Matahari sudah tinggi saat Dewi baru membuka matanya. Pekerjaannya
sehari-hari memang hanya berkutat di depan komputer membikin desain-desain baru
untuk majalah kami, sambil mengurus kontrak-kontrak iklan yang hampir
kesemuanya bisa dilakukan dari rumah. Jadilah ia tidak terikat waktu masuk
kantor dan bisa bangun sesukanya.
Hari ini berbeda, ia terlonjak kaget saat menyadari jam bekernya tidak
berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang, seharusnya ia bangun pukul
delapan pagi. Langsung ia bergegas menghambur ke kamar mandi untuk mencuci
muka, menyikat gigi, dan persiapan-persiapan lain sebelum menyambut pagi, eh
siang.
”Selamat pagi, nona manis,” sapa sang pemilik suara yang langsung
menyambutnya ketika Dewi keluar dari kamarnya. ”Kamu telat tiga jam. Thank
you.” katanya lagi, sambil terus melebarkan senyum sinisnya.
”Sorry, pangeran!” balas Dewi ringan, tanpa merasa bersalah. Mereka
langsung berpelukan dan cipika-cipiki.
Itulah Aryo. Sudah sekitar tiga bulan berhubungan dengan Dewi. Mereka
tampak cocok satu sama lain. Jika bukan karena Radja, mereka pasangan juara.
”Masih mau lari pagi?” tanyanya, masih dengan wajah sinis yang sedari tadi
tidak juga hilang.
”Malas ah, udah panas. Kita ngemal aja yuk!” jawab Dewi seakan tidak
menghiraukan sinisme yang terus-terusan dilempar Aryo.
”Oce.” jawab Aryo singkat sambil menggeleng.
Memang bukan perkara mudah bagi siapapun untuk berurusan dengan Dewi.
Sikapnya yang cuek bebek, penampilannya yang sembarangan, serta kata-kata kasar
yang sering keluar dari mulutnya memang bukan alasan bagi pria-pria untuk bisa
tertarik kepadanya. Ia selalu spontan, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan
berisik. Wajahnya yang manis seakan tertutupi oleh tingkah lakunya itu, tapi
tidak jarang tingkah lakunyalah yang membuat ia semakin bersinar memukau.
Setidaknya, itu yang pernah diceritakan Radja padaku. Aryo mungkin korban
lainnya.
Dewi tidak menggandeng lengan Aryo, begitu pun dengan Aryo. Mereka sadar
kalau hubungan ini tidaklah serius, hanya sekedar hubungan cadangan buat Dewi.
Pun begitu, Aryo masih bertahan.
Hampir setengah jam mereka berjalan memutari segala sudut mal tersebut
hanya melihat-lihat. Obrolan mereka sangat mengalir, sampai tidak sadar sudah
dua kali mereka melewati bioskop. Mereka berdua terdiam, lalu terkekeh.
”Makan siang yuk!” ajak Aryo, yang langsung disambut Dewi dengan
menyandarkan bahunya ke bahu Aryo. ”Yuk!”
Setelah lama berdebat antara makanan barat atau jepang, mereka akhirnya
setuju untuk berlabuh di restoran jepang cepat saji. Ini makanan kesukaan Dewi,
sangat jelas menggambarkan pribadinya yang simpel dan cepat saji. Ditambah juga
harganya yang tidak terlalu mahal. Dewi sedang dalam fase penghematan besar-besaran,
katanya.
Tidak sulit untuk mereka memilih menu, sejauh ini. Dewi memilihkan semua
yang akan mereka makan, Aryo siap di kasir untuk membayar. Lagi-lagi wajah
pasrah terpancar. Tapi Aryo rela.
Cukup lama mereka duduk disana. Prosesi makan siang sudah berakhir sejak
sejam yang lalu, tapi mereka berdua masih setia disana. Mengobrol ngalor-ngidul
yang tidak ada arahnya, perumpamaan-perumpamaan mustahil yang terus-terusan
ditanyakan Dewi, hingga rencana masa depan mereka berdua. Semuanya ditutup
dengan tawa renyah di akhir kalimat.
Bukan kebetulan jika mereka berdua bertemu Radja. Ia juga penggemar berat
restoran ini. Itulah yang terus ia gembar-gemborkan padaku tentang Dewi dan
dirinya. Mereka punya selera yang sama.
”Dew, makan disini juga?” sapa Radja, mencoba seramah mungkin.
”Hey, Dja!” sambut Dewi tidak kalah ramah sambil memeluk Radja.
”Bro,” sapa Aryo penuh senyum. (bersambung)
No comments:
Post a Comment