih pagi dari Bruno, anjingku sudah menggedor – gedor pintu kamarku minta diajak main, Bimo menelepon. ”Mo! Kemana aja sih kamu? Aku hubungin dari kemarin ga bisa – bisa! Kamu udah sampai kan beb?”, tanyaku panjang dan terburu – buru. ”Hey Win, sori ya baru bisa telpon kamu sekarang, dari kemarin aku banyak banget pikiran. Oh ya, bisa kita ketemu Win? Di tempat biasa ya, jam 2. Aku mau kasih tau kamu sesuatu. See you there ya!”. Klik, telepon ditutup. Aku bertanya – tanya dalam hati, apa yang membuat Bimo bicara begitu cepat, tidak seperti biasanya dia sangat santai. “Pasti ada sesuatu nih”, pikirku. Entah pikiran ini datang darimana, tapi aku punya perasaan kuat Bimo akan melamarku nanti. Mungkin pikiran gila ya, terlalu pede mungkin. Oh, sangat pede maksudku! J

Tepat pukul dua, aku sudah siap dengan nyaman di sofa favoritku di rumah kopi. Sesekali kubuka cermin kecilku, memastikan tidak ada yang kurang dari penampilanku. Sambil terus melihat arloji dan handphone bersamaan dengan kakiku yang tidak bisa diam, jadilah aku manusia multitasking paling menarik di rumah kopi ini. “Ting tong”, suara bel berbunyi saat pintu utama terbuka, mungkin salah satu ucapan selamat datang yang mereka anggap paling sopan disini. Bimo masuk perlahan sambil menahan pintu untuk…, Siapa? Siapa itu disana?. Sesosok bidadari cantik, ya kuakui memang cantik, berbalut gaun merah pendek, terlihat dengan anggun dan manjanya menggandeng lengan Bimo.

“Win, maaf aku ga kasih tau kamu sebelumnya. Ini pacar baruku, teman sekampusku dari Amerika, kebetulan temanku juga dulu waktu SMA.”. Aku tidak tahu mesti berbuat apa, marah bukan solusi tepat tampaknya. Memprotesnya pun tidak ada gunanya. Segera kukemas semua barang – barangku, dan pergi dari tempat itu, tanpa ada sepatah katapun lepas dari mulutku.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...