We all believe that there are certain connections between people, a thread connects every individuals. Thread that can't be cut off, it may be tangled, but it will always find its way, eventually. The invisible thread connects us with people we know, or even we don't. It's fortunate to have someone you know at the end of your thread, but for some people, they don't see anything at the end, or even they can't see if there's a thread that connects.
Hopes are absolutely positive. They make you grow up and see what's next. I can say, hopes are something similar to a binocular, a special one, something that makes you decide what to see next. Hopes are sometimes blurring. Anything that we planned to see, suddenly disappear. What to blame? Hope? No. Blame yourself for extending your hope too far. If you see, everything has boundaries. Nothing too much is better. If you seek for your thread, you better hope, but keep your feet on the ground.
Well, for you who still haven't found what you're looking for, your thread I mean. Let's move on to second step, the deeper one. Dreaming. In terms of walking, dreams take us to step our feet on an empty space, and lets us walk along happily. The waking up? It's the hardest part. You will get the fall and also the sadness for stand alone going nowhere. If you ever heard, "Living the Dream", it's absolutely a fool. Dreaming needs you to sleep, while living needs a total focus. Continue to seek your thread? Stop dreaming, and let's move on to the third variable.
Reality. Well, I don't have much to say about it. It's all that we live in right now, unless you are sleepwalkers, or a zombie. In reality, you will take off all your binocular, shadow-slippers, and everything dreamy and start walking aimfully towards anything you intend to go. I don't say it's an easy way. Surely, you will find something unpleasant along your way, and it's all coming back to you whether you continue walking or you stop. Something good doesn't come for free.
In the end of our journey here, I don't guarantee you to find the person, or the thread right away. As far as I know, trying is more worthwhile than dreaming, or hoping.
Cheerio!
Monday, May 21, 2012
Sunday, May 13, 2012
Hujan Pukul Delapan.
“7:53”
Karel segera
menutup laptop-nya setelah menyadari waktu tidak lagi bersahabat. Dibereskannya
semua berkas-berkas yang berserakan di mejanya, dihabiskannya sisa kopi yang
masih harap-harap cemas menunggu diteguk. Ia siap sekarang.
“Guys, duluan ya!” ujarnya singkat sambil melambai ke segala
penjuru ruangan. Ia tidak dapat balasan apa-apa, hanya suara berdehem pelan
yang bisa ia dengar sayup-sayup. Ia tidak perlu balasan, ia butuh waktu lebih
sekarang.
Tidak ada yang bisa menahannya untuk pulang lewat jam delapan. Sudah
ritualnya sejak dua bulan lalu yang tidak boleh diganggu siapapun, bahkan
bosnya sendiri. Karel selalu punya alasan tepat, ia menyelesaikan tugasnya
dengan cepat. Bosnya tidak punya alasan apa-apa lagi.
“7:58”
Tepat lima
menit waktu yang ia butuhkan untuk dapat mencapai halte bus. Skema waktu yang
sudah dilatihnya setiap hari membuatnya semakin presisi dari hari ke hari. Ia
bisa memperhitungkan waktu per langkahnya dikali dua ratus lima
puluh tiga langkah sama dengan lima
menit nol detik.
Biasanya, selepas senyumnya mengembang setelah memeriksa catatan waktunya
yang membaik, Karel langsung gugup. Terlalu cepat senyum itu sirna dari
bibirnya dan berganti menjadi senyum kecut tak mampu. Dan itulah yang terjadi
hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sosoknya selalu bisa mempesona Karel. Gesturnya menghipnotis. Kedipan
matanya yang terjadi setiap delapan detik membuat jantungnya berdetak delapan
puluh kali delapan lebih cepat. Semua
tentangnya adalah sempurna, kira-kira begitu maksud Karel dalam hatinya.
Seperti hari-hari yang telah
lewat, Karel hanya bisa memandanginya bisu. Tidak ada patah kata yang keluar
dari mulutnya, setidaknya hingga sosok itu menghilang masuk ke dalam bus.
Sayang sekali mereka mengambil jurusan yang berbeda, Karel ke barat dan sesosok
sempurna itu ke selatan. Sesuatu yang bukannya disesali, namun malah
disyukurinya. Karel tidak bisa membayangkan sebanyak apa liur yang akan menetes
apabila mereka satu jurusan.
”Halo, Ra.” Karel menyapa di
ujung telepon.
Suara di seberang menjawab
malas, tapi tetap dipaksakan, ”Halo, Rel.”
”Tadi gue liat doi lagi,
Ra. Makin cantik aja, tuh!” Karel mulai khotbah malamnya. Sementara Fara mulai
mencari-cari sesuatu untuk ia mainkan sambil memejamkan mata mendengarkan
wejangan. Ia sudah muak dengan semua keluh-kesah Karel di teleponnya yang tidak
pernah absen setiap malam. Mungkin
sesekali absen saat mereka terjebak lembur di kantor.
