Saturday, December 31, 2011

Lamunan


Pusat kebugaran biasanya selalu dibuat sejuk dan nyaman. Mengapa? Sejak berkeringat menjadi tujuan utama, semburan angin sejuk yang bagai surga itu seakan bersembunyi dibalik lenguhan – lenguhan puas para anggotanya. Kehangatan selalu menyelimuti tempat itu. Puluhan pria dengan otot yang selalu membesar setiap harinya begitu rajin mengecek perkembangan di cermin, entah perlu atau cuma sekedar pemujaan diri. Wanita yang tidak kalah banyak, dengan semangat pantang menyerah, berusaha membakar setiap mili lemak di tubuhnya. Sambil mereka sesekali menggoda sesamanya, cukup ’Sudah turun berapa? Aku lima loh,’ dengan diiringi tawa penuh kemenangan, yang kadang cuma terbalas senyum masam.

Tapi siang itu berbeda. Dingin yang dengan pede-nya menyeruak keluar, diiringi deru mesin pendingin dan pengharum ruangan otomatis yang setiap lima menit tidak alpa menyemprotkan wewangian khas. Alat – alat yang biasanya digilir belasan anggota sampai aku bisa dengar rintihan lelahnya, kali ini tampak riang. Cermin yang biasanya rela jadi orang lain, kini jadi dirinya sendiri, menyatu dengan ruangan itu. Aku, masih dengan earphone yang menggantung sebelah, masih terus berlari mengejarnya. Siapa? Tidak ada siapa – siapa disana, cuma lamunanku saja.

Rambutnya yang panjang sengaja diurai lepas, bergoyang serentak dengan langkahnya yang cepat di karpet treadmill. Ia tidak pernah lambat, selalu berlari. Aku cuma tahu sedikit tentangnya, hanya sepengelihatanku di pantulan kaca yang membatasi kami, para anggota, dengan udara luar. Ketika mendung, bayangannya tampak jelas, sejelas ia menatapku lama setelah ia selesai berlari. Ketika cerah, semuanya nampak pudar. Tapi masih ada secercah bayangan yang kutangkap, persis di wajahnya.

Pernah, suatu hari aku pindah dari tempatku biasa berlari, yang secara tidak langsung sudah kutempelkan namaku disana, demi melihatnya lebih dekat. Tampaknya ia menyadarinya dari awal, dan memilih tidak berlari hari itu. Kembali, rasa hampa peninggalan mantan – mantanku sebelumnya mengetuk pintu, meminta masuk. Hari itu lewat lagi, seperti ratusan hari yang lalu. Tanpa hasil namun ada kepuasan disana.

Satu hari di bulan Januari, saat hujan sedang lebat – lebatnya. Tidak banyak anggota hari itu. Aku, seperti biasa, berlari tanpa tujuan, mengejarnya. Maksudku, bayangannya. Aku tidak peduli apapun hari itu, terlihat jelas dari earphone-ku yang menggantung keduanya, dengan volume maksimal yang bisa diterima gendang telingaku. Kecepatan lariku meningkat seiring dengan tombol bergambar segitiga yang kutekan terus.

Dengan kecepatan seperti itu, dan dunia yang terpisah dari kenyataan, banyaknya tetes keringat yang membasahi pun jadi tidak terasa. Ini hal terakhir yang kuingat sebelum akhirnya terbangun di ruang ganti, saat itu sebulir jagung keringat menyelinap masuk ke mataku. Refleks, aku menyekanya cepat – cepat, dan aku kehilangan waktu untuk menyesuaikan langkahku. Aku terjatuh, terseret karpet yang terus berputar, lalu, aku lupa.

Saat kubuka mata, ada selembar handuk di sebelahku. Ada terselip selembar memo, ”Hati – hati, dong!” Aku menerka, dan dalam hitungan detik, ia muncul di depanku dengan segenggam es batu. Ini yang kutunggu.

Friday, December 30, 2011

Mengenalmu


Musim hujan tidak ada artinya tanpa segelas cokelat panas, atau dua gelas. Begitu pula aku, tidak ada artinya tanpa dirimu, atau dua dirimu. Satu untukku dan satu untukmu. Dirimu untukku semua.

Rintik hujan di luar seakan mengunci kakiku dengan rapat, melekatkan sofa empuk dengan punggungku seakan menahanku untuk tidak kemana – mana, bahkan untuk sekedar buang air kecil. Penahanan yang sama sekali tidak membuatku meronta dan malah membuatku memintanya terus begitu. Didekap oleh selembar selimut hangat kesukaanku, lebih karena baunya daripada kelembutannya, aku jatuh semakin dalam memuja kehangatan itu. Lantai kayu yang terhampar seolah mengancam ’jangan pergi dari sini, atau kamu akan menyesal.’ Aku tidak melawan, tidak akan.

Novel lima ratus halaman, dengan wangi khas kertas yang memanggil – manggil, semakin mengekang ruang gerakku menjadi cuma sepenjentikkan jari untuk membaliknya, halaman demi halaman. Terjerembab semakin dalam di galaksi asing rekaan si novelis, baris demi baris kalimat terasa menusuk hati. Sampai akhirnya aku berhenti di sebaris kalimat, yang aku curigai sang novelis menulisnya eksklusif untukku, untuk memperingati kehancuran hatiku, dan mungkin hatinya.

’Beberapa hal tidak pantas dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan.’ Sulit untuk membalik halaman setelah menyadari keberadaan kalimat ini. Jemari terasa dingin, dugaanku beku, putaran otak seakan tertahan keberadaan memori lama yang terproyeksikan kembali dalam lamunan. Perlahan namun pasti, mataku terpejam, setelah kuyakini, mungkin jalan ini yang paling tepat.

Cerita dia, bukan yang terindah, bukan yang terlama, tapi pasti yang paling membekas. Kami, berdua, cuma bertahan paling lama dua bulan, sebelum akhirnya kami menyerah pada ketidaksamaan kami. Ketidaksamaan yang sesungguhnya aku anggap sama, tapi ia tidak. Kesungguhan yang tak terbalas, yang bahkan tidak ia terima. Kekaguman yang sulit hilang, hingga sekarang.

Tanpanya, mungkin aku bahagia, begitu pula ia tanpaku. Secara logika bisa diterima. Walau kita semua tahu, cinta bukan semata benar atau salah. Kadang, kebenaran bisa disalahkan, kesalahan bisa dibenarkan. Apa yang menurutmu pantas disalahkan atas ’kekeliruan’ itu? Tidak, bukan cinta jawabmu.

Misteri ini, atau lebih tepat disebut nurani, harus dibenarkan. Siapa yang mau seumur hidupnya hanya diwarnai satu cinta? Cinta yang mungkin tertiup angin sehingga tak diterima. Jika ada tawaran seperti itu, aku dengan rela pasti memilihmu. Pasti. Biarlah nuraniku salah selamanya, karena denganmu aku merasa benar.

Tanpa kau sadari, aku sudah simpan rasa ini sejak tiga tahun lalu, dan sampai sekarang masih belum berani aku ungkapkan kepadamu. Bisa kau hitung berapa cinta yang kupendam, jika dalam sedetik aku merindukanmu satu kali? Sembilan puluh tiga juta tiga ratus dua belas ribu cinta. Silakan ambil kalkulatormu.

Belaian lembut di pipiku sepertinya tahu aku akan jatuh lebih dalam lagi di pusaranmu, jadi segeralah ia berubah menjadi tamparan lembut yang seketika langsung menyadarkanku. Masih belum sempat aku sampaikan padamu, ya?

