Siang itu terik. Rio
masih duduk tercenung memandangi jalan raya yang penuh lalu-lalang kendaraan.
Dua cangkir kopinya tandas sudah, dan ia sedang menunggu yang ketiga. Sekuntum
bunga persis di depannya mulai layu, lelah menunggu.
*
Wanita itu sibuk
sekali dengan ponselnya. Matanya yang terpaku lurus ke layar, dan mimik serius
yang tidak bisa disembunyikannya melompat ke luar. Langkahnya cepat, secepat
detik arlojinya dan detak jantungnya.
“Hans,” ujarnya
setengah bertanya kepada seorang pria yang ditebaknya. “Hei, I’m Emil.”
Lanjutnya sambil tersenyum.
“Sori, salah
orang.” Jawab pria itu, tidak niat.
“Oh, maaf.”
Emil kembali
sibuk dengan ponselnya. Beberapa panggilan dilakukannya, dan semua berakhir
dengan kemasaman di wajahnya. Ia meletakkan ponselnya.
“Are you
serious?” tanyanya lagi pada pria yang sama. Pria itu masih di sana , tetap pada posisinya
semula, dengan banyak cangkir kosong di mejanya.
Pria itu
mendongak, dan dengan malas ia mengangguk. “Iya,” hingga keluarlah dua patah
kata yang memulai semuanya, “Ada
apa?”
Emil tanpa
malu-malu langsung mengambil tempat di sebelah pria itu. “Jangan ketawa, ya,”
ia melanjutkan, “Aku sudah di sini dua jam menunggu orang yang bahkan tidak
kukenal.”
“Hans?”
Emil hanya bisa
mengangguk.
“Sudah coba
telepon?”
“No signal.”
Pria itu
menyodorkan ponselnya, “Coba punyaku.”
Emil menggeleng.
“I’m over it,” ia mendesah pelan, “Inilah mengapa blind date
harus diharamkan,” suaranya mulai meninggi, “Orang sinting mana yang mau
menunggu seseorang yang belum dikenalnya sampai dua jam?!”
“Tepat di
depanmu.”
*
“Sudah ratusan
kali kuhubungi, tetap tidak ada jawaban. Hope she’s alright.” Rio mengangkat mukanya kembali setelah panggilan gagal
ke-145.
“Get over it.”
Emil memuntahkan semua rasa kesalnya terhadap konsep aneh bernama blind date.
“Hei!” Rio cepat-cepat memotongnya, terlambat.
“What’s your
name?”
“Rio .”
“Oke, Rio . Here’s what happen, kamu menunggu di sini
seharian, dengan rasa deg-degan yang terpancar dari muka anehmu itu. Kamu tidak
menyadari siapa saja orang-orang yang lewat sini. Sebenarnya, ia sudah lewat
sekali, lalu pergi la..”
“Hei!” kali ini Rio sukses memotongnya. Tapi semua intinya sudah
terjelaskan sempurna. “You’re stupid.”
Emil terkekeh.
“So, how about
you?” Rio balas bertanya, “Sama
saja?” Ia mencoba menggunakan
semua misil sarkastiknya sekarang.
Emil dengan santai hanya mengangkat bahu.
”Pasti ada alasan di balik semua ini, contohnya
kamu,” Rio menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput cangkir keempatnya,
”Priamu sedang berjalan ke sini, ia berhenti sebentar untuk membelikanmu bunga.
Saat ia kembali, ia kaget tiba-tiba mobilnya hilang. Ia lalu pergi ke halte,
dan terjebak di sana.” Rio meletakkan cangkirnya dengan bangga, tanda ia
selesai berbicara.
”Hmm, not bad.”
Emil berdehem. “Tapi, apa yang berbeda?”
“Kita masih bisa
membuat ini berhasil.” Emil berkata mantap.
“Caranya?”
*
“Apa-apaan nih?” Rio bertanya bingung.
“This is what
a blind date should be,” Emil tersenyum, “Masuk.”
No comments:
Post a Comment