Siang itu, dibalik tembok sebuah rumah kopi tersohor di Jakarta , aku mengurai
semua kisah lalu, semua tawa, semua isak tangis yang pernah kami lewati
bersama. Wangi kopi yang khas menyelip masuk pikiranku, bersama semua hal yang
sebelumnya ada menjadi satu kombinasi mematikan yang siap memaksaku menitikkan
air mata saat itu juga. Aku perlu tahu, sejauh mana kami telah berjalan dan
apakah perjalanan ini bisa terus berlanjut, atau cukuplah sampai disini. Hampir 3 tahun kami membagi semua, dan
kini kami ada di persimpangan. Apakah menambah masa kami bersama, ataukah harus kucari orang lain lagi. Sangat
membingungkan.
Pandanganku
kutujukan pada pasangan muda – mudi diseberang sana. Mereka tampak sangat
bahagia. Terbahak, saling memegang tangan, dan bahkan saling membuang pandangan
sesekali. Terasa ada energi yang kuat disana, yang cukup memanggilku untuk
berjalan kesana dan meminta petuah – petuah mereka dalam berhubungan. Oh ya,
akal sehatku tiba – tiba menampar. Apa yang terjadi, wanita dewasa 24 tahun,
cukup mapan, dan menarik sepertiku tertatih – tatih datang kehadapan dua anak
bau kencur untuk sepotong nasehat? Langsung kupalingkan wajahku dari mereka
berdua, sebelum mereka bisa melihatku didalam.
Saat itu semua
rasanya buram, tidak ada yang benar – benar jelas di mataku. Bahkan ketika
barista langgananku mengantarkan latte pesananku,
ya, memang aku cukup dapat pelayanan khusus disini. Saat pelanggan lain harus
mengantri panjang yang pasti akan memotong umur mereka selama beberapa jam, aku
tinggal duduk di sofa favoritku dan berteriak ”Jodi!”, dan dalam beberapa menit
secangkir latte duduk sama cantiknya
dihadapanku. Aku sontak menampar cangkir yang ia bawa, sampai semua mata di
rumah kopi itu tertuju padaku, dan Jodi kembali jadi korban. Celemek baristanya
berlumuran whipped cream tamparanku.
Maaf.
Sesegera itu,
langsung kubereskan semua bawaanku dan pergi dari sana. Aku tidak tahan lagi
dengan semua tatapan aneh dan decakan yang entah kagum atau heran itu. Aku
berantakan sekali. Jalanku ke mobil cuma kuhabiskan menatap lantai, langkah
demi langkah, decit demi decit sepatuku yang bisa kudengar sangat jelas. Saat
kubuka pintu mobil dua pintuku, tiba – tiba handphoneku bernyanyi, ”..if we ever meet again..”.
Ternyata Bimo,
dalang dari semua insiden hari ini, wajah lucunya muncul di layar, sambil
kurasakan getaran – getaran, entah dari hatiku atau dari handphoneku. Bimo,
orang terakhir yang kucintai, satu – satunya yang bisa mengambil pedih di
hatiku dan menggantikannya dengan kasih. Bahkan orang tuaku pun kesulitan, hari
ini bisa secara mengejutkan meneleponku, setelah semua yang terjadi hari ini.
Mungkin itulah jodoh kata orang. Aku tak langsung mengangkat teleponnya,
sekedar membuat dia menunggu lebih lama untuk bicara denganku, padahal aku
telah menunggu hampir 3 tahun lamanya.
”Halo,” sapaku
singkat, sambil deg – degan menunggu keluar suaranya yang kutunggu – tunggu.
”Wina, ini Wina kan?” jawab suara diseberang sana. ”Iya lah Momo! Ini Wina,
emang siapa lagi?”. ”Hai, Win, apa kabarmu? Aku lagi di bandara nih, 2 jam lagi
sampai Jakarta. Eh, aku boarding dulu ya! See you!”. ”klik”, suara telepon
ditutup, tanpa sempat kujawab sepatah pun.
