What is love?
Pertanyaan itulah yang kini sedang berputar-putar di atas kepala Alan. Sudah
seharian ia membolak-balik semua buku pintar yang ia punya, segala macam
ensiklopedi dari Americana hingga Britannica yang belum juga bisa menjawab pertanyaannya. Berabad-abad
perkembangan ilmu pengetahuan di bumi, masih belum ada yang bisa mendefinisikan
cinta secara gamblang dan tegas. Kini perhatiannya beralih pada layer komputer
di depannya. Google yang sebelumnya
ia sembah habis-habisan kini mengecewakannya. Beratus-ratus page dibukanya, tidak ada satupun yang mencuri perhatiannya. Cleverbot kini jadi sasarannya. Robot
yang katanya bisa menjawab semua pertanyaan itu pun menyerah.
Alan pun ikut menyerah. Jam di dinding sudah menunjukkan angka tiga lewat
lima belas. Sudah 18 jam waktunya tersita untuk pertanyaan bodoh yang satu ini.
Ia melangkah gontai menuju tempat tidurnya dengan berselimutkan satu pertanyaan
yang mengganggu itu.
Sebelumnya, tidak pernah terbersit sekalipun dalam benak Alan tentang
sesuatu yang sudah ia kenal akrab. Dari tiga wanita yang pernah bersamanya, ia
mendefinisikan cinta secara berbeda dari ketiganya. Tentu saja, yang terakhir
menancap paling dalam di relung hatinya sampai ia tidak bisa bergerak lagi
selama hampir dua tahun.
Adalah Rani, peri cinta yang punya jawaban paling logical tentang pertanyaan yang kini dilontarkan Alan. Selama tiga
bulan mereka bersama, tidak lama memang, Rani mendoktrinkan satu hal yang kini
paling Alan sesali. Cinta itu aku.
Pertemuan Alan dengan Rani memang bukan kebetulan seperti yang film-film
drama romantis ceritakan. Hubungan pertemanan jangka panjang yang akhirnya bisa
dikonversi jadi hubungan romantis. Menurut Alan, hal itulah yang membuat
dirinya masih terikat secara batin dengan Rani, meski Rani kini sudah hilang
entah kemana dengan pacarnya yang baru.
Drama romantis terus didengung-dengungkan Alan dalam pikirannya setiap
malam, tentang bagaimana ia akan secara tidak sengaja bertemu lagi dengan Rani
yang masih menggandeng pacarnya. Lalu dengan sejurus tatapan, Rani berpaling
kepada Alan kembali. Forever alone level
99.
Alan bukannya tidak punya gebetan. Banyak. Sebut saja, Alisa, Jessica,
Sherry, dan sederet nama-nama indah berikutnya pernah timbul tenggelam dalam
keseharian Alan. Dalam pikirannya, ia ingin sekali move on, dengan adanya kesempatan yang terbuka lebar di depannya
dan dengan sederet nama yang siap menerimanya dengan wajah sumringah.
Mereka semua punya definisinya masing-masing tentang cinta, sepengetahuan
Alan yang telah menanyainya satu-satu. Dengan menginterogasi mereka semua, Alan
berharap bisa menemukan jawaban yang bisa membuatnya bergerak, bangun dari
mimpi panjang yang mungkin tidak berkesudahan. Belum ada yang berani menyebut
dirinya adalah cinta, seperti Rani dulu. Lagi-lagi Rani.
Dengan pekerjaannya sebagai asisten dosen, Alan berkenalan dengan sederet
nama lain yang tidak kalah cantiknya. Sebagian adalah mahasiswi yang diajarnya,
dan sebagian lagi adalah rekan sesama asisten dosen. Alan selalu menyelipkan
pertanyaan itu dalam setiap obrolannya, dengan kemasan yang berbeda tentunya.
Biasanya, reaksi yang diterimanya tidak jauh-jauh dari tawa terbahak-bahak,
pertanyaan asal yang hanya bertujuan merubah topik, dan jawaban jujur nan
polos, ”tidak tahu.”
Satu jawaban berbeda diterimanya dari Teresa, rekan sesama asisten dosen
dalam obrolan seusai kelas.
”Tere, cinta itu apa sih?” tembak Alan tanpa tedeng aling-aling, yang
langsung membuat Teresa tersedak air yang baru diteguknya.
”Hmm, apa ya? Sesuatu yang membebaskan, mungkin?” jawabnya hati-hati.
Alan terdiam lama, tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang selama
ini sudah mengekangnya dalam pikiran yang diciptakan oleh seseorang, Rani.
Cinta tidak mengikat, seperti Teresa bilang, cinta itu membebaskan.
”Ada apa siih? Lagi jatuh cinta ya?” tanya Teresa iseng, yang sekaligus
membuyarkan semua yang tersusun rapi dalam memori Alan.
”Hmm, kayaknya sih.”
Sejak saat itu, mereka berdua semakin dekat. Alan tampak semakin yakin
dengan pilihannya saat ini. Tidak ada bayang-bayang Rani lagi walaupun hanya
sedetik. Semua tumpukan memori lapuk dalam pikirannya sudah ia bereskan dan
diisinya lagi dengan sesuatu yang baru. Ia sudah mendapatkan definisi cinta
yang selama ini ia cari-cari, tidak ada lagi yang ia ragukan dari langkahnya
saat ini.
Timbul pertanyaan iseng dalam pikirannya saat mereka berdua mampir ke toko
buku selesai mengajar. Apakah Teresa yang
terbaik? Tepat di depannya saat ini, ada sebuah buku tebal tidak
terbungkus. Buku itu berjudul ”The Book of Answers” yang dari penjelasannya katanya
bisa menjawab semua pertanyaan.
Sesuai petunjuk, Alan memikirkan pertanyaannya selama sepuluh detik dengan
mata terpejam sambil tangannya membuka halaman secara acak. Detik kesebelas, ia membuka mata dan
langsung tersenyum saat membaca apa yang tertulis di sana. Yes.
No comments:
Post a Comment