Sunday, May 13, 2012

Hujan Pukul Delapan.


“7:53”
Karel segera menutup laptop-nya setelah menyadari waktu tidak lagi bersahabat. Dibereskannya semua berkas-berkas yang berserakan di mejanya, dihabiskannya sisa kopi yang masih harap-harap cemas menunggu diteguk. Ia siap sekarang.
Guys, duluan ya!” ujarnya singkat sambil melambai ke segala penjuru ruangan. Ia tidak dapat balasan apa-apa, hanya suara berdehem pelan yang bisa ia dengar sayup-sayup. Ia tidak perlu balasan, ia butuh waktu lebih sekarang.
Tidak ada yang bisa menahannya untuk pulang lewat jam delapan. Sudah ritualnya sejak dua bulan lalu yang tidak boleh diganggu siapapun, bahkan bosnya sendiri. Karel selalu punya alasan tepat, ia menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Bosnya tidak punya alasan apa-apa lagi.

“7:58”
Tepat lima menit waktu yang ia butuhkan untuk dapat mencapai halte bus. Skema waktu yang sudah dilatihnya setiap hari membuatnya semakin presisi dari hari ke hari. Ia bisa memperhitungkan waktu per langkahnya dikali dua ratus lima puluh tiga langkah sama dengan lima menit nol detik.
Biasanya, selepas senyumnya mengembang setelah memeriksa catatan waktunya yang membaik, Karel langsung gugup. Terlalu cepat senyum itu sirna dari bibirnya dan berganti menjadi senyum kecut tak mampu. Dan itulah yang terjadi hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sosoknya selalu bisa mempesona Karel. Gesturnya menghipnotis. Kedipan matanya yang terjadi setiap delapan detik membuat jantungnya berdetak delapan puluh kali delapan lebih cepat. Semua tentangnya adalah sempurna, kira-kira begitu maksud Karel dalam hatinya.
Seperti hari-hari yang telah lewat, Karel hanya bisa memandanginya bisu. Tidak ada patah kata yang keluar dari mulutnya, setidaknya hingga sosok itu menghilang masuk ke dalam bus. Sayang sekali mereka mengambil jurusan yang berbeda, Karel ke barat dan sesosok sempurna itu ke selatan. Sesuatu yang bukannya disesali, namun malah disyukurinya. Karel tidak bisa membayangkan sebanyak apa liur yang akan menetes apabila mereka satu jurusan.

”Halo, Ra.” Karel menyapa di ujung telepon.
Suara di seberang menjawab malas, tapi tetap dipaksakan, ”Halo, Rel.”
”Tadi gue liat doi lagi, Ra. Makin cantik aja, tuh!” Karel mulai khotbah malamnya. Sementara Fara mulai mencari-cari sesuatu untuk ia mainkan sambil memejamkan mata mendengarkan wejangan. Ia sudah muak dengan semua keluh-kesah Karel di teleponnya yang tidak pernah absen setiap malam. Mungkin sesekali absen saat mereka terjebak lembur di kantor.
“Udah berapa bulan, sih, Rel?” Fara merasa perlu menyatakan sesuatu kali ini, ”Dua bulan, enam bulan, apa dua tahun? Kok gue ngerasanya udah lima tahun, ya?”
”Besok, dua bulan lima hari.” Karel tidak sempat mencerna sarkasme yang dilontarkan sahabatnya itu. Pikirannya terlalu penuh dengan bayang-bayang sosok indah nan cantik itu, tidak ada lagi ruang untuk sentilan-sentilan iseng Fara.
Fara, di seberang telepon hanya bisa mendesah pelan. ”Ajak ngobrol dong.”
Sepertinya sebuah kesalahan besar telah dibuat Fara, ia harus terjebak satu jam lagi untuk menampung omelan dan curhatan Karel. Ia masih terpejam.