Sunday, December 25, 2011

25.12.1991 - 25.12.2011, 20 years and going strong

Selamat natal semuanya! Buat yang merayakan, dan juga yang tidak. Buat yang merayakan, semoga kelahiran Yesus Kristus bisa membawa sesuatu yang baru untuk hidup kita semua. Buat yang tidak merayakan, semoga liburan natal bisa menjadi suatu penebusan yang manis setelah setahun bekerja keras. :)

Tidak lepas dari bahagia natal ini, gue ulang tahun juga! Terdengar seperti kebahagiaan yang berlipat - lipat ya? Hehehe. Engga kok, sebenarnya biasa saja. Budaya natal disini tidak semeriah di luar sana, jadi biasa saja. Menurut gue, semangat natal disini lebih pada perasaan bahagia dan semangat untuk menyambut Yesus Kristus, dibanding merayakan secara fisik.

Selamat ulang tahun yang cukup banyak mengalir ke gue hari ini cukup membangkitkan semangat untuk jadi lebih baik ke depannya. Ucapan selamat yang rata - rata berisi "All the Best", cukup memotivasi gue bilang. Terlepas ucapan itu sudah terlalu biasa, dan seperti keluar otomatis dari mulut kita saat mengucapkan selamat ke seseorang, "All the Best" punya makna tersendiri. Bagaimana kita bisa terus berusaha untuk mendapat semua yang terbaik yang kita bisa dan menjauhi yang buruk. Bagaimana kita bisa menjauhi yang buruk dan menjadi berkat bagi sesama kita.

Tahun ini, tahun ke-20 gue hidup, dan masih berharap bisa terus berlanjut seterusnya. Masih banyak yang belum gue lengkapi di dunia ini. Satu yang paling menggelitik yaitu masalah pacar. Setelah 20 tahun, apakah tahun ini saatnya? I hope so. Hal lain, yang tidak kalah pentingnya, gue belum dibaptis. Gue berharap ada jalan yang dibukakan untuk kesana. :)

Di umur ke-20 ini, gue pengen jadi lebih baik. Pastinya ya. Secara spesifik, gue pengen mulai berpenghasilan sendiri, entah dari bidang apapun yang mungkin. Hal ini udah rutin masuk dalam doa malam gue, semoga bisa terlaksana ya, Amin. Selain itu, gue berharap untuk bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Semoga semua keputusan yang gue ambil bisa membawa hal yang baik buat gue dan orang - orang sekitar gue, Amin.

Akhirnya ya, semoga semangat natal ini bisa membawa kita berjalan lebih jauh lagi dalam damai Tuhan. This is me being religious :p

Friday, December 16, 2011

Lady Gaga, antek Illuminati?

Tulisan ini berdasarkan research kecil - kecilan tadi malam, yang sempat gue tweet juga.
Jadi, gue cukup penasaran dengan penampilan Lady Gaga yang cukup nyeleneh itu, dan video klipnya yang ceritanya sulit untuk ditangkap akal sehat, serta semua gimmicks yang ada.

Tadi malam, iseng - iseng gw googling masalah ini, mulai dari beberapa website yang menuduh Lady Gaga adalah antek Illuminati yang terkenal itu, sampai ada wawancara yang dilakukan salah satu website langsung dengan Lady Gaga. Kira - kira begini ceritanya :

Lady Gaga terlahir dari keluarga yang cukup mapan, beragama Katolik Roma. Dia disekolahkan di sekolah khusus putri, yang semacam Santa Ursula kalo di Jakarta. Dengan pengajaran agama yang sangat ketat. Lady Gaga, awalnya bernama Stefanie Germanotta, merupakan murid yang pintarnya diatas rata - rata. Dia berbakat dalam musik, tari, dan bidang seni lainnya. Jadilah dia melanjutkan sekolahnya di sekolah seni di NY kabarnya satu sekolah dengan superstar Paris Hilton.
Lalu, skip skip skip...

Kini, agama Lady Gaga diragukan, ada yang bilang dia pemuja setan, Illuminati, atau sebagainya. Berdasarkan riset google semalam, kabarnya ada operasi rahasia CIA, di tahun 1950-an namanya MKULTRA. Itu semacam misi yang berhubungan dengan mind-control, brainwashing, dan pemanfaatan manusia lainnya dengan bahan - bahan kimia lainnya. Dicurigai, Lady Gaga terlibat dalam misi itu, sebagai korbannya. Hal ini semakin diperkuat dengan definisi "Gaga" dalam bahasa inggris yang berarti "intensely enthusiastic about or preoccupied with". Apakah dia dibawah pengaruh CIA ?

Dalam suatu interviewnya, Lady Gaga bilang bahwa dia percaya Tuhan itu ada, entah dalam bentuk apa. Dan dia percaya, Tuhan itu ada dalam diri para fans-nya. Sempat terlihat pula di salah satu video klipnya yang berjudul "You and I", terlihat Lady Gaga membuat tanda salib, yang merupakan simbol kekatolikan.

Sampai sekarangpun, penampilan Lady Gaga masih sulit dijelaskan dan diterima akal sehat. Apakah dia seperti itu demi popularitas saja, atau ada maksud yang diusungnya?

I.L.U


Ini bukan malam yang panjang, namun bukan juga yang singkat. Daun jendela yang kadang menutup otomatis kena semburan angin malam, pintu yang terus – terusan menutup padahal ingin dibuka. Rasanya malam ini cukup mewakili perasaanku, disamping derasnya hujan yang seakan terus meraung – raung benci. Lantunan pemutar musikku juga tanpa daya menyerah pada derasnya hujan, sehingga cuma sepatah – dua patah lirik yang terdengar dari lagu yang dimainkan.

Ingin rasanya aku menghambur keluar, berteriak di tengah hujan. Melakukan apa yang ingin kulakukan sekarang, menangis. Dengan begitu mungkin derai tangisku akan tersembunyi, tersaru dengan hujan.

Adalah dia, yang pertama, dan yang kuharap jadi yang terakhir. Diana namanya, parasnya biasa saja, cantik juga biasa saja. Kibasan rambutnya tidak semenggoda bintang iklan sampo kecantikan itu, wajahnya tidak secerah artis manapun yang bisa kau sebutkan. Tapi hatinya luar biasa. Hati itulah yang bisa membawa lelaki manapun terbang ke surga tertingginya. Hati itulah yang bisa membuatku melepaskan kata – kata yang sebelumnya sulit terucap, ”I love you”.

Aku, salah satu aset terbesar yang dimiliki negeri ini. Bukannya sombong, tapi hampir di seluruh gelaran kompetisi sains yang pernah diadakan di negeri ini, pasti kau temukan namaku disana. Di tempat tertinggi pastinya. Di salah satu sudut kamarku, berdiri dengan bangganya satu set lemari kaca besar, dengan piala – piala hasil kerja kerasku terpampang gagah di dalamnya. Tapi itu semua tidak membuatku punya kebanggaan yang cukup untuk membawaku keluar dari kamar dan mulai melangkah maju. Hari – hariku cukup banyak dipenuhi dengan diktat – diktat tebal, pulpen berbagai rupa, dari yang tebal hingga yang lebih tipis dari rambutmu sendiri, kertas – kertas soal bertebaran hampir di seluruh sudut kamar. Semua itu yang harus dibayar demi piala – piala gagah yang sombong itu.

Romantisme malam itu tidak berlangsung lama. Sesaat setelah hujan reda, Andre, salah satu jenius sains sepertiku mampir kerumah. ”Reza!”, teriaknya dari balik pagar depan. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku, Andre membawa setumpuk diktat fisika miliknya, serta satu tas penuh berisi soal – soal fisika terapan yang didalaminya setahun ini. ”Yaa!”, jawabku dari balik tirai sambil berlalu ke pintu depan. ”Sudah siap belum buat seleksi besok?”, sembur Andre yang sangat telak menamparku di pipi kanan kiri, karena selembar pun belum kupelajari. ”Belum, Dre. Yuk ke kamar aja!”, jawabku pura – pura terlihat santai sambil menyembunyikan bekas tangisan tadi. ”Udah hampir subuh kali, Dre. Ngapain kamu kesini?”, tantangku. ”Kamu juga kok belum tidur? Kukira lagi belajar, jadi ya aku datang aja, mau belajar bareng.”, jawabnya lebih santai.