“Udah berapa bulan, sih, Rel?”
Fara merasa perlu menyatakan sesuatu kali ini, ”Dua bulan, enam bulan, apa dua
tahun? Kok gue ngerasanya udah lima tahun, ya?”
”Besok, dua bulan lima hari.”
Karel tidak sempat mencerna sarkasme yang dilontarkan sahabatnya itu.
Pikirannya terlalu penuh dengan bayang-bayang sosok indah nan cantik itu, tidak
ada lagi ruang untuk sentilan-sentilan iseng Fara.
Fara, di seberang telepon
hanya bisa mendesah pelan. ”Ajak ngobrol dong.”
Sepertinya sebuah kesalahan
besar telah dibuat Fara, ia harus terjebak satu jam lagi untuk menampung omelan
dan curhatan Karel. Ia masih terpejam.
”7:52:55”
Karel sudah siap berangkat.
Semua barang-barangnya sudah siap seperti biasa. Di hatinya masih belum ada
perubahan. Ia masih merasa cukup dengan hanya melihat dan mengaguminya sekian
menit saja. Sekian menit yang bahkan tidak bisa dicatat oleh seorang Karel Si
Penguasa Waktu, begitu teman-teman memanggilnya.
”Rel, gue ikut lo pulang!”
Fara seketika muncul di hadapan Karel tanpa bisa ia sadari dari mana ia datang.
Fara pun sudah siap berangkat. Dengan tas kerja bergantung di kedua bahunya, ia siap menentang malam. Lembur
di rumah.
Bukan Fara namanya kalau tidak
penasaran. Ia sudah bisa menggambarkan sesosok yang katanya cantik itu tanpa
melihatnya terlebih dahulu. Semua deskripsi mendetil yang diwartakan Karel
setiap malam sudah cukup baginya. Sekarang, ia ingin mencocokkan hasil sketsa
dengan aslinya.
”Cantik, Rel!” hanya kata-kata
itulah yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia mungkin jadi terhipnotis juga
olehnya. Tapi, pertahanan Fara jauh lebih kuat, tiga tahun hubungannya dengan
Abella jadi palang pintu yang kokoh baginya.
”Well, I told you.” jawab Karel bangga. Entah apa yang ia
banggakan.
“You should talk to her!” Fara tidak kalah beringas. Ia siap menyerobot. Tunggu, ada Abella.
Esoknya, semua orang di kantor
sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tidak, bukannya kami semua mau
menari payung, tapi ramalan cuaca mengatakan akan hujan besar hari ini. Hanya
Karel yang tidak siap sama sekali. Persiapannya biasa, seperti hari biasanya.
Karel tidak pernah percaya ramalan cuaca, meskipun ia berkali-kali dikecewakan
keyakinannya sendiri.
”Selamat pagi, Karel! Pagi
yang cerah, ya?” Fara lagi-lagi menampakkan diri tanpa tanda-tanda. Karel
lagi-lagi tersentak.
”Iya, hari yang cerah, ya!”
balasnya sambil melihat ke luar jendela. Mendung berat.
Fara langsung meletakkan
tasnya persis di sebelah tas Karel. Meja mereka bersebelahan. Berkah bagi
Karel, petaka bagi Fara. ”Eh, lo pakai tas ini juga?”
”Gue gak ada tas lain yang
muat,” jawab Karel sekenanya. ”Jangan ketuker, lho.”
”7:55”
Karel terlambat dua menit dari
target awal. Dua menit yang digunakannya baik-baik untuk berpikir apakah
sebaiknya pulang sekarang, atau nanti saja setelah hujan reda. Dua menit yang
sia-sia, karena ia sudah tahu jawabnya.
Segeralah ia membereskan
barang-barangnya, mengambil tas di bawah kakinya, memasukkan kertas-kertas ke
dalamnya tanpa melihat, dan menutupnya kasar. Ia tidak pamitan dulu, terlalu
lama.
”8:00”
Karel sampai di halte setelah
membelah jalanan basah dengan kakinya. Untung masih tepat pukul delapan.
Matanya langsung memutari halte yang penuh sesak orang-orang yang kebanyakan
hanya butuh tempat teduh. Tidak ada.
Karel sudah merelakannya.
Sehari tidak bertemu sosok pujaannya tidak akan berarti apa-apa baginya, yang
sedetik kemudian langsung disangkalnya kembali. Ia harus bertemu, tidak peduli
bagaimana caranya.
Suatu objek bergerak yang
menarik perhatian Karel. Wajahnya tertutup tas tangan mahal yang harus
berkorban demi keselamatan pemiliknya. Sekilas, Karel mengenalinya. Itulah sosok bidadari yang ia cari-cari
dari tadi. Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya dan menelepon Fara untuk
menceritakan pemandangan indah yang baru dilihatnya.
“Damn!” Karel mengumpat
pelan. Tasnya tertukar dengan Fara.
Matanya terhenti pada suatu
benda di dalam tas Fara. Payung. Tanpa pikir panjang lagi, langsung diambilnya
payung itu, dan kemudian berlari menghampiri sosok bidadari yang
diidam-idamkannya sejak lama. Inilah saatnya.
”Hey, I’m Karel.”
Sesosok itu tersenyum. Manis
sekali. ”I’m Gail.”
Itulah saat di mana hujan
benar-benar membeku di atas mereka.
Akhirnya, sosok itu punya
nama.
Friday, May 4, 2012
Blind Date
Siang itu terik. Rio
masih duduk tercenung memandangi jalan raya yang penuh lalu-lalang kendaraan.
Dua cangkir kopinya tandas sudah, dan ia sedang menunggu yang ketiga. Sekuntum
bunga persis di depannya mulai layu, lelah menunggu.
*
Wanita itu sibuk
sekali dengan ponselnya. Matanya yang terpaku lurus ke layar, dan mimik serius
yang tidak bisa disembunyikannya melompat ke luar. Langkahnya cepat, secepat
detik arlojinya dan detak jantungnya.
“Hans,” ujarnya
setengah bertanya kepada seorang pria yang ditebaknya. “Hei, I’m Emil.”
Lanjutnya sambil tersenyum.
“Sori, salah
orang.” Jawab pria itu, tidak niat.
“Oh, maaf.”
Emil kembali
sibuk dengan ponselnya. Beberapa panggilan dilakukannya, dan semua berakhir
dengan kemasaman di wajahnya. Ia meletakkan ponselnya.
“Are you
serious?” tanyanya lagi pada pria yang sama. Pria itu masih di sana , tetap pada posisinya
semula, dengan banyak cangkir kosong di mejanya.
Pria itu
mendongak, dan dengan malas ia mengangguk. “Iya,” hingga keluarlah dua patah
kata yang memulai semuanya, “Ada
apa?”
Emil tanpa
malu-malu langsung mengambil tempat di sebelah pria itu. “Jangan ketawa, ya,”
ia melanjutkan, “Aku sudah di sini dua jam menunggu orang yang bahkan tidak
kukenal.”
“Hans?”
Emil hanya bisa
mengangguk.
“Sudah coba
telepon?”
“No signal.”
Pria itu
menyodorkan ponselnya, “Coba punyaku.”
Emil menggeleng.
“I’m over it,” ia mendesah pelan, “Inilah mengapa blind date
harus diharamkan,” suaranya mulai meninggi, “Orang sinting mana yang mau
menunggu seseorang yang belum dikenalnya sampai dua jam?!”
“Tepat di
depanmu.”
*
“Sudah ratusan
kali kuhubungi, tetap tidak ada jawaban. Hope she’s alright.” Rio mengangkat mukanya kembali setelah panggilan gagal
ke-145.
“Get over it.”
Emil memuntahkan semua rasa kesalnya terhadap konsep aneh bernama blind date.
“Hei!” Rio cepat-cepat memotongnya, terlambat.
“What’s your
name?”
“Rio .”
“Oke, Rio . Here’s what happen, kamu menunggu di sini
seharian, dengan rasa deg-degan yang terpancar dari muka anehmu itu. Kamu tidak
menyadari siapa saja orang-orang yang lewat sini. Sebenarnya, ia sudah lewat
sekali, lalu pergi la..”
“Hei!” kali ini Rio sukses memotongnya. Tapi semua intinya sudah
terjelaskan sempurna. “You’re stupid.”
Emil terkekeh.
“So, how about
you?” Rio balas bertanya, “Sama
saja?” Ia mencoba menggunakan
semua misil sarkastiknya sekarang.
Emil dengan santai hanya mengangkat bahu.
”Pasti ada alasan di balik semua ini, contohnya
kamu,” Rio menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput cangkir keempatnya,
”Priamu sedang berjalan ke sini, ia berhenti sebentar untuk membelikanmu bunga.
Saat ia kembali, ia kaget tiba-tiba mobilnya hilang. Ia lalu pergi ke halte,
dan terjebak di sana.” Rio meletakkan cangkirnya dengan bangga, tanda ia
selesai berbicara.
”Hmm, not bad.”
Emil berdehem. “Tapi, apa yang berbeda?”
“Kita masih bisa
membuat ini berhasil.” Emil berkata mantap.
“Caranya?”
*
“Apa-apaan nih?” Rio bertanya bingung.
“This is what
a blind date should be,” Emil tersenyum, “Masuk.”
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back
“What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...
-
we are different, i know that.. we are far far apart, and i don't mean.. we are connected, and no one ever breaks our bond. true love wa...
-
blogpost for today.. i just realized, what life would be without smile? would it be good or bad? happy or sad? okay let's talk about thi...
-
Tomorrow, we will face the national election round one, that will assign our representatives on the parliament.. it'll be held in the pa...