”7:52:55”
Karel sudah siap berangkat. Semua barang-barangnya sudah siap seperti biasa. Di hatinya masih belum ada perubahan. Ia masih merasa cukup dengan hanya melihat dan mengaguminya sekian menit saja. Sekian menit yang bahkan tidak bisa dicatat oleh seorang Karel Si Penguasa Waktu, begitu teman-teman memanggilnya.
”Rel, gue ikut lo pulang!” Fara seketika muncul di hadapan Karel tanpa bisa ia sadari dari mana ia datang. Fara pun sudah siap berangkat. Dengan tas kerja bergantung di kedua bahunya, ia siap menentang malam. Lembur di rumah.
Bukan Fara namanya kalau tidak penasaran. Ia sudah bisa menggambarkan sesosok yang katanya cantik itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Semua deskripsi mendetil yang diwartakan Karel setiap malam sudah cukup baginya. Sekarang, ia ingin mencocokkan hasil sketsa dengan aslinya.
”Cantik, Rel!” hanya kata-kata itulah yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia mungkin jadi terhipnotis juga olehnya. Tapi, pertahanan Fara jauh lebih kuat, tiga tahun hubungannya dengan Abella jadi palang pintu yang kokoh baginya.
Well, I told you.” jawab Karel bangga. Entah apa yang ia banggakan.
You should talk to her!Fara tidak kalah beringas. Ia siap menyerobot. Tunggu, ada Abella.

Esoknya, semua orang di kantor sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tidak, bukannya kami semua mau menari payung, tapi ramalan cuaca mengatakan akan hujan besar hari ini. Hanya Karel yang tidak siap sama sekali. Persiapannya biasa, seperti hari biasanya. Karel tidak pernah percaya ramalan cuaca, meskipun ia berkali-kali dikecewakan keyakinannya sendiri.
”Selamat pagi, Karel! Pagi yang cerah, ya?” Fara lagi-lagi menampakkan diri tanpa tanda-tanda. Karel lagi-lagi tersentak.
”Iya, hari yang cerah, ya!” balasnya sambil melihat ke luar jendela. Mendung berat.
Fara langsung meletakkan tasnya persis di sebelah tas Karel. Meja mereka bersebelahan. Berkah bagi Karel, petaka bagi Fara. ”Eh, lo pakai tas ini juga?”
”Gue gak ada tas lain yang muat,” jawab Karel sekenanya. ”Jangan ketuker, lho.”

”7:55”
Karel terlambat dua menit dari target awal. Dua menit yang digunakannya baik-baik untuk berpikir apakah sebaiknya pulang sekarang, atau nanti saja setelah hujan reda. Dua menit yang sia-sia, karena ia sudah tahu jawabnya.
Segeralah ia membereskan barang-barangnya, mengambil tas di bawah kakinya, memasukkan kertas-kertas ke dalamnya tanpa melihat, dan menutupnya kasar. Ia tidak pamitan dulu, terlalu lama.

”8:00”
Karel sampai di halte setelah membelah jalanan basah dengan kakinya. Untung masih tepat pukul delapan. Matanya langsung memutari halte yang penuh sesak orang-orang yang kebanyakan hanya butuh tempat teduh. Tidak ada.
Karel sudah merelakannya. Sehari tidak bertemu sosok pujaannya tidak akan berarti apa-apa baginya, yang sedetik kemudian langsung disangkalnya kembali. Ia harus bertemu, tidak peduli bagaimana caranya.
Suatu objek bergerak yang menarik perhatian Karel. Wajahnya tertutup tas tangan mahal yang harus berkorban demi keselamatan pemiliknya. Sekilas, Karel mengenalinya. Itulah sosok bidadari yang ia cari-cari dari tadi. Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya dan menelepon Fara untuk menceritakan pemandangan indah yang baru dilihatnya.
Damn!” Karel mengumpat pelan. Tasnya tertukar dengan Fara.
Matanya terhenti pada suatu benda di dalam tas Fara. Payung. Tanpa pikir panjang lagi, langsung diambilnya payung itu, dan kemudian berlari menghampiri sosok bidadari yang diidam-idamkannya sejak lama. Inilah saatnya.
Hey, I’m Karel.
Sesosok itu tersenyum. Manis sekali. ”I’m Gail.
Itulah saat di mana hujan benar-benar membeku di atas mereka.
Akhirnya, sosok itu punya nama.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...