Akhirnya, sesi belajar dadakan itu pun berakhir, tepat pukul enam. Andre pun segera pulang untuk bersiap berangkat kuliah, begitupun denganku. Dengan raut muka yang sudah tak keruan hasil belajar tadi, ditambah tangisan tadi malam, perlu hampir satu jam aku di dalam sana. Cuma diam memandangi wajah seseorang di balik cermin, apakah dia bernyawa? Apa yang akan dia lakukan jika jadi diriku? Entahlah, dia juga tidak menjawab.


Tidak kulihat Diana di kampus, aroma parfumnya pun tidak sempat lewat depan hidungku. Apa dia sudah pulang? Dengan siapa?. Biasanya dia pasti menungguku, selama apapun. Kuputuskan saja pulang sendiri, dengan pikiran yang terus mengganggu, serta perasaan bersalah apabila ternyata ia menungguku, tapi aku yang tidak melihatnya. Ada pikiran kecil yang menyuruhku berbalik, tapi aku terus saja jalan. Sesampainya dirumah, tepat sekali begitu aku menutup pagar seusai memarkir motor, petir menyambar dan hujan mulai turun lagi dengan derasnya.

Tak mampu lagi kutahan perasaan itu, perasaan bersalah dan khawatir yang kalau dikolaborasikan bisa jadi satu penyebab kematian terhebat di bumi ini. Segera kukirim pesan singkat untuk memastikan ia baik – baik saja. Satu pesan, dua pesan, tiga pesan, tidak dibalas. Sudah cukup pikirku, segera kutelepon ponselnya. Ada nada, tapi terus tidak diangkat, sudah kucoba berulang kali, masih tidak diangkat. Ada yang salah sepertinya. Hingga akhirnya diangkat, segera kukenali dari sepatah ”Halo” yang dia ucapkan, ini bukan suara Diana! ”Halo, ini HP-nya Diana kan? Mana Diana?”, tanyaku cepat. ”Pak, maaf, mungkin yang bapak maksud itu pemilik HP ini ya? Dia baru saja ketabrak mobil waktu menyeberang, sekarang lagi dilarikan ke rumah sakit, Pak”, jawab suara disana tak kalah cepat.

Segera kusiapkan motorku, lalu pergi secepat mungkin ke rumah sakit. Dengan pikiran yang campur aduk, aku melaju kencang di jalanan basah bekas hujan, berusaha secepat mungkin untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya, aku segera mencari kamar tempat Diana dirawat, aku bertanya dengan nafas yang tersengal – sengal, sampai satpam di sebelahku perlu menenangkanku. Dari kejauhan, tampak tante Mia, mamanya Diana, om Paulus, papanya, serta Ricky, kakaknya. Bukan niatku untuk  tidak hormat, tapi aku bertanya langsung tanpa basa – basi, ”Dimana Diana?”. Mereka tampak bersamaan mengarahkanku pada satu pintu dengan tatapannya.

Langsung kuraih gagang pintu, dan kubuka perlahan. Antara aku takut pada kenyataan yang terbaring di depanku dan perasaan bersalah yang sudah terakumulasi begitu banyak plus bunganya, yang seketika dapat memecahkan tangisku. Tapi aku berusaha tetap tenang dan melangkah masuk. Terlihat Diana, terbaring lemah di ranjang, dengan kepala terbalut perban dan lengan yang terbujur kaku terbalut gips. ”Reza..”, panggilnya lemah. ”Ya, Di. Aku disini. Maaf ya, tadi siang aku langsung pulang, aku harus siap – siap buat seleksiku minggu depan.. Aku..”, tiba – tiba, Diana dengan lemah meletakkan telunjuknya di bibirku yang dekat. ”Sshh.”, desisnya pelan. Tampak air mata juga mulai berderai membasahi pipinya, sambil terisak dia membisikkanku sesuatu. ”I love you, Za.”

"... if we ever meet again"


Siang itu, dibalik tembok sebuah rumah kopi tersohor di Jakarta, aku mengurai semua kisah lalu, semua tawa, semua isak tangis yang pernah kami lewati bersama. Wangi kopi yang khas menyelip masuk pikiranku, bersama semua hal yang sebelumnya ada menjadi satu kombinasi mematikan yang siap memaksaku menitikkan air mata saat itu juga. Aku perlu tahu, sejauh mana kami telah berjalan dan apakah perjalanan ini bisa terus berlanjut, atau cukuplah sampai disini. Hampir 3 tahun kami membagi semua, dan kini kami ada di persimpangan. Apakah menambah masa kami bersama, ataukah harus kucari orang lain lagi. Sangat membingungkan.

Pandanganku kutujukan pada pasangan muda – mudi diseberang sana. Mereka tampak sangat bahagia. Terbahak, saling memegang tangan, dan bahkan saling membuang pandangan sesekali. Terasa ada energi yang kuat disana, yang cukup memanggilku untuk berjalan kesana dan meminta petuah – petuah mereka dalam berhubungan. Oh ya, akal sehatku tiba – tiba menampar. Apa yang terjadi, wanita dewasa 24 tahun, cukup mapan, dan menarik sepertiku tertatih – tatih datang kehadapan dua anak bau kencur untuk sepotong nasehat? Langsung kupalingkan wajahku dari mereka berdua, sebelum mereka bisa melihatku didalam.

Saat itu semua rasanya buram, tidak ada yang benar – benar jelas di mataku. Bahkan ketika barista langgananku mengantarkan latte pesananku, ya, memang aku cukup dapat pelayanan khusus disini. Saat pelanggan lain harus mengantri panjang yang pasti akan memotong umur mereka selama beberapa jam, aku tinggal duduk di sofa favoritku dan berteriak ”Jodi!”, dan dalam beberapa menit secangkir latte duduk sama cantiknya dihadapanku. Aku sontak menampar cangkir yang ia bawa, sampai semua mata di rumah kopi itu tertuju padaku, dan Jodi kembali jadi korban. Celemek baristanya berlumuran whipped cream tamparanku. Maaf.

Sesegera itu, langsung kubereskan semua bawaanku dan pergi dari sana. Aku tidak tahan lagi dengan semua tatapan aneh dan decakan yang entah kagum atau heran itu. Aku berantakan sekali. Jalanku ke mobil cuma kuhabiskan menatap lantai, langkah demi langkah, decit demi decit sepatuku yang bisa kudengar sangat jelas. Saat kubuka pintu mobil dua pintuku, tiba – tiba handphoneku bernyanyi, ”..if we ever meet again..”.

Ternyata Bimo, dalang dari semua insiden hari ini, wajah lucunya muncul di layar, sambil kurasakan getaran – getaran, entah dari hatiku atau dari handphoneku. Bimo, orang terakhir yang kucintai, satu – satunya yang bisa mengambil pedih di hatiku dan menggantikannya dengan kasih. Bahkan orang tuaku pun kesulitan, hari ini bisa secara mengejutkan meneleponku, setelah semua yang terjadi hari ini. Mungkin itulah jodoh kata orang. Aku tak langsung mengangkat teleponnya, sekedar membuat dia menunggu lebih lama untuk bicara denganku, padahal aku telah menunggu hampir 3 tahun lamanya.

”Halo,” sapaku singkat, sambil deg – degan menunggu keluar suaranya yang kutunggu – tunggu. ”Wina, ini Wina kan?” jawab suara diseberang sana. ”Iya lah Momo! Ini Wina, emang siapa lagi?”. ”Hai, Win, apa kabarmu? Aku lagi di bandara nih, 2 jam lagi sampai Jakarta. Eh, aku boarding dulu ya! See you!”. ”klik”, suara telepon ditutup, tanpa sempat kujawab sepatah pun.

