Pertanyaan yang sama terus berputar-putar di kepalaku selama seminggu
setelahnya. Siapa itu? Bagaimana bisa? Bukan
pertanyaan penting memang, tapi cukup menggelitik akal sehatku. Ditambah lagi,
Dewilah satu-satunya teman perempuanku selain Milly. Milly bukan temanku, ia
pacarku.
Hingga sampailah aku di suatu pertemuan bisnis kembali dengan Dewi. Iya,
kami membangun bisnis bersama sejak kuliah. Inilah yang membuat kami begitu
dekat, seperti adik-kakak. Kami berdua mendirikan sebuah perusahaan rekanan
sederhana yang kami namai wish
Productions. Perusahaan ini menerbitkan majalah lifestyle online setiap bulannya. Aku memegang bagian keuangan dan
publikasi, Dewi di bagian promosi dan desain. Kami mempekerjakan sepuluh orang,
yang kesemuanya punya bagian penting dalam lancarnya usaha ini.
“Jadi, untuk laporan bulanan, sudah siap semua?” tanyanya membuka obrolan.
“Sudah semua, gue itung-itung kita rugi lima juta bulan ini,” jawabku
menerangkan. “Iklan-iklan
dikit banget, tapi musti jalan terus.”
Memang, filosofi kami agak nyeleneh. Kami menolak iklan rokok masuk dalam
majalah kami. Sedangkan, kita semua tahu, rokoklah yang menyumbang porsi
terbesar dalam dunia periklanan. Keadaan ini yang terus kuperjuangkan, meski
Dewi mulai agak melunak masalah ini.
”Makanya, rokoknya diterima aja! Kalo udah kepepet gini pusing kan..”
protesnya. Jangan lagi, Dew. Gumamku
dalam hati.
Setelah keadaan agak tenang, dan defisit bulan ini sepertinya dapat
teratasi dengan kontrak jangka panjang dengan perusahaan kosmetik flamboyan,
aku mulai mengarahkan topik pembicaraan.
”Oya, minggu lalu, cowok, siapa tuh?” tanyaku berantakan. Sulit menyusun
kata-kata dengan rapi saat rasa ingin tahu mengganggu.
Belum sempat dijawab, aku bertanya lagi, ”Masih sama Radja, kan?” Aduh,
mulutku selalu lepas kendali.
”Oh, itu Aryo,” jawabnya singkat, datar. Melihat wajahku yang penuh rasa
ingin tahu, Dewi akhirnya menyerah. ”gue sama Radja gak putus, kita saling
jujur-jujuran kok.”
”O...” aku cuma bisa membulatkan mulutku. Jawaban Dewi sudah cukup
memuaskanku. Toh, aku tidak tertarik.
Setelah kututup dengan ekspresi kaget tidak percaya, Dewi mulai gerah. Ia
merasa perlu untuk menjelaskan filosofi pribadinya. ”Gue gak putus sama Radja
soalnya gue masih sayang dia,” sejenak ia berhenti dan menyeruput kopinya. ”tapi
Gue butuh tantangan lain. Gak mungkin kan kebutuhan kita terpenuhi cuma dari
satu orang?” Dewi semakin berapi-api menjelaskannya. ”Radja tahu kok masalah
ini, dia setuju aja.”
”O...” Lagi-lagi cuma suara itu yang bisa keluar dari mulutku. Rasa tidak
percaya ditambah kekaguman atas pemikiran Dewi yang brilian semakin
menenggelamkanku dalam kebingungan.
Pertemuan mingguan itu berakhir dengan senyum di wajah Dewi dan ekspresi
tolol tergambar jelas di wajahku seakan-akan ada tulisan ’hit me’ di jidatku.
Aku langsung pulang. Butuh banyak waktu untuk mencerna semua yang baru kudengar
dengan akal sehat. (bersambung)
No comments:
Post a Comment