Sepi. Gelap. Dingin. Itulah tiga kata yang paling mewakili
suasana mal ini. Sudah hampir pukul dua dinihari, sepertinya normal. Aku,
yang baru saja menghapus urai tangis setelah hampir dua jam didera
adegan-adegan manis yang sayangnya berakhir pahit, memutuskan untuk mengambil
jalan memutari mal lalu kemudian turun dan menjangkau tempat kuparkir mobilku. Sekitar
lima orang kutengarai bermaksud sama, tapi aku tidak peduli, terus kulangkahkan
kakiku menembus kegelapan.
Sepanjang perjalanan menuju
bawah, beberapa orang yang tadi sepikiran denganku mulai mengambil langkah yang
berbeda. Satu orang berbelok di
lantai dua, tiga lagi berbelok di parkir timur. Tinggallah aku dengan seorang
ini, yang tidak bisa kulihat wajahnya karena ia berjalan terlalu jauh di
belakang.
Aku mulai mengendus ketidakwajaran pada langkah orang di belakangku,
langkahnya cepat namun berusaha tetap menjaga jarak. Sedetik itu, langsung
kukenakan earphone yang selalu siap setia di saku kemejaku, seolah memberikan sinyal ’I don't care’ pada orang
di belakang. Sepertinya berhasil, atau aku tidak dengar?
Kudapati pintu yang menutup rapat, kucurigai terkunci. Setelah beberapa
detik mencoba mendorongnya, namun tetap tidak membuka. Ah, harus memutar lebih
jauh lagi!
Sepertinya aku mengenali wajah orang di belakangku tadi sembari ia mendekat
untuk mencobai pintu keluar itu lagi. Marina, seseorang yang pernah punya kepemilikan
terbesar di hatiku, seseorang yang pernah menangis dan tertawa bersamaku,
seseorang yang di jari manisnya pernah dihiasi sebentuk perak yang terpatrikan
namaku. Ya, ia istriku. Jangan tanya kenapa.
Sebenarnya, aku sangat menantikan saat-saat seperti ini, waktu di mana
semua fakta akan terungkap, semua perasaan yang sempat terpendam dalam tak
terkatakan akhirnya terucap. Tapi bukan pada waktu dan tempat seperti ini.
Hampir enam bulan tanpa kepastian, kami berdua berjalan sendiri-sendiri.
Cukup lama untuk ukuran kami yang biasanya sehari tidak bertemu bagaikan kiamat
dunia. Akhirnya, tanpa seorang pun berkata-kata, kami berpelukan. Bukan yang
terbaik, tapi cukup melegakan dahaga kami masing-masing.
”How you doing?” tanyaku singkat
setelah kami melepas pelukan erat tadi. ”Good.”
jawabnya singkat.
”We need to talk, urgent!”
“Yes, we do.” balasnya.
Kami berpindah ke kafe 24 jam
yang tampak masih ramai oleh sekumpulan muda-mudi berpakaian rapi. Mereka tampak
sangat menikmati obrolan mereka, jauh melebihi kopinya. Terlihat dari cuma
adanya segelas kecil kopi di meja yang mereka kelilingi. Aku jadi teringat masa
lalu.
“Have you signed your divorce paper yet?” sambutnya sedetik setelah
aku kembali ke meja. Aku cuma
menjawabnya dengan pandangan datar. “Why?”
tanyanya lagi, sebagai balasan dari tatapan datarku. Aku masih belum menjawab.
”Did you ever love me?” tiba-tiba pertanyaan itu yang otomatis
kulontarkan. Giliran ia terdiam, air mukanya tampak resah mencari jawaban apa
yang paling tepat. “Why?” kubalas checkmate yang tadi ia lakukan. Ia juga
diam.
“What I did wrong? Does it bother you if I didn’t act like what you
expect?”
“Mar, I’m a human being. I need to be.”
“Mar, talk! Please talk!”
Aku tidak bisa menahannya lagi.
”I don’t know, Du”
“What? You don’t know what?” aku mulai lepas kendali. Air mata mulai tampak menitik di sudut mata
Marina. Aku merasa itulah tanda untukku menurunkan sedikit tensi percakapan
ini. Kubelai rambutnya, sambil kudekatkan ia ke bahuku. “It’s okay,” ujarku menenangkan.
“I don’t know if I ever loved you,” katanya setelah berhasil meredam
tangisnya.
“I’m screwed, none of this is your fault, I’m a mess.”
“Why didn’t you tell me?” tanyaku bingung atas apa yang barusan ia katakan.
Ia menangis sejadi-jadinya tanpa bisa kuredakan, bahuku jadi sasarannya. Aku
tidak berbuat apa-apa lagi, cuma memeluknya sambil terus-terusan membisikkan “It’s okay.” ke telinganya, meskipun aku
yakin it’s not okay.
“I feel good with you, Du. That’s why I didn’t tell,” katanya sambil masih sedikit terisak. Tatapan
matanya mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa kutangkap dengan jelas. ”After all we’ve been through together, and,”
ucapannya tertahan, ”That moment you let
me down, I overreacted.” Matanya kini menjadi semakin cerah, sisa air mata
mulai menghilang mengiringi senyumnya yang perlahan-lahan terbit dari sudut
bibirnya. Now, I’m screwed.
“Oh, for real. I don’t have to be sorry, though,” ujarku singkat
sambil langsung kutinggalkan ia disana. “Hem,
paper will be ready tomorrow. Bye.” Marina
masih memroses apa yang ia dengar barusan, sehingga aku baru dengar ia membalas
bye saat aku sudah beberapa langkah
menuju pintu keluar.
No comments:
Post a Comment