Ketemu. Bimo. Kangen. Banget. Kata – kata itu yang terus berputar di kepalaku, bagai anak kecil dalam balutan baju pesta menyambut tumpukan kado ulang tahun dihadapannya. Bahagia sekali! Segera saja, kutekan gas mobilku lebih kencang karena aku terlalu senang, dan supaya bisa lebih cepat sampai dirumah bersiap – siap untuk lalu ke bandara menjemput Bimo. Langsung lupa insiden tadi pagi. J

( 3 jam kemudian.. )

Sudah hampir lima kali aku mondar – mandir terminal kedatangan, sudah puluhan tawaran taksi kutolak tapi tetap saja belum kulihat ada tanda – tanda Bimo disini. Akhirnya aku menyerah, kuketik pesan di handphoneku, ”Mo, kamu udah di Jakarta ya beb? Kok tadi aku jemput kamu di bandara ga ada? Udah punya bandara pribadi yang aku ga tau ya? :p”. Terkirim.

Dalam perjalananku pulang, setelah surprise yang gagal total, aku terus merasa was – was sambil tangan kiriku terus memegangi handphone, kalau – kalau ada balasan dari Bimo, yang sampai sekarangpun belum datang. Aku terus bertanya –tanya, apa sih yang ada di pikirannya Bimo, sampai sekarang belum ada kabarnya. Apa dia betulan sudah di Jakarta atau belum? Atau ada apa – apa yang terjadi, sampai belum bisa memberi kabar?

Esok paginya, lebih pagi dari Bruno, anjingku sudah menggedor – gedor pintu kamarku minta diajak main, Bimo menelepon. ”Mo! Kemana aja sih kamu? Aku hubungin dari kemarin ga bisa – bisa! Kamu udah sampai kan beb?”, tanyaku panjang dan terburu – buru. ”Hey Win, sori ya baru bisa telpon kamu sekarang, dari kemarin aku banyak banget pikiran. Oh ya, bisa kita ketemu Win? Di tempat biasa ya, jam 2. Aku mau kasih tau kamu sesuatu. See you there ya!”. Klik, telepon ditutup. Aku bertanya – tanya dalam hati, apa yang membuat Bimo bicara begitu cepat, tidak seperti biasanya dia sangat santai. “Pasti ada sesuatu nih”, pikirku. Entah pikiran ini datang darimana, tapi aku punya perasaan kuat Bimo akan melamarku nanti. Mungkin pikiran gila ya, terlalu pede mungkin. Oh, sangat pede maksudku! J

Tepat pukul dua, aku sudah siap dengan nyaman di sofa favoritku di rumah kopi. Sesekali kubuka cermin kecilku, memastikan tidak ada yang kurang dari penampilanku. Sambil terus melihat arloji dan handphone bersamaan dengan kakiku yang tidak bisa diam, jadilah aku manusia multitasking paling menarik di rumah kopi ini. “Ting tong”, suara bel berbunyi saat pintu utama terbuka, mungkin salah satu ucapan selamat datang yang mereka anggap paling sopan disini. Bimo masuk perlahan sambil menahan pintu untuk…, Siapa? Siapa itu disana?. Sesosok bidadari cantik, ya kuakui memang cantik, berbalut gaun merah pendek, terlihat dengan anggun dan manjanya menggandeng lengan Bimo.

“Win, maaf aku ga kasih tau kamu sebelumnya. Ini pacar baruku, teman sekampusku dari Amerika, kebetulan temanku juga dulu waktu SMA.”. Aku tidak tahu mesti berbuat apa, marah bukan solusi tepat tampaknya. Memprotesnya pun tidak ada gunanya. Segera kukemas semua barang – barangku, dan pergi dari tempat itu, tanpa ada sepatah katapun lepas dari mulutku.

Thursday, November 24, 2011

Listrik padam.

Udara sore yang cukup menyejukkan menerobos masuk bersama sinar matahari sore yang mulai jingga, dan wangi khas yang cukup kukenali, hasil dari ratusan ribu sore yang telah lewat. Tidak berubah. Akupun tidak, selalu menatap balok pipih berukuran sembilan belas inci yang memancarkan cahaya, sambil sesekali memunculkan huruf dan angka didalamnya. Bukan sihir, komputer namanya. Dari kananku terdengar samar - samar gemerisik ocehan penyiar berita televisi lokal ibukota paling kondang. Kadang terdengar suara desisan lembut, kadang berisik, dan kadang hening, kipas angin tua yang selalu setia berputar dari siang hingga malam yang nampaknya mulai kepayahan berputar dan ingin diam saja.

Khusus sore itu, aku terdiam. Hal yang tidak biasanya kulakukan, jemari yang tidak kuadukan dengan jajaran tombol hitam. Mata yang cuma tertuju pada satu titik, tanpa peduli ada apa disana, dan aku terbungkuk tanpa topangan sandaran bangku. Piksel demi piksel kutelusuri, berharap kutemukan sesuatu yang hidup, bukan hanya tulisan tak bernyawa atau gambar tak berjiwa. Sampai akhirnya, di piksel keseratus delapan puluh satu kutemukan sesuatu. Setitik merah, diantara ratusan ribu biru. Aha, ini yang kucari!

Kumundurkan badanku dari meja sambil terus memandangi titik yang sama. Tidak berubah, tetap saja merah. Dikelilingi biru. Kukedipkan mataku, sambil berharap merah itu hilang, tidak hilang. Gantian aku memandangi televisi yang sedang menayangkan kekerasan, lalu dengan cepat aku menoleh lagi ke layar sembilan belas inci itu. Masih ada. "Gila." pikirku.

Kamulah merah itu, menandingi biru. Memberhentikan aku pada seratus-delapan-puluh-satu percobaan yang kutempuh. Terus memantulkan sinarmu yang paling terang, memastikan kau tidak hilang dari tatapanku. Sampai akhirnya kucoba menyentuhmu. Tiba - tiba kau hilang, digantikan hitam. Listrik padam.

Friday, November 4, 2011

#randomthoughts

Saya bisa bilang kalau saya orang yang cukup peka, bukannya apa - apa, saya cuma bisa sedikit menebak - nebak maksud orang dalam perkataannya. Sedikit saja ya, biasanya maksud orang selalu tersirat dari air mukanya, kalau tidak tersurat dalam rangkaiannya. Sudah begitu, besarlah peluang untuk tersinggung, dari kata - kata orang dan maksudnya yang kadang menusuk, walaupun tidak secara gamblang dia katakan sih.

Tersinggung. Hmm, apa yang biasa kita lakukan kalau tersinggung? Diam saja, berontak, atau bicarakan dibelakang? :) Kalau saya, selama masih bisa diterima, saya akan cenderung diam, melihat lebih jauh apa yang bakal dia lakukan selanjutnya. Kalau akan mereda, tidak ada gunanya kan marah - marah? Ya, kecuali kalau setelah itu dia semakin senang, aku mungkin akan memilih diantara dua pilihan tersisa. Sejujurnya masih bingung pilih yang mana..

