“Mengapa hidup ini susah banget?” gerutunya padaku. “Buat
apa diciptakan warna-warni kalau hitam-putih sudah cukup? Hidup yang begitu
simpel sekarang jadi ribet.” Ia terus nyerocos tanpa memberikanku kesempatan
mengunyah makananku. Lalu ia terdiam.
“Tidak ada pelangi dalam hitam-putih.” Jawabku pelan. Aku
mendekapnya lembut dari belakang sambil meniupkan kata-kata penenang di
telinganya. Ia meronta pelan, minta dilepaskan.
Pelangi sudah jadi bagian hidup kami bersama sejak aku
mengajaknya melihat pelangi untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Ia
terkesima dengan apa yang ia lihat. Lengkungan sempurna tak terputus, katanya
melambangkan perjalanan cinta kami yang tak akan terhenti. Susunan warna-warni
yang bertumpuk rapi sudah cukup menjelaskan warna-warni kehidupan yang kami
lalui. Aku juga terkesima, bagaimana seseorang yang baru pertama kalinya
melihat pelangi bisa punya pandangan semanis itu. Aku, tiga puluh tahun melihat
pelangi, hanya bisa bergumam, “Wow, bagus sekali.”
Kami juga percaya, pelangi bisa menyatukan orang-orang yang
terpisah jauh, mungkin itu sebabnya diciptakan lagu “The Rainbow Connection”.
Selama hampir empat tahun kami terpisah, pelangilah yang menjembatani pertemuan
kami. Atau bisa dibilang, pelangilah yang menyelamatkan hubungan kami. Bukan
perkara mudah buat dua orang yang saling jatuh cinta harus terpisahkan ruang
dan waktu tanpa keyakinan kuat pada sesuatu. Untung, kami punya sesuatu itu.
Hari demi hari, warna-warni pelangi mulai memudar dalam
pandangan kami. Tidak pernah lagi ada dialog tentang mengapa warna biru ada di
urutan kelima, bukannya pertama, mengapa merah ditaruh paling awal, apakah
merah lebih kuat dari biru, dan seterusnya dan seterusnya yang bisa menyita
waktu kami sampai berjam-jam. Kini pelangi berubah abu-abu. Tujuh warna cerah
telah digantikan spektrum pergantian warna hitam menjadi putih, yang di
dalamnya terdapat banyak sekali abu-abu. Ketidakjelasan.
Hingga sampailah
kami berdua di sini, mencoba mendefinisikan kembali makna pelangi. Sesuatu yang
pernah begitu erat melekat pada kami, kini jadi buram. Satu hal yang paling
prinsipil dalam perjalanan kami kini sudah pergi, mencoba berlari bersama awan
dan mentari. Kami pun menyerah.
“Selamat jalan, Pelangi,
sampai jumpa di hujan berikutnya.”
No comments:
Post a Comment