Ketemu. Bimo.
Kangen. Banget. Kata – kata itu yang terus berputar di kepalaku, bagai anak
kecil dalam balutan baju pesta menyambut tumpukan kado ulang tahun
dihadapannya. Bahagia sekali! Segera saja, kutekan gas mobilku lebih kencang
karena aku terlalu senang, dan supaya bisa lebih cepat sampai dirumah bersiap –
siap untuk lalu ke bandara menjemput Bimo. Langsung lupa insiden tadi pagi. J
( 3 jam
kemudian.. )
Sudah hampir lima
kali aku mondar – mandir terminal kedatangan, sudah puluhan tawaran taksi
kutolak tapi tetap saja belum kulihat ada tanda – tanda Bimo disini. Akhirnya
aku menyerah, kuketik pesan di handphoneku, ”Mo, kamu udah di Jakarta ya beb?
Kok tadi aku jemput kamu di bandara ga ada? Udah punya bandara pribadi yang aku
ga tau ya? :p”. Terkirim.
Dalam
perjalananku pulang, setelah surprise
yang gagal total, aku terus merasa was – was sambil tangan kiriku terus memegangi
handphone, kalau – kalau ada balasan dari Bimo, yang sampai sekarangpun belum
datang. Aku terus bertanya –tanya, apa sih yang ada di pikirannya Bimo, sampai
sekarang belum ada kabarnya. Apa dia betulan sudah di Jakarta atau belum? Atau
ada apa – apa yang terjadi, sampai belum bisa memberi kabar?
Esok paginya,
lebih pagi dari Bruno, anjingku sudah menggedor – gedor pintu kamarku minta
diajak main, Bimo menelepon. ”Mo! Kemana aja sih kamu? Aku hubungin dari
kemarin ga bisa – bisa! Kamu udah sampai kan beb?”, tanyaku panjang dan terburu
– buru. ”Hey Win, sori ya baru bisa telpon kamu sekarang, dari kemarin aku
banyak banget pikiran. Oh ya, bisa kita ketemu Win? Di tempat biasa ya, jam 2. Aku
mau kasih tau kamu sesuatu. See you there ya!”. Klik, telepon ditutup. Aku
bertanya – tanya dalam hati, apa yang membuat Bimo bicara begitu cepat, tidak
seperti biasanya dia sangat santai. “Pasti ada sesuatu nih”, pikirku. Entah
pikiran ini datang darimana, tapi aku punya perasaan kuat Bimo akan melamarku
nanti. Mungkin pikiran gila ya, terlalu pede mungkin. Oh, sangat pede maksudku!
J
Tepat pukul dua, aku sudah siap dengan nyaman di sofa
favoritku di rumah kopi. Sesekali kubuka cermin kecilku, memastikan tidak ada
yang kurang dari penampilanku. Sambil terus melihat arloji dan handphone
bersamaan dengan kakiku yang tidak bisa diam, jadilah aku manusia multitasking paling menarik di rumah
kopi ini. “Ting tong”, suara bel berbunyi saat pintu utama terbuka, mungkin
salah satu ucapan selamat datang yang mereka anggap paling sopan disini. Bimo
masuk perlahan sambil menahan pintu untuk…, Siapa? Siapa itu disana?. Sesosok
bidadari cantik, ya kuakui memang cantik, berbalut gaun merah pendek, terlihat
dengan anggun dan manjanya menggandeng lengan Bimo.
“Win, maaf aku ga
kasih tau kamu sebelumnya. Ini pacar baruku, teman sekampusku dari Amerika,
kebetulan temanku juga dulu waktu SMA.”. Aku tidak tahu mesti berbuat apa,
marah bukan solusi tepat tampaknya. Memprotesnya pun tidak ada gunanya. Segera
kukemas semua barang – barangku, dan pergi dari tempat itu, tanpa ada sepatah
katapun lepas dari mulutku.
No comments:
Post a Comment