Friday, May 4, 2012

Blind Date


Siang itu terik. Rio masih duduk tercenung memandangi jalan raya yang penuh lalu-lalang kendaraan. Dua cangkir kopinya tandas sudah, dan ia sedang menunggu yang ketiga. Sekuntum bunga persis di depannya mulai layu, lelah menunggu.
*
Wanita itu sibuk sekali dengan ponselnya. Matanya yang terpaku lurus ke layar, dan mimik serius yang tidak bisa disembunyikannya melompat ke luar. Langkahnya cepat, secepat detik arlojinya dan detak jantungnya.

“Hans,” ujarnya setengah bertanya kepada seorang pria yang ditebaknya. “Hei, I’m Emil.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Sori, salah orang.” Jawab pria itu, tidak niat.
“Oh, maaf.”

Emil kembali sibuk dengan ponselnya. Beberapa panggilan dilakukannya, dan semua berakhir dengan kemasaman di wajahnya. Ia meletakkan ponselnya.
Are you serious?” tanyanya lagi pada pria yang sama. Pria itu masih di sana, tetap pada posisinya semula, dengan banyak cangkir kosong di mejanya.
Pria itu mendongak, dan dengan malas ia mengangguk. “Iya,” hingga keluarlah dua patah kata yang memulai semuanya, “Ada apa?”
Emil tanpa malu-malu langsung mengambil tempat di sebelah pria itu. “Jangan ketawa, ya,” ia melanjutkan, “Aku sudah di sini dua jam menunggu orang yang bahkan tidak kukenal.”
“Hans?”
Emil hanya bisa mengangguk.
“Sudah coba telepon?”
No signal.
Pria itu menyodorkan ponselnya, “Coba punyaku.”
Emil menggeleng. “I’m over it,” ia mendesah pelan, “Inilah mengapa blind date harus diharamkan,” suaranya mulai meninggi, “Orang sinting mana yang mau menunggu seseorang yang belum dikenalnya sampai dua jam?!”
“Tepat di depanmu.”
*
“Sudah ratusan kali kuhubungi, tetap tidak ada jawaban. Hope she’s alright.” Rio mengangkat mukanya kembali setelah panggilan gagal ke-145.
Get over it.” Emil memuntahkan semua rasa kesalnya terhadap konsep aneh bernama blind date.
“Hei!” Rio cepat-cepat memotongnya, terlambat.
What’s your name?
Rio.”
“Oke, Rio. Here’s what happen, kamu menunggu di sini seharian, dengan rasa deg-degan yang terpancar dari muka anehmu itu. Kamu tidak menyadari siapa saja orang-orang yang lewat sini. Sebenarnya, ia sudah lewat sekali, lalu pergi la..”
“Hei!” kali ini Rio sukses memotongnya. Tapi semua intinya sudah terjelaskan sempurna. “You’re stupid.
Emil terkekeh.

So, how about you?Rio balas bertanya, “Sama saja?” Ia mencoba menggunakan semua misil sarkastiknya sekarang.
Emil dengan santai hanya mengangkat bahu.
”Pasti ada alasan di balik semua ini, contohnya kamu,” Rio menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput cangkir keempatnya, ”Priamu sedang berjalan ke sini, ia berhenti sebentar untuk membelikanmu bunga. Saat ia kembali, ia kaget tiba-tiba mobilnya hilang. Ia lalu pergi ke halte, dan terjebak di sana.” Rio meletakkan cangkirnya dengan bangga, tanda ia selesai berbicara.
Hmm, not bad.” Emil berdehem. “Tapi, apa yang berbeda?”
Rio tercenung.
“Kita masih bisa membuat ini berhasil.” Emil berkata mantap.
“Caranya?”
*
“Apa-apaan nih?” Rio bertanya bingung.
This is what a blind date should be,” Emil tersenyum, “Masuk.”

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...