“7:53”
Karel segera
menutup laptop-nya setelah menyadari waktu tidak lagi bersahabat. Dibereskannya
semua berkas-berkas yang berserakan di mejanya, dihabiskannya sisa kopi yang
masih harap-harap cemas menunggu diteguk. Ia siap sekarang.
“Guys, duluan ya!” ujarnya singkat sambil melambai ke segala
penjuru ruangan. Ia tidak dapat balasan apa-apa, hanya suara berdehem pelan
yang bisa ia dengar sayup-sayup. Ia tidak perlu balasan, ia butuh waktu lebih
sekarang.
Tidak ada yang bisa menahannya untuk pulang lewat jam delapan. Sudah
ritualnya sejak dua bulan lalu yang tidak boleh diganggu siapapun, bahkan
bosnya sendiri. Karel selalu punya alasan tepat, ia menyelesaikan tugasnya
dengan cepat. Bosnya tidak punya alasan apa-apa lagi.
“7:58”
Tepat lima
menit waktu yang ia butuhkan untuk dapat mencapai halte bus. Skema waktu yang
sudah dilatihnya setiap hari membuatnya semakin presisi dari hari ke hari. Ia
bisa memperhitungkan waktu per langkahnya dikali dua ratus lima
puluh tiga langkah sama dengan lima
menit nol detik.
Biasanya, selepas senyumnya mengembang setelah memeriksa catatan waktunya
yang membaik, Karel langsung gugup. Terlalu cepat senyum itu sirna dari
bibirnya dan berganti menjadi senyum kecut tak mampu. Dan itulah yang terjadi
hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sosoknya selalu bisa mempesona Karel. Gesturnya menghipnotis. Kedipan
matanya yang terjadi setiap delapan detik membuat jantungnya berdetak delapan
puluh kali delapan lebih cepat. Semua
tentangnya adalah sempurna, kira-kira begitu maksud Karel dalam hatinya.
Seperti hari-hari yang telah
lewat, Karel hanya bisa memandanginya bisu. Tidak ada patah kata yang keluar
dari mulutnya, setidaknya hingga sosok itu menghilang masuk ke dalam bus.
Sayang sekali mereka mengambil jurusan yang berbeda, Karel ke barat dan sesosok
sempurna itu ke selatan. Sesuatu yang bukannya disesali, namun malah
disyukurinya. Karel tidak bisa membayangkan sebanyak apa liur yang akan menetes
apabila mereka satu jurusan.
”Halo, Ra.” Karel menyapa di
ujung telepon.
Suara di seberang menjawab
malas, tapi tetap dipaksakan, ”Halo, Rel.”
”Tadi gue liat doi lagi,
Ra. Makin cantik aja, tuh!” Karel mulai khotbah malamnya. Sementara Fara mulai
mencari-cari sesuatu untuk ia mainkan sambil memejamkan mata mendengarkan
wejangan. Ia sudah muak dengan semua keluh-kesah Karel di teleponnya yang tidak
pernah absen setiap malam. Mungkin
sesekali absen saat mereka terjebak lembur di kantor.
“Udah berapa bulan, sih, Rel?”
Fara merasa perlu menyatakan sesuatu kali ini, ”Dua bulan, enam bulan, apa dua
tahun? Kok gue ngerasanya udah lima tahun, ya?”
”Besok, dua bulan lima hari.”
Karel tidak sempat mencerna sarkasme yang dilontarkan sahabatnya itu.
Pikirannya terlalu penuh dengan bayang-bayang sosok indah nan cantik itu, tidak
ada lagi ruang untuk sentilan-sentilan iseng Fara.
Fara, di seberang telepon
hanya bisa mendesah pelan. ”Ajak ngobrol dong.”
Sepertinya sebuah kesalahan
besar telah dibuat Fara, ia harus terjebak satu jam lagi untuk menampung omelan
dan curhatan Karel. Ia masih terpejam.
”7:52:55”
Karel sudah siap berangkat.
Semua barang-barangnya sudah siap seperti biasa. Di hatinya masih belum ada
perubahan. Ia masih merasa cukup dengan hanya melihat dan mengaguminya sekian
menit saja. Sekian menit yang bahkan tidak bisa dicatat oleh seorang Karel Si
Penguasa Waktu, begitu teman-teman memanggilnya.
