Tepukan lembut di wajah langsung
membuatku terjaga. Senyum hangatnya seakan menyambutku kembali, setelah lama
berkelana di alam mimpi.
“Ayo bangun! Udah landing nih,” ujarnya sambil melanjutkan
tepukannya di pipiku. ”buruan, udah kangen nih!”
Aku masih diam di kursiku tidak menghiraukan kata-katanya barusan.
Jejak-jejak mimpi barusan masih tertinggal jelas dalam benakku, ditambah
orang-orang satu pesawat yang masih sibuk dengan bawaan mereka. Tidak mungkin
aku bergerak sekarang.
Jadilah kami dua orang terakhir yang turun dari pesawat. Tepat sebelum
pintu pesawat ditutup kembali. Untung salah seorang pramugari masih menyadari
keberadaan kami, dua penumpang business
class malas yang menunggu adanya jalur khusus dengan ban berjalan untuknya
turun. Sayangnya, tidak akan pernah ada.
Kami berdua berlari tergopoh ke tempat pengambilan bagasi yang tampak
ramai. Sekali lagi, kami berharap ada layanan khusus. Seharusnya kami turun
lebih dulu sebelum penumpang lain turun, tapi apa boleh buat, beberapa hal
memang tidak mendukung, seperti mimpi barusan yang membuatku lama tercekat.
”Ah, gara-gara elo kan, jadi ribet kita!” Dewi menggerutu gara-gara
keterlambatan kami turun dari pesawat.
Aku cuma menanggapinya dengan senyum masam, ”Udalah Dew, siapa tau ketemu
cowok keren.” jawabku asal. Sebenarnya semua keterlambatan kami ini ada
maksudnya. Bukan persetujuan kami berdua, lebih ke rencanaku untuk mengulur
waktu lebih lama. Aku tahu Millane sudah menunggu di depan.
Aku dan Millane. Banyak orang bilang kami pasangan serasi sejati. Dewi pun
bilang begitu. Sudah tiga tahun kami bersama. Tiga tahun itu lama, tapi tidak
terasa lama saat bersama Millane. Kami berdua sudah yakin dengan hubungan ini,
tidak ada yang mungkin bisa menghalangi kami.
Dewi berbeda. Hubungan yang sudah lama ia bina dengan Radja tampak tidak
bergerak kemana-mana. Tidak ada kemajuan yang pernah ia ceritakan padaku. Saat
aku gencar-gencarnya menceritakan rencana masa depanku dengan Millane, ia cuma
tersenyum tipis tidak tertarik.
Setelah kami menyelesaikan semua urusan dengan bagasi yang memakan waktu
sekitar setengah jam, kami keluar dari pintu kedatangan. Mataku mengarah ke
semua penjuru mencari keberadaan Millane yang katanya sudah sampai dari sejam
yang lalu. Dewi tampak santai, ia berjalan lurus di sampingku tanpa ada wajah
bingung sedikitpun yang kutangkap dari ekspresinya.
”Luis!” terdengar teriakan dari sebuah kafe beberapa meter dari tempatku
berdiri. Pemilik teriakan itu lantas berdiri dan berlari ke arahku. Aku tidak
menyambutnya, terlalu banyak barang bawaan yang harus kutinggalkan, yang
takutnya bakal lenyap.
”Hey, Milly!” sambutku riang seraya memeluknya erat. Ada kangen yang
akhirnya terpenuhi setelah seminggu tidak bertemu.
”Milly,” sapa Dewi ramah. ”Kangen berat tuh.” katanya sambil menepuk bahuku
sambil tertawa renyah.
”Yang disini jugaaaa.” balas Milly manja sambil menggelayut lenganku.
Dewi tampak membalas pesan-pesan masuk yang membanjir saat masih di pesawat
tadi. Tampaknya ada satu yang menarik otot pipinya untuk tersenyum. Aku
penasaran, langsung aku melongokkan kepalaku ingin ikut melihat. ”Siapa tuuuh?”
”Guys, gw duluan ya. Udah dijemput nih,” ujarnya riang seraya merapikan
barang bawaannya. “Byeee!”
Terlihat seorang pria di ujung sana sudah menanti Dewi, dan ia bukan Radja. (bersambung)
No comments:
Post a Comment