Matanya kini
tertuju pada lemari kayu usang tepat di depannya. Pikirannya melayang-layang
entah sampai mana, apakah ia akan dimarahi granny karena melanggar
aturannya, atau apakah ia akan menemukan sesuatu yang bakal menghantui malamnya
nanti. Joseph menggeleng, ia melangkahkan kakinya dengan berani sambil
memainkan satu anak kunci yang sudah berkarat di tangannya, tangan satunya
disilangkan. Ia takut sekali.
“Klik.” Sebentuk
suara yang ia dengar sangat jelas itu mengobati semua rasa penasarannya selama
ini. Langsung ditariknya pelan pintu lemari itu, berjaga-jaga supaya granny
tidak mendengarnya. Decitan yang mirip tikus ketakutan terdengar saat pintu
lemari itu terbuka di hadapannya. Joseph menganga tidak percaya atas apa yang
dilihatnya.
Setumpuk
buku-buku tebal yang sudah menguning menyambutnya dengan aroma yang khas.
Joseph terbatuk sebentar. Tapi, yang paling mengagetkannya, ia mendapati satu
radio tua yang selama ini hanya dilihatnya di lukisan yang disimpan granny.
Radio tua itu sudah menghiasi malam-malam Joseph selama lebih dari lima tahun, sejak ia
ngotot minta dibacakan dongeng sebelum tidur. Radio yang kata granny
bisa merekam suara hati pemiliknya dan menyampaikannya ke tujuan, Radio yang
bisa menyala saat malam menemani granny saat masih remaja dulu, dan
banyak cerita-cerita lain yang membuatnya seterkejut sekarang setelah
menemukannya.
Ia ingat sekali
bagaimana mengoperasikan radio itu, berbekal cerita granny yang sangat
detil bagaimana menyalakannya, bagaimana mencari salurannya, bagaimana mengatur
volumenya, dan masih banyak bagaimana-bagaimana lain yang diingatnya jelas.
Diputarnya ke kanan kenop berwarna perak lalu diluruskannya perlahan antena
yang sudah bisa ia patahkan hanya dengan satu tangan. Tidak menyala. Joseph
menggoyang-goyangkannya perlahan hingga habislah batas kesabarannya. Dibuangnya
radio itu ke sudut ruangan sambil menggerutu.
Dibukanya
satu-satu buku-buku tua yang bertumpuk itu sambil menutup hidungnya, halaman
demi halaman yang kebanyakan didominasi oleh potongan-potongan berita dari
koran yang ditempel rapi dibacanya dengan sabar. Judul-judul berita itu tidak
jauh dari tragedi Titanic seabad yang lalu. Sulit bagi Joseph untuk dapat
mengerti semua yang tertulis di sana ,
umurnya baru tujuh tahun dan kemampuan membacanya baru sebatas buku cerita
anak-anak yang dibelikan granny setiap hari ulang tahunnya.
Buku demi buku,
lembar demi lembar yang dilihatnya semakin menenggelamkan Joseph dalam
lamunannya tentang masa lalu. Ia kini bisa membayangkan bagaimana kota yang ditinggalinya sekarang, Southampton ,
dalam rekaman hitam-putih seperti yang ia lihat di lembaran berita itu. Sudah
hampir empat jam Joseph berada di sana ,
seharusnya ini waktunya tidur siang. Kebetulan granny tidak mencarinya
dan memaksanya tidur siang, bebaslah ia dari jeratan nap time yang
paling dibencinya.
Petualangan menembus
waktu membuat Joseph lelah, ia jatuh tertidur sambil memeluk buku dan
beralaskan kertas-kertas cetakan lama yang berserakan di lantai. Sekitar
setengah jam ia terlelap, tiba-tiba radarnya terkesiap mendengar suara
samar-samar dari sudut ruangan. Radio! Joseph langsung melompat bangun dan
berlari kearah radio itu, ia mengangkatnya dan menempelkan kotak itu di
telinganya.
“This is Ernest
speaking to Marie,” kata-kata pembukaan yang dapat Joseph dengar dengan
jelas. Siapa Ernest? Mengapa ia
berbicara dengan granny? Lalu ia lanjut mendengarkan.
“Marie….. I’ll be... home for..
our chi..,” Suaranya terputus-putus tertutupi oleh suara-suara lain yang
terdengar panik bagi Joseph. “I love you.” Setelah itu, semua terdengar
tidak jelas, banyak teriakan minta tolong yang didengar Joseph dari rekaman
itu, dan suara tadi mulai hilang dan akhirnya rekaman itu mati.
Pikiran polosnya
masih belum bisa mencerna semua yang baru saja didengarnya. Tapi, yang Joseph
tahu pasti, selama ini semua yang granny ceritakan adalah kenyataan, ia
jadi punya semangat lagi untuk meniru tokoh kebanggaannya itu, tentang seorang pejuang
yang benar-benar ada, dan semua kehebatannya yang benar-benar nyata.
“Joeeey! Where
are you?” granny memanggil-manggil dari bawah. Joseph mendadak kaget
dan bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus pura-pura tidur hingga granny
tidak memanggil lagi, atau ia akan turun dan menceritakan pengalamannya
ini. Cukup lama Joseph duduk terdiam kebingungan.
“What are you
doing here, Joey?” Tanya granny saat mendapati Joseph dan isi lemari
keramatnya berserakan di lantai. Ia langsung menggendong Joseph yang pura-pura
tidur dan membawanya turun. Tanpa ia sadari, air mata menitik dari sudut
matanya.
No comments:
Post a Comment