Aku tergelak. Spontan langsung
kututup mulut dengan tangan kiriku dan lari ke belakang. Tatapan orang-orang
yang memojokkan seakan menelanjangiku. Ini pikiranku! Mengapa semua orang mau ikut campur?
Di dalam kamar, aku melanjutkan
petualangan pikiran dan mulai tertawa-tawa kecil sendirian, tidak ada
siapa-siapa. Pikiran itu terlalu menyenangkan untuk kubiarkan pergi begitu saja
dan aku harus keluar lagi menemui orang-orang yang tadi belum sempat
menelanjangiku. Aku takut!
Semua kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi sudah aku susun rapi dalam memoriku, dan kini mereka muncul
kembali dalam wujud yang nyata. Kenyataan! Bagaimana seseorang bisa tidak
bahagia bila mimpinya menjadi kenyataan? Bagiku, hari itu hari paling sempurna
seumur hidup.
Dua jam aku mengunci diri di dalam
kamar, berpesta-pora dengan setan-setan dalam batinku. Tawaku sudah habis,
semua memori indah sudah keluar dengan bahagia. Kini, tinggal sisanya.
Orang-orang sudah pulang semua saat
aku memutuskan keluar dari kamar. Aku meniti kembali jalur pelarian yang tadi
kulewati dengan perlahan. Langkah demi langkah seakan melambatkanku. Terlalu
banyak energi yang kubuang tadi. Lantai terasa begitu lengket menahan kakiku
melangkah, tapi kupaksakan.
Sampailah aku di sana , dengan kepala menghadap ke atas tidak
berani menatapnya. Aku ingin sekali memberinya tatapan ‘rasakan akibatnya’,
yang malah menjadi ‘maafkan aku’ karena air mata yang sudah menggunung di
pelupuk mata.
Di sana terbaring jenazah ayahku.
No comments:
Post a Comment