”Rel, gue ikut lo pulang!”
Fara seketika muncul di hadapan Karel tanpa bisa ia sadari dari mana ia datang.
Fara pun sudah siap berangkat. Dengan tas kerja bergantung di kedua bahunya, ia siap menentang malam. Lembur
di rumah.
Bukan Fara namanya kalau tidak
penasaran. Ia sudah bisa menggambarkan sesosok yang katanya cantik itu tanpa
melihatnya terlebih dahulu. Semua deskripsi mendetil yang diwartakan Karel
setiap malam sudah cukup baginya. Sekarang, ia ingin mencocokkan hasil sketsa
dengan aslinya.
”Cantik, Rel!” hanya kata-kata
itulah yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia mungkin jadi terhipnotis juga
olehnya. Tapi, pertahanan Fara jauh lebih kuat, tiga tahun hubungannya dengan
Abella jadi palang pintu yang kokoh baginya.
”Well, I told you.” jawab Karel bangga. Entah apa yang ia
banggakan.
“You should talk to her!” Fara tidak kalah beringas. Ia siap menyerobot. Tunggu, ada Abella.
Esoknya, semua orang di kantor
sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tidak, bukannya kami semua mau
menari payung, tapi ramalan cuaca mengatakan akan hujan besar hari ini. Hanya
Karel yang tidak siap sama sekali. Persiapannya biasa, seperti hari biasanya.
Karel tidak pernah percaya ramalan cuaca, meskipun ia berkali-kali dikecewakan
keyakinannya sendiri.
”Selamat pagi, Karel! Pagi
yang cerah, ya?” Fara lagi-lagi menampakkan diri tanpa tanda-tanda. Karel
lagi-lagi tersentak.
”Iya, hari yang cerah, ya!”
balasnya sambil melihat ke luar jendela. Mendung berat.
Fara langsung meletakkan
tasnya persis di sebelah tas Karel. Meja mereka bersebelahan. Berkah bagi
Karel, petaka bagi Fara. ”Eh, lo pakai tas ini juga?”
”Gue gak ada tas lain yang
muat,” jawab Karel sekenanya. ”Jangan ketuker, lho.”
”7:55”
Karel terlambat dua menit dari
target awal. Dua menit yang digunakannya baik-baik untuk berpikir apakah
sebaiknya pulang sekarang, atau nanti saja setelah hujan reda. Dua menit yang
sia-sia, karena ia sudah tahu jawabnya.
Segeralah ia membereskan
barang-barangnya, mengambil tas di bawah kakinya, memasukkan kertas-kertas ke
dalamnya tanpa melihat, dan menutupnya kasar. Ia tidak pamitan dulu, terlalu
lama.
”8:00”
Karel sampai di halte setelah
membelah jalanan basah dengan kakinya. Untung masih tepat pukul delapan.
Matanya langsung memutari halte yang penuh sesak orang-orang yang kebanyakan
hanya butuh tempat teduh. Tidak ada.
Karel sudah merelakannya.
Sehari tidak bertemu sosok pujaannya tidak akan berarti apa-apa baginya, yang
sedetik kemudian langsung disangkalnya kembali. Ia harus bertemu, tidak peduli
bagaimana caranya.
Suatu objek bergerak yang
menarik perhatian Karel. Wajahnya tertutup tas tangan mahal yang harus
berkorban demi keselamatan pemiliknya. Sekilas, Karel mengenalinya. Itulah sosok bidadari yang ia cari-cari
dari tadi. Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya dan menelepon Fara untuk
menceritakan pemandangan indah yang baru dilihatnya.
“Damn!” Karel mengumpat
pelan. Tasnya tertukar dengan Fara.
Matanya terhenti pada suatu
benda di dalam tas Fara. Payung. Tanpa pikir panjang lagi, langsung diambilnya
payung itu, dan kemudian berlari menghampiri sosok bidadari yang
diidam-idamkannya sejak lama. Inilah saatnya.
”Hey, I’m Karel.”
Sesosok itu tersenyum. Manis
sekali. ”I’m Gail.”
Itulah saat di mana hujan
benar-benar membeku di atas mereka.
Akhirnya, sosok itu punya
nama.
No comments:
Post a Comment