Friday, March 23, 2012

Love is.


What is love? Pertanyaan itulah yang kini sedang berputar-putar di atas kepala Alan. Sudah seharian ia membolak-balik semua buku pintar yang ia punya, segala macam ensiklopedi dari Americana hingga Britannica yang belum juga bisa menjawab pertanyaannya. Berabad-abad perkembangan ilmu pengetahuan di bumi, masih belum ada yang bisa mendefinisikan cinta secara gamblang dan tegas. Kini perhatiannya beralih pada layer komputer di depannya. Google yang sebelumnya ia sembah habis-habisan kini mengecewakannya. Beratus-ratus page dibukanya, tidak ada satupun yang mencuri perhatiannya. Cleverbot kini jadi sasarannya. Robot yang katanya bisa menjawab semua pertanyaan itu pun menyerah.
Alan pun ikut menyerah. Jam di dinding sudah menunjukkan angka tiga lewat lima belas. Sudah 18 jam waktunya tersita untuk pertanyaan bodoh yang satu ini. Ia melangkah gontai menuju tempat tidurnya dengan berselimutkan satu pertanyaan yang mengganggu itu.

Sebelumnya, tidak pernah terbersit sekalipun dalam benak Alan tentang sesuatu yang sudah ia kenal akrab. Dari tiga wanita yang pernah bersamanya, ia mendefinisikan cinta secara berbeda dari ketiganya. Tentu saja, yang terakhir menancap paling dalam di relung hatinya sampai ia tidak bisa bergerak lagi selama hampir dua tahun.
Adalah Rani, peri cinta yang punya jawaban paling logical tentang pertanyaan yang kini dilontarkan Alan. Selama tiga bulan mereka bersama, tidak lama memang, Rani mendoktrinkan satu hal yang kini paling Alan sesali. Cinta itu aku.

Pertemuan Alan dengan Rani memang bukan kebetulan seperti yang film-film drama romantis ceritakan. Hubungan pertemanan jangka panjang yang akhirnya bisa dikonversi jadi hubungan romantis. Menurut Alan, hal itulah yang membuat dirinya masih terikat secara batin dengan Rani, meski Rani kini sudah hilang entah kemana dengan pacarnya yang baru.
Drama romantis terus didengung-dengungkan Alan dalam pikirannya setiap malam, tentang bagaimana ia akan secara tidak sengaja bertemu lagi dengan Rani yang masih menggandeng pacarnya. Lalu dengan sejurus tatapan, Rani berpaling kepada Alan kembali. Forever alone level 99.

Alan bukannya tidak punya gebetan. Banyak. Sebut saja, Alisa, Jessica, Sherry, dan sederet nama-nama indah berikutnya pernah timbul tenggelam dalam keseharian Alan. Dalam pikirannya, ia ingin sekali move on, dengan adanya kesempatan yang terbuka lebar di depannya dan dengan sederet nama yang siap menerimanya dengan wajah sumringah.
Mereka semua punya definisinya masing-masing tentang cinta, sepengetahuan Alan yang telah menanyainya satu-satu. Dengan menginterogasi mereka semua, Alan berharap bisa menemukan jawaban yang bisa membuatnya bergerak, bangun dari mimpi panjang yang mungkin tidak berkesudahan. Belum ada yang berani menyebut dirinya adalah cinta, seperti Rani dulu. Lagi-lagi Rani.

Dengan pekerjaannya sebagai asisten dosen, Alan berkenalan dengan sederet nama lain yang tidak kalah cantiknya. Sebagian adalah mahasiswi yang diajarnya, dan sebagian lagi adalah rekan sesama asisten dosen. Alan selalu menyelipkan pertanyaan itu dalam setiap obrolannya, dengan kemasan yang berbeda tentunya. Biasanya, reaksi yang diterimanya tidak jauh-jauh dari tawa terbahak-bahak, pertanyaan asal yang hanya bertujuan merubah topik, dan jawaban jujur nan polos, ”tidak tahu.”
Satu jawaban berbeda diterimanya dari Teresa, rekan sesama asisten dosen dalam obrolan seusai kelas.
”Tere, cinta itu apa sih?” tembak Alan tanpa tedeng aling-aling, yang langsung membuat Teresa tersedak air yang baru diteguknya.
”Hmm, apa ya? Sesuatu yang membebaskan, mungkin?” jawabnya hati-hati.
Alan terdiam lama, tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang selama ini sudah mengekangnya dalam pikiran yang diciptakan oleh seseorang, Rani. Cinta tidak mengikat, seperti Teresa bilang, cinta itu membebaskan.
”Ada apa siih? Lagi jatuh cinta ya?” tanya Teresa iseng, yang sekaligus membuyarkan semua yang tersusun rapi dalam memori Alan.
”Hmm, kayaknya sih.”

Sejak saat itu, mereka berdua semakin dekat. Alan tampak semakin yakin dengan pilihannya saat ini. Tidak ada bayang-bayang Rani lagi walaupun hanya sedetik. Semua tumpukan memori lapuk dalam pikirannya sudah ia bereskan dan diisinya lagi dengan sesuatu yang baru. Ia sudah mendapatkan definisi cinta yang selama ini ia cari-cari, tidak ada lagi yang ia ragukan dari langkahnya saat ini.

Timbul pertanyaan iseng dalam pikirannya saat mereka berdua mampir ke toko buku selesai mengajar. Apakah Teresa yang terbaik? Tepat di depannya saat ini, ada sebuah buku tebal tidak terbungkus. Buku itu berjudul ”The Book of Answers” yang dari penjelasannya katanya bisa menjawab semua pertanyaan.
Sesuai petunjuk, Alan memikirkan pertanyaannya selama sepuluh detik dengan mata terpejam sambil tangannya membuka halaman secara acak. Detik kesebelas, ia membuka mata dan langsung tersenyum saat membaca apa yang tertulis di sana. Yes.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...