Permainan perasaan itu kadang menyenangkan, seringkali menyakitkan. Jangan permainkan perasaan siapapun untuk maksud apapun. Tidak akan berguna. Kalaupun berguna, itupun tidak serius. Kan cuma main - main :)

Thursday, October 27, 2011

48

Aku cuma bisa diam, diam menatap keheningan yang akhirnya tampak jelas. 
Kulihat ia seperti berkata - kata, sesuatu yang sulit kubaca dari bibirnya. 
Sepertinya "A", tapi ia mengatupkan mulutnya, sepertinya "S", tapi tak kudengar desisannya. 
Aku terus menatapnya, ia seperti berbisik dengan suara yang sangat jelas ke telingaku, katanya, "48". 
Tanpa sempat kuartikan bisikannya, ia segera memecahkan dirinya lewat langkah berderap. 
Langkah berderap tak berjejak seakan mendekatiku, semakin dekat. Semakin dekat. Kurasakan desir angin mulai setara desir darahku, ia makin mendekat. 
Hingga akhirnya kulihat pintu terbuka dihadapanku, gelak tawa gembira seakan memanggil namaku. 
"Aku belum siap", kataku sambil kumundurkan langkahku, segera berlari.. 
"Bahagiaku belum sampai, mereka masih menungguku", sambil terus berlari.. 
Berlari terus, sambil membayangkan kebahagiaan menungguku disana. Tanpa jemu. Sampai aku terjatuh ditengahnya, dan aku sadar "48" ku telah lewat. Hanya untuk berlari.. 
Penantian dan pencarianku yang cuma diakhiri dengan berlari, dari semua yang mendatangiku...

Saturday, October 1, 2011

Going Concern

Setelah hampir satu minggu pikiran saya terus saja diintervensi bayang - bayangnya, sekarang saya mau mencoba untuk sedikit melepas beban yang semakin berat menggantung di bahu ini. Bukan beban yang jelas - jelas buruk, tapi harapan kosong.


Mungkin hanya pikiran saya saja yang terus - terusan negatif, atau sepenuhnya benar, saya tidak tahu. Rasanya seperti dijanjikan sesuatu (tidak secara harafiah), lalu ditinggalkan begitu saja. Ironis bukan? Tergantung, apakah janji - janji itu memakan hampir seminggu penuh untuk direalisasikan dalam asumsi saya, atau hanya saya yang terlalu ngarep, dan bahkan tidak ada apa - apa seminggu kemarin.


Sejujurnya, saya agak tidak enak hati menulis ini. Takut - takut apa yang saya katakan disini mengacaukan segalanya yang sepertinya baik - baik saja, merusak proses ngarep  saya dengan menghilangkan objeknya dari jangkauan saya. Entahlah, tapi saya merasa perlu mengeluarkan ini dari kepala saya. For my own good.


Pertimbangan dan batasan yang dibuat ini malah akan mengaburkan kaidah cinta yang seutuhnya. Kata - kata ini akan saya jabarkan lagi secara lebih dalam dengan adanya contoh yang terlibat. Sebut saja, seorang wanita yang cantik, menarik, dan memiliki segalanya yang ia perlukan untuk menarik para pria. Ia sungguh memesona seluruh mata disekelilingnya, sambil melempar harapan - harapan bagi pria - pria disana. Ia ada dalam posisi yang baik, dimana ada rasa aman di hatinya bahwa ia tidak akan kesulitan mencari pasangan.


Namun permasalahannya, ia tidak pernah tahu, seperti apa yang ia inginkan. Sementara dalam kebingungannya itu, ia terus saja melemparkan harapan demi harapan pada pria - pria lain sekaligus menyamarkan kegelisahan dalam hatinya. Hal itu memang membuatnya bahagia, saat pria - pria yang menangkap harapan itu mulai menunjukkan yang terbaik yang mereka bisa, membuatnya seakan ratu sejagat, yang tanpa mereka tahu, tidak ada seorangpun dari mereka yang punya kesempatan.


Saat ia masih menikmati kesenangannya mempermainkan pria - pria tadi, ada beberapa dari mereka yang mulai menyadari, ternyata harapan yang mereka tangkap itu sebenarnya tiada. Hanya tipuan kosmik yang seakan tampak nyata. Dan bagi mereka yang sadar, mereka akan mundur perlahan sambil menyesali betapa bodohnya mereka telah salah duga. Dan tentu saja itu akan menyebar, dan serentak mereka akan mundur.


Tinggallah ia sendirian, yang kenyamanannya tiba - tiba direnggut. Tanpa sisa.


Ya, kira - kira itulah yang terlintas di kepala saya saat ini. Dan tolong, demi apapun jangan sampai hal itu terjadi. Saya merasa saya bukan hanya seperti pria - pria tadi, saya juga sahabatnya. Yang sedikit banyak peduli dengannya.


Maafkan atas ke-kepo-an dan ke-soktahu-an ini. Cuma mengungkapkan apa yang saya pikirkan :)

Wednesday, September 28, 2011

Pilihan itu...

Beberapa hari kebelakang saya banyak disibukkan dengan memilah - milah. Pilih kamera apa? Kenapa pilih itu? Kalo dibandingkan sama yang lain gimana? Banyak sekali.

Kemarin, dalam perjalanan ke kampus, tiba - tiba Papa saya menawarkan kamera baru. Wah, asyik sekali! Akhirnya setelah 2 tahun lebih berjuang dengan 1000D, saya berkesempatan ganti kamera baru yang lebih canggih. Hmm, pilihan saya langsung jatuh pada 7D, dengan pertimbangan 5D Mark 2, dan 60D. Sebenarnya buat kalian - kalian yang mungkin ngerti kamera, ini bukan pilihan sulit. Pasti 5D Mark 2 lah ya, harga gak pernah bohong.

Juga, buat sebagian orang bakal senang bukan kepalang dapat kesempatan seperti ini, beli kamera baru! Akhirnya naik kelas juga! Atau apalah yang masuk di akal. Hmm, saya juga sebenarnya senang sekali dapat kesempatan ini, bagaimana permintaan yang sudah diproposalkan 6 bulan yang lalu akhirnya bakal dipenuhi. Satu - satunya keresahan saya, saya bingung pilih yang mana.

Di satu sisi, saya tidak terlalu menginginkan format fullframe, tapi di sisi lain, fullframe sangat sulit ditolak. Banyak sekali alternatif - alternatif yang simpang siur di kepala saya. Kamera ini tambah lensa ini, terus jual yang ini beli yang itu. Kira - kira seperti itu.

Sampai akhirnya saya pun memutuskan, selalu ada rasa kurang yakin terhadap pilihan saya itu. Padahal setelah ditimbang - timbang, alternatif yang saya pilih adalah yang paling menguntungkan. Mengapa? Mengapa saya masih bingung? 

Sebenarnya, masalahnya bukan bagaimana saya memilih kamera, kamera apa yang saya pilih, dan mengapa saya pilih kamera itu. Saya ingin coba sedikit mengupas tentang "Pilihan". Banyak orang bilang, punya pilihan itu enak, kita bisa milih mana yang kita mau. Punya pilihan itu enak, bisa jadi siapa yang kita pilih. Bla bla bla. Pilihan, menurut pandangan saya baik jika kita punya dasar yang cukup untuk bisa memilih. Ada batasan - batasan yang kita buat sendiri dari pilihan kita itu, ada kesadaran penuh dalam menganalisis satu - persatu. 

Karena saya lagi jatuh cinta, topiknya tidak bakal jauh - jauh dari cinta - cintaan pastinya :)

Cinta itu tidak bisa memilih, cinta itu dipilih. Cinta itu tidak pernah berdasarkan logika, kecuali cinta buatan seperti yang saya bahas di posting sebelumnya. Jika didengarkan baik - baik, lagu Agnes Monica yang mengusung cinta dan logika itu ada benarnya. Bagaimana bisa seseorang mengingini lawan jenis yang sudah punya pasangan kalau katanya cinta pakai logika?

Cinta tidak bisa memilih. Manusia punya pertimbangan - pertimbangan dalam memilih, batasan - batasan yang dibuatnya, apa yang benar dan apa yang salah. Pertimbangan dan batasan yang dibuat ini malah akan mengaburkan kaidah cinta yang seutuhnya. Bahwa cinta itu masalah hati. Apa yang ada dalam logikamu tidak pernah sejalan dengan hatimu. Saya merasakan itu benar sekali :)

Cinta itu dipilih, tidak bisa dipaksa. Bagaimanapun, semua sudah digariskan Tuhan, kita cuma bisa menjalaninya. Apakah kita dipilih sekarang, besok, lusa, atau entah kapan. Tanpa bisa kita tahu.

Tulisan ini berdasarkan pengamatan dan observasi selama hidup saya, jika ada kesalahan penangkapan maksud yang disengaja ataupun tidak disengaja, mohon maklum. :)

Tuesday, September 27, 2011

Cinta itu....

Pacaran. Satu kata singkat yang cukup satu tarikan napas ringan untuk menyebutkannya, namun sejuta emosi tercurah demi mendalaminya. Satu fase dimana perasaan sungguh memegang peranan terbesar, bahkan melangkahi kelogisan pikiran. Satu sinetron yang diharapkan terus berproduksi menyaingi "Tersanjung", melewati 5 generasi.

Cinta. Semudah itukah diungkapkan? Sesingkat tiga kata delapan huruf yang tersohor itu? Tidak tahu. Saya belum pernah merasakan itu mudah. Selalu ada pikiran tersita, emosi tercurah untuk sang dia. Tidak pernah simpel.

Buat siapapun yang melihat cinta itu mudah, bisa dipelajari, bisa direncanakan, bahkan bisa direkayasa. Tolong, itu bukan yang saya maksud. Bagaimana ada kiat - kiat ampuh mendekati wanita yang digembar - gemborkan lewat media, lewat seminar - seminar romansa. Dengan instruktur - instruktur berpengalaman bertahun - tahun dengan ribuan wanita, mereka menunjukkan bagaimana mudahnya menggaet sang dia, dengan gaya, dengan cepat, bermacam - macam.

Istilah "Bisa karena biasa", cukup masuk akal jika disematkan pada mereka - mereka ini. Entah ribuan wanita yang jatuh hati karena teknik - teknik spektakuler, gaya yang proporsional, dan semua yang serba teratur. Keteraturan yang menghancurkan, kalau saya bilang. Bagaimana bisa, membiasakan diri dengan cinta, yang katanya mudah itu, jika semuanya dilakukan dengan keteraturan penuh. Pertama - tama, kamu harus begini, lalu kamu begitu, kalau dia begini, kamu harus begitu. Jangan pernah begini, jangan pernah begitu. Seakan - akan mereka tahu semua. Tuhan kali?

Sepengalaman saya, cinta itu hampir tidak bisa saya definisikan. Kadang menyenangkan, kadang juga menyesatkan. Kala saya mulai bisa mendefinisikannya, itu langsung berubah. Mungkin saya tidak sesiap mereka alumni - alumni seminar itu yang tahu bagaimana mengontrol keadaan, bagaimana merubah keadaan canggung jadi langsung. Sungguh, saya tidak tahu itu semua. Tapi satu hal yang saya tahu, saya senang berada didekatnya, meskipun hanya hening, meski tak berpandangan, tak bersentuhan. Itulah cinta bagi saya.

Maafkan kegalauan ini, sungguh tidak tahu lagi saya kemana mesti mengadu selain kesini :)

Monday, September 26, 2011

Acceptance

Sudah lama sekali saya tidak ngomel - ngomel disini. Terus aja ada yang menghalangi jemari ini beradu dengan papan ketik, dan tentu saja si penghalang itu adalah si tikus. Penggunaan komputer saya hampir tidak pernah menyentuh papan ketik, selalu cuma tangan kanan meng-klak-klik si tikus yang bisa berjalan kesana kemari. Sekarang saya bosan, mau coba ketak - ketik saja. :)

Penerimaan, apakah itu? Apa pentingnya? Apa masalahnya?. Tanpa saya sadari ya, saya selalu terbuka untuk menerima, apa saja deh. Mulai dari ejekan - ejekan, teriakan - teriakan, sampai saran - saran yang mungkin bisa membangun saya. Menerima mungkin saja merupakan suatu hal yang paling bisa kita lakukan dengan baik. Cukup dengan senyuman kecil atau lebar dan dibarengi dengan sepatah "Terimakasih". Menerima, entah bagaimana caranya selalu bisa membuat kita berpikir. Menerima hal yang baik, kita berpikir, "Wah, orang itu baik sekali, saya harus balas dia!". Menerima hal yang buruk, kita berpikir, "Wah, siapa orang ini, bisa - bisanya ngatain gue!", atau lebih baiknya, "Hmm, dia mungkin benar yah, coba gue liat kedalem dulu yeh". Respon yang berbeda - beda.

Menerima, bisa dari luar, bisa juga dari dalam. Menerima dari dalam? Ya, dari dalam. Dari diri kita sendiri. Banyak sekali kasus ketidakterimaan yang saya lihat di lingkungan saya, mulai dari fisik, sampai yang paling parah pikirannya tidak menerima jiwanya sendiri. Jadilah kontradiksi didalam dirinya yang malah bikin stres. Saya sendiri juga kadang tidak terima, kenapa yang lain bisa bicara lancar, tanpa susah payah, terus saya sendiri musti tarik napas dalem - dalem dulu kalo mau ngomong, capek tau. Balik lagi, penerimaan. Sampai sekarang saya masih mencoba menerima kekurangan saya itu, dengan mencari sesuatu yang bisa jadi kekuatan saya. 

Kebohongan itu memang menyenangkan, tapi cuma sejenak. Kita dibuat lupa akan siapa sebenarnya kita, apa yang sebenarnya kita punya, dan mengapa kita seperti itu. Saya juga suka bermimpi, kadang - kadang suka keterusan akhirnya kebawa deh pikiran itu ke dunia nyata, akhirnya setelah tahu kebenarannya, jatuhlah saya dengan sakit. Hehehe.

Akhirnya yah, paragraf terakhir yang pendek ini. Bisakah kita menerima diri kita? Apa adanya, apa kataNya?

Cheers.


Friday, September 9, 2011

Thursday, September 8, 2011

Aksi vs Fiksi

Aksi. Satu kata empat huruf yang bisa mengubah semua persepsi dan asumsi. Menghapus semua bayangan dan menggantikannya dengan cahaya. Satu kata yang terus - menerus didengungkan, dan banyak menginspirasi segala aspek kehidupan, termasuk posting ini. 

Baru tadi sore saya menemukan sebaris kata - kata yang sungguh menginspirasi saya untuk beraksi. Menulis posting ini tentunya. "It's better to light a candle than curse the darkness". Begitu bunyinya. Apa yang langsung menerpa pikiran anda ? Kegelapan, sebatang lilin, seberkas cahaya, atau malah kemarahan yang menjalari benak anda ? Tentunya memang sulit apabila kita terjebak dalam kegelapan. Seringkali jalan menjadi kabur, sulit dikenali, dan semua hal terlihat sama saja. Hitam. Kegelapan dapat membelokkan kita dalam mengejar apa yang kita tuju.

Sebatang lilin memang terlihat remeh, hanya sebatang lilin. Tidak lebih. Namun dibalik keremehannya itu ia menyimpan sejuta potensi yang pastinya akan berguna saat gelap. Ia menerangi jalan, memberi pandangan yang jelas atas sekitar kita, dan yang paling penting, ia menghangatkan. 

Menyalakan lilin memang perkara mudah, hanya tinggal menggesekkan korek, lalu mendekatkannya pada sumbu lilin. Kita seringkali tidak pernah memikirkan apa resiko dari ritual penyalaan lilin tersebut, apakah nanti tiba - tiba koreknya jatuh dan apinya menjalari seluruh rumah kita, apakah korek yang kita pegang aman, adakah cacat produksi yang terlewatkan yang malah mencelakakan kita bukannya menyelamatkan ? Ini hal kecil, yang mungkin membuat anda berpikir, "Ah, mana mungkin?", atau dengan penuh keyakinan, tanpa ada pikiran apa - apa, yang penting kegelapan hilang.

Proses pengambilan keputusan dalam hidup memang jauh lebih rumit dari perumpamaan lilin dan korek ini. Ada banyak aspek yang mempengaruhi selain korek dan lilin dan perasaan kita tentunya. Banyak aspek yang dapat menghambat kita menuju suatu aksi, penuh asumsi dan persepsi negatif yang mendorong niat kita hingga tidak lagi berniat. Kerumitan yang serba canggih ini, bagi sebagian dari kita, termasuk saya, cenderung mendorong kita untuk berpikir, mencari celah untuk menyederhanakannya, dan bahkan meninggalkannya sama sekali.

Sejujurnya saya juga masih mencari jawaban atas pertanyaan ini, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini. Sejak dulu, kita selalu didorong untuk berpikir saat menghadapi masalah, berharap ada pencerahan yang mendatangi kita dan melancarkan semua jalan. Namun, ketika pencerahan itu tak kunjung datang, apa yang kita harus lakukan ? Jawabannya pasti "Aksi". Apakah semudah dan sesimpel itukah kita harus memutuskan suatu perkara yang menyangkut kelangsungan hidup kita ?


Wednesday, September 7, 2011

Sempurna tanpa cela

Saya percaya, semua manusia dan segala makhluk bernafas diciptakan sesuai kapasitasnya, kapasitas dalam menopang beban, melawan arus, menerima kesalahan, dan banyak hal lain yang tampak remeh tapi selalu berpengaruh dalam cara pandang kita terhadap orang lain. Terlalu banyak kriteria yang kita cantumkan dalam lembar penilaian kita. Semua hal itu cenderung menyarukan cara pandang alami kita, dimana kita bisa dengan santai tanpa syarat menyapa orang lain. Tanpa berpikiran aneh - aneh yang terlalu jauh dari kenyataan, semua asumsi kita.

Belakangan, saya mulai menyadari bahwa terlalu banyak kriteria yang saya tuliskan dalam pikiran saya. Dalam kenyataannya, terlalu banyak kekecewaan yang saya terima akibat berpegang terlalu erat pada keteguhan saya itu. Semua kriteria yang saya pelajari dari kisah cinta yang lebih merupakan isapan jempol sang sutradara dibanding apa yang benar - benar ada. Menarik, bagaimana sang sutradara bisa menggambarkan pribadi si "manusia sempurna" itu dengan sungguh tanpa cela, dan terlihat nyata dan mendorong mereka mereka yang tidak pernah mengerti artinya "penerimaan" kedalam lubang yang jauh lebih dalam daripada bak mandi mereka sendiri.

Manusia, kadang dibalik kekurangannya justru menyembunyikan potensi yang sungguh tak terduga. Jika menurut saya, kebutaan itu sesuatu yang mengerikan, bagaimana seluruh hidup hanya melihat hitam, tanpa ada putih, dan warna - warni kehidupan. Kebutaan bisa saja merenggut semangat seseorang, meninggalkan orang itu dalam kegelapan yang lebih hitam dari pandangannya. Sungguh mengagumkan melihat seorang buta dengan tongkatnya, bisa berjalan kemana - mana seakan ia cuek saja dengan pandangan orang terhadapnya. Dia tak melihat, namun ia merasakannya. Mata hati yang lebih terasah, perasaan yang jauh lebih peka daripada kita sekalian. Sungguh merupakan karunia yang tidak ternilai. Mereka bisa melihat yang tidak kita lihat, memandangnya dari sudut lain yang jauh lebih manusiawi.

Filosofi orang buta ini kembali menggedor - gedor pintu hati saya, untuk bisa memahami lebih dalam lagi keadaan sekitar saya, untuk bisa lebih "menerima" pemberianNya. Dan yang tidak akan saya lupakan, menghapus semua kriteria - kriteria yang penuh kesempurnaan itu dan menyiapkan lembaran putih dimana akan saya tuliskan semua yang telah saya terima. Bersyukur.

Tuesday, September 6, 2011

Blog Sepi

Blog ini udah seperti teman curhat, kapan aja gue pengen nyampah, dia selalu ada dan selalu siapin berjuta - juta karakter buat gue ngomel. Cukup menyenangkan juga ngomel di blog, tanpa menyakiti perasaan siapapun, daripada ngomel langsung ke orangnya ya kan ? hehehe. Blog gue trafficnya sepi banget, belom tentu ada satu visitor sebulan, dan kalopun ada, paling cuma lewat doang. Terlalu banyak yang mau gue tumpahin ke blog ini, terlalu banyak juga hal - hal yang agak private. Tapi untung aja, blog gue gak ada yang ngunjungin. :D

Salam blogger sepi!

Jakarta oh Jakarta

Seperti lebaran tahun lalu, dua tahun lalu, dan berpuluh - puluh tahun lalu. Arus balik selalu lebih deras dari arus mudik. Banyak yang bisa dijanjikan kota sebesar Jakarta, godaan kerlap - kerlipnya yang kadang menyilaukan dan lebih tepatnya memilukan.

Hari pertama kerja masih belum menampakkan tanda - tanda itu, banjiran kaum urban yang mencoba mengadu nasib ke kota yang katanya memberikan jutaan peluang ini. Jalanan masih cukup lengang saat aku dalam perjalanan pulang kuliah, dengan mobil minibus merah bernomor "14" yang sangat mencolok mata sampai - sampai tidak perlu memberi tahu kalau berhenti. Aku duduk di kursi depan.

Seperti biasanya, tatapanku kosong memandang jalan sambil kuseruput jus apel botolan yang baru kubeli, sambil sesekali kupandang supirnya untuk memastikan dia tidak ketiduran saking sepinya. Aku coba pecahkan keheningan sambil kurapikan ceceran uang receh di dashboard. Sang supir menyapa, "Trimakasih dek.", "Iya pak." jawabku. Sang supir menyambung lagi, "Itu, buat polisi cepek di tikungan jalan, kasihan anak - anak kecil  disana.", hanya "Oh." sambungku.

Tikungan demi tikungan kami lewati, dan memang benar tidak pernah sepi dari polisi cepek, sebutan bagi mereka yang rela hati mengatur lalu lintas dengan tangan atau sebentuk karton demi seratusan rupiah yang belum tentu mereka dapat. Pernah kuhitung omzet mereka sebulan nyepek, dengan asumsi gopek. Wah, hasilnya mengejutkan, setara UMR.

Tak terhitung sudah berapa banyak koinan yang si supir relakan, sampai iseng aku bertanya, "Gak rugi pak ngasih terus?". Sambil dalam hati aku menghitung. "Ndak lah, kasih sedikit lah ke mereka, perlu makan juga dia." jawab si supir sambil tertawa kecil. "Makin banyak orang kampung ke sini, ruwet dah Jakarta, kita mah bantu sebisanya deh." sambungnya lagi.

Aku membatin, "Apa yang bisa aku lakukan untuk mereka?". "Apa Jakarta ini cuma seluas kampus ke rumah?". Terlalu banyak sisi kota ini yang belum kulihat, bagaimana mereka berusaha bertahan setelah dikhianati kota ini. Bagaimana dulu mereka meninggalkan kampungnya dengan mimpi selangit namun kini tinggal sesuap nasi.

Hingga akhirnya aku tiba di depan komplek perumahanku, kuingatkan supirnya agar berhenti, yang lagi - lagi mengandalkan warna merah mencoloknya sebagai lampu sen. Kuberikan selembar lima ribuan dan langsung menghambur keluar tanpa si supir sempat menyiapkan kembalian. Kupikir, inilah caraku membantu mereka, entah dengan menyemangati supirnya untuk memberi lebih ke polisi cepek, atau gimana lah baiknya.

Friday, September 2, 2011

Detik Terakhir

kala raga menjiwa,
tanpa ada niat jiwa tuk meraga
kala tangis mengisak,
menyambar, menyapu semua tawa
kala waktu mengejar,
detik pun tak sungkan menyergap
semua, tanpa ada ba bi bu
hanya bisa lari,
terus berlari tanpa henti
hingga akhirnya,
detik pun menyapa.
terakhir.

Thursday, September 1, 2011

Pop.

Penyesalan. Atas apa yang tak dilakukan, apa yang ditunda, kini berakhir sudah. Ribuan kisah tak terkatakan, ribuan detik tersesali tanpa ada harapan untuk kembali.
Penghargaan. Atas semua pemberian, kasih sayang, dan pelukan lembut. Setiap pelukan sarat makna yang selalu melayangkan aku ke dunia penuh harapan.
Perasaan, semua yang sengaja atau tanpa sengaja terpikirkan, baik atau buruk. Takkan pernah merubah apa. 

Aku kagum, melebihi semua decak berirama. Selamat jalan.

NB : Turut berduka cita, Jojo dan Keluarga. Tetap semangat.

Sunday, August 28, 2011

Teenagers' Mentality : Dragged Down

hey, it's me again, after a long long lonely time for this blog, finally tonight. i got this urge to say something about what i've just seen. this is only my personal view, no intention to mention anyone.

do you realise how teenagers could be more brutal than anyone older ? They fight for something aren't real, they are fighting their own feelings. They only know why they should get what they want, not really how to get what they want. They always get their parents pampering them, always giving them what they want. I think whoever believes in pampering to raise a child wasn't a good parents.

I've just witnessed a chaos that really describe what i mentioned above. I'll tell you how depressed it feels to see teenagers cursing at older people. All of unappopriate words i know have been mentioned, really sick kids.

I could say that the problem is simple, there's no need to argue about that. What do you think about smoking in the gas-station ? is there an allowance to that ?

I don't know what's the problem dragged them into a friction with gas-station officers, but what I know for sure, they are not chilled. What I heard, the kids said no to officers prohibited them to smoke, where there are signs everywhere said smoking is prohibited.

Let's skip what happened in the following. What is sure, this friction needed police to take control over them. And I've overheard some cocky sentences from the kids,
"dia kira bapak gua orang biasa?",
"belom pernah digaplok pake duit kali ya?"
and countless of unappopriate words you've never imagined.

What I need to make myself clear here is kids could be so uncontrollable when it's down to their pride. When there's someone keeps encouraging them to make mess, to prove that they have power, and looked good in front of their friends.

Experience is the best teacher, but it would be impressive if you could learn from others.

Thankyou for stopping by, I think I'm done talking here. Good night, folks.

Tuesday, July 12, 2011

How to be Popular in Jakarta FOR DUMMIES

It's sad to know there's a lot more than being social, doing some interactions with others, existing in the society. There's a LOT more than you think!

Nowadays, we got our mind set that there are certain ways to be popular. You have to hang out there, got some coffee there, smoke your cigar there, and bla bla bla there.
Kinda suck for me. Think we need a guidelines to be popular here, where's the pride really matters, and people live for money.

If you need some example, or maybe evidence ? Just look at 7 Eleven Store around your neighborhood. Have you ever thought about how people just willing to sit around on the floor just to prove that they are existed ? So sad.

Sorry to say that this is just my personal views about things in life, I didn't mind to sarcastically distract you guys. Just my view.


Wednesday, July 6, 2011

living your dream into reality

how to live a dream without efforts to make it real ?

these thoughts crossed all over my mind in past few days. when i dreamt a new dream, and tryin to give it a try to make it possible.

in the next five years, i planned to start a new life abroad, specifically in the USA. i hope so bad :D

now, what i need is keep holding on to it, and make it a reason for every efforts i make afterwards, i don't want to make it useless. i believe that every hardwork i give, really worth-giving.

and i really want to build a life from zero, where i could possibly decide on anything by myself, so i take blame if it falls, and i take honor if succeed.

i thought that it's a possible dream, so don't bother me dreaming. the more you live it, the more it become real.

Thursday, June 30, 2011

#randomthoughts

heyya guys! what up ?

what you guys do in holiday ? i feel so much bores in my head, so i turn my hands over the keyboard and start writing, something i can't really do on those pressure dates.

my holiday just filled with movies, tv series, music, internet, and these photo thingie. i wake up early just to turn my computer on, and surf a bit then leave it for TV shows. it goes always like this everyday. yaaa i know that such a pain in the ass.

oops, gotta go, i forgot i've made an appointment at 11. seeyaaa :D

Friday, March 25, 2011

March 25th, 2011 - Proposal

I'll start it with a line,

"proposal is disposal"

I don't mean proposal that contained love in it, I mean proposal related to words, papers, and all of the bullshits. Yes, bullshits. When we just wanna to say one word, strightly without strings attached, Proposal needs us to write down more than a hundred times of word. With the same intention and meaning.. that's kinda bullshit huh ?

Cheers.

Wednesday, March 23, 2011

No Date - Letting Go

sorry for double post today, hmm I just want to express more what's in mind. lol.

Thanks for being who you are
stopped me dreaming too far
here comes the reality,
I feel terrible, slightly.

I wish you the best for last
make it better than your past
I wish every morning ahead
laugh the best you've ever had

don't be anyone else but you
lie won't solve anything too
in case you slipped away
take a step back and honestly say.

Above is what I recently feel for someone's out there. Don't get me wrong. I still wish her the best.. Hey last sentence just reminds me to a line from CeeLo Green - Forget You.. lol

Cheers.

March 23rd, 2011 - Plan B

let's get straight, go make it fast. :D

Life needs a backup plan, if your life didn't go as you wish, or you plan, there'll be no waste if you have second plan, let's call it plan B. I'll start with my own experience today, while I craved for J.Co's Thai Ice Tea, and they didn't serve it, I feel so dissapointed, and I wasted time to think before I finally go for Iced Choc. Hey, it's just a small case, where everything's so simple, with no more friction or anything similar. Imagine it a life-changed case, when everything you decide simply affect your future life. You can't waste no more time to think straight before you choose, time flies so fast dude!

Let's start making plan B in your life, it don't mean you're kinda pessimistic, but realistic that everything can go wrong, except GOD's thingy.

Cheers.

Monday, March 21, 2011

March 21st, 2011 - Signature ( Sign of Nature )

Look who's here ? ME ! :D

For today, I really worried about my future, how could I survive the world if there's still a never-ending contradiction inside of me ?

Let me mention it one-by-one. First, about my religion. Until now, I still haven't decided which one I trust. Really, that's so devastating when people asked you, "Agama lo apa?". Ups, yet, that's a hardest question to answer even sounds so easy.

And second, there's more inconsistent thing in me, my SIGNATURE. Yea yea, sounds really stupid huh ? Truthfully, I need 2 sheets of paper to make it identical. :( I really need to work on this. And the religion thingy too.

To be honest, I am catholic inside, but still undefined outside. Who cares the outside when you are strong inside ?

Cheers.

Sunday, March 20, 2011

March 20th, 2011 - Cheating

Damn, it's me again !

Today I cheated a friend's homework, damn, shame on me. But I got no choice, I didn't understand the task, and tomorrow's the deadline. So, if you were me ? What would you guys do ?

Cheers.

Saturday, March 19, 2011

March 19th, 2011 - Love Lessons

hey it's me forever ! :D

okay, i didn't write here yesterday, I came home late at night tomorrow, and didn't have time to post :D

But, to sum up, yesterday was a great day. Indeed. I got along with my friends I met seldomly. And it's such a relieved to see them again :D

Hmm love lessons ? What's so important about that til I entitle my today's post so ? Let's get straight. My Bro told me to find a girl I loved right NOW. Why did he's so coercive