Tuesday, September 6, 2011

Jakarta oh Jakarta

Seperti lebaran tahun lalu, dua tahun lalu, dan berpuluh - puluh tahun lalu. Arus balik selalu lebih deras dari arus mudik. Banyak yang bisa dijanjikan kota sebesar Jakarta, godaan kerlap - kerlipnya yang kadang menyilaukan dan lebih tepatnya memilukan.

Hari pertama kerja masih belum menampakkan tanda - tanda itu, banjiran kaum urban yang mencoba mengadu nasib ke kota yang katanya memberikan jutaan peluang ini. Jalanan masih cukup lengang saat aku dalam perjalanan pulang kuliah, dengan mobil minibus merah bernomor "14" yang sangat mencolok mata sampai - sampai tidak perlu memberi tahu kalau berhenti. Aku duduk di kursi depan.

Seperti biasanya, tatapanku kosong memandang jalan sambil kuseruput jus apel botolan yang baru kubeli, sambil sesekali kupandang supirnya untuk memastikan dia tidak ketiduran saking sepinya. Aku coba pecahkan keheningan sambil kurapikan ceceran uang receh di dashboard. Sang supir menyapa, "Trimakasih dek.", "Iya pak." jawabku. Sang supir menyambung lagi, "Itu, buat polisi cepek di tikungan jalan, kasihan anak - anak kecil  disana.", hanya "Oh." sambungku.

Tikungan demi tikungan kami lewati, dan memang benar tidak pernah sepi dari polisi cepek, sebutan bagi mereka yang rela hati mengatur lalu lintas dengan tangan atau sebentuk karton demi seratusan rupiah yang belum tentu mereka dapat. Pernah kuhitung omzet mereka sebulan nyepek, dengan asumsi gopek. Wah, hasilnya mengejutkan, setara UMR.

Tak terhitung sudah berapa banyak koinan yang si supir relakan, sampai iseng aku bertanya, "Gak rugi pak ngasih terus?". Sambil dalam hati aku menghitung. "Ndak lah, kasih sedikit lah ke mereka, perlu makan juga dia." jawab si supir sambil tertawa kecil. "Makin banyak orang kampung ke sini, ruwet dah Jakarta, kita mah bantu sebisanya deh." sambungnya lagi.

Aku membatin, "Apa yang bisa aku lakukan untuk mereka?". "Apa Jakarta ini cuma seluas kampus ke rumah?". Terlalu banyak sisi kota ini yang belum kulihat, bagaimana mereka berusaha bertahan setelah dikhianati kota ini. Bagaimana dulu mereka meninggalkan kampungnya dengan mimpi selangit namun kini tinggal sesuap nasi.

Hingga akhirnya aku tiba di depan komplek perumahanku, kuingatkan supirnya agar berhenti, yang lagi - lagi mengandalkan warna merah mencoloknya sebagai lampu sen. Kuberikan selembar lima ribuan dan langsung menghambur keluar tanpa si supir sempat menyiapkan kembalian. Kupikir, inilah caraku membantu mereka, entah dengan menyemangati supirnya untuk memberi lebih ke polisi cepek, atau gimana lah baiknya.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...