Sunday, April 1, 2012

Di Ujung Pelangi.


“Mengapa hidup ini susah banget?” gerutunya padaku. “Buat apa diciptakan warna-warni kalau hitam-putih sudah cukup? Hidup yang begitu simpel sekarang jadi ribet.” Ia terus nyerocos tanpa memberikanku kesempatan mengunyah makananku. Lalu ia terdiam.

“Tidak ada pelangi dalam hitam-putih.” Jawabku pelan. Aku mendekapnya lembut dari belakang sambil meniupkan kata-kata penenang di telinganya. Ia meronta pelan, minta dilepaskan.

Pelangi sudah jadi bagian hidup kami bersama sejak aku mengajaknya melihat pelangi untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Ia terkesima dengan apa yang ia lihat. Lengkungan sempurna tak terputus, katanya melambangkan perjalanan cinta kami yang tak akan terhenti. Susunan warna-warni yang bertumpuk rapi sudah cukup menjelaskan warna-warni kehidupan yang kami lalui. Aku juga terkesima, bagaimana seseorang yang baru pertama kalinya melihat pelangi bisa punya pandangan semanis itu. Aku, tiga puluh tahun melihat pelangi, hanya bisa bergumam, “Wow, bagus sekali.”

Kami juga percaya, pelangi bisa menyatukan orang-orang yang terpisah jauh, mungkin itu sebabnya diciptakan lagu “The Rainbow Connection”. Selama hampir empat tahun kami terpisah, pelangilah yang menjembatani pertemuan kami. Atau bisa dibilang, pelangilah yang menyelamatkan hubungan kami. Bukan perkara mudah buat dua orang yang saling jatuh cinta harus terpisahkan ruang dan waktu tanpa keyakinan kuat pada sesuatu. Untung, kami punya sesuatu itu.

Hari demi hari, warna-warni pelangi mulai memudar dalam pandangan kami. Tidak pernah lagi ada dialog tentang mengapa warna biru ada di urutan kelima, bukannya pertama, mengapa merah ditaruh paling awal, apakah merah lebih kuat dari biru, dan seterusnya dan seterusnya yang bisa menyita waktu kami sampai berjam-jam. Kini pelangi berubah abu-abu. Tujuh warna cerah telah digantikan spektrum pergantian warna hitam menjadi putih, yang di dalamnya terdapat banyak sekali abu-abu. Ketidakjelasan.

Hingga sampailah kami berdua di sini, mencoba mendefinisikan kembali makna pelangi. Sesuatu yang pernah begitu erat melekat pada kami, kini jadi buram. Satu hal yang paling prinsipil dalam perjalanan kami kini sudah pergi, mencoba berlari bersama awan dan mentari. Kami pun menyerah.

“Selamat jalan, Pelangi, sampai jumpa di hujan berikutnya.”

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...