Monday, March 26, 2012

Human Nature.

Ada sebuah cerita yang cukup menggoda saya untuk menuliskannya di sini. Cerita ini merupakan pengalaman pribadi saya tadi sore. Bukan cerita yang baik, tapi saya rasa cukup menggambarkan sosok manusia dan sikap-sikapnya yang berbeda. Mari kita mulai..

Di dalam angkot yang saya naiki, ada seorang nenek tua yang keriput di wajahnya sudah menyebar luas hingga matanya terlihat layu. Persis di depannya, ada seorang perempuan muda dua-puluhan yang saya tebak adalah cucunya. Mereka berdua tampak bingung, terlihat dari gerak-geriknya yang menoleh kesana-kemari, bahkan angkot pun belum juga jalan. Si nenek membuka suara, "Ini ke Asem bukan?" yang langsung dijawab dengan gelengaa kepala oleh si kenek, "Ibu kalo mau ke Asem, naik 03." Si nenek masih juga ngeyel dengan keyakinannya, "tapi, kata cucu saya naik 14. Ini 14, kan?" tanyanya memastikan. "Iya, ini 14. Asem mana sih, Bu?" tanya si kenek lagi, tidak sabar. Setelah berdebat cukup lama, angkot pun akhirnya jalan karena sudah disesaki penumpang, dan nenek itu masih di dalam, dengan cucunya.

Sudah setengah jalan, si nenek masih tampak gelisah. Ibu-ibu di sebelahnya tergerak untuk menanyakannya. "Kenapa, Bu?" Dengan dibantu penumpang lain, akhirnya dipastikan si nenek salah jurusan. Ia harus turun dan mengambil angkot kembali. Sesaat setelah si nenek itu turun, mulailah perbincangan seru di dalam angkot.
"Dasar, itu anak muda gak bisa apa-apa." ujar si Ibu, gusar.
"Iya, untung tadi aku tanyain ada nomer telpon apa enggak." Ibu lainnya menimpali.
"Parah banget itu, untung aku telpon tadi. Kalo enggak mah.." si Ibu yang pertama tidak mau kalah.
dan begitu seterusnya hingga saya turun. Pembicaraan mereka sudah berkembang jauh, membahas ketegasan si  Ibu pertama ketika menghadapi sopir taksi yang tidak tahu jalan, dan ia langsung meminta turun, yang dicontohkannya dengan nada tinggi nan tegas. Belum lagi, ia membanding-bandingkan si sopir dengan keponakannya yang juga sopir, tapi tahu jalan. Si Ibu kedua tampak sudah malas, sehingga cuma mengangguk-angguk seperlunya.

Sungguh, apa perlu begitu? Setelah kita membantu orang lain, lalu menggembar-gemborkannya ke luar. Iya, saya percaya semua orang pasti punya sifat itu di dalam dirinya, dan tidak seharusnya saya disini membahas sifat asli manusia, bukan?

Cheerio.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...