Rambutnya yang
kian tipis berkibar dalam terpaan angin mendung. Melihat awan hitam yang
menggantung di atas kepalanya siap mengguyurkan semua isinya membuatnya semakin
bersinar. Gerakannya tampak semakin lincah, ditambah senyumnya yang semanis
embun pagi menyempurnakannya.
Aku, dari dalam
rumah hanya bisa terdiam melihatnya begitu. Seluruh energinya tampak membuncah
keluar menarikan tarian hujan yang sudah jadi tradisinya bertahun-tahun. Aku
merasa gelisah, takut energinya terkuras habis dan menjatuhkannya ke tanah.
Kutegakkan sandaran kursi dan mengawasinya dengan lebih seksama. Rian tidak
pernah segembira ini.
Wajah seribunya
– itu yang sering orang katakan pada anak down
syndrome, kini tidak lagi seribu, melainkan satu. Semburat emosi yang
menggebu-gebu dalam dirinya secara langsung merubah ekspresi wajahnya. Ia satu
dari seribu, bahkan sejuta. Ia milikku.
Kecintaannya
pada hujan sudah terlihat sejak umurnya masih tiga tahun. Saat Rian masih belum
menunjukkan tanda-tanda keterbelakangannya. Hal itulah satu-satunya alasan yang
membuatku tetap tegar menghadapinya. Aku percaya, mencintai hujan adalah
kebiasaan yang baik, setidaknya, satu-satunya yang masih dilakukannya hingga
sekarang. Mereka juga punya ketetapan hati.
Hujan sudah mulai turun dan semakin deras. Rian
tertawa makin riang dan berlari kesana-kemari memutari halaman rumah kami yang
luas sambil menyeret truk mainannya. Dalam batinku, mungkin inilah hal terindah
yang akan dialami Rian, meski aku pasti akan berusaha sekeras yang kumampu
untuk membahagiakannya. Namun untuk saat ini, tidak ada yang salah.
”Brukk.” terdengar suara keras dari halaman saat
aku sedang membolak-balik majalah. Spontan aku berlari keluar tanpa melihat
terlebih dahulu apa yang terjadi. Rian jatuh tersungkur, dan wajahnya jatuh
tepat di atas gundukan tanah basah yang semakin mirip lumpur.
”Rian, tidak apa-apa?” tanyaku khawatir sambil
membantunya bangun dan siap dengan handuk kecil yang kuraih dari teras.
”Ngg.” jawabnya sambil menggeleng. Ia berusaha
melepaskan rangkulanku yang sudah sangat erat, berbanding lurus dengan tingkat
kekhawatiranku.
Aku melepasnya. Ia berlari lagi. Kali ini, ia
sempat sejenak memberiku tatapan khasnya, dan dibarengi senyum lebar sambil
seolah berkata, ”I’m okay, Mommy!”
Sometimes, the best thing one can do when it's raining
is to let it rain. – Henry Wadsworth
Longfellow
No comments:
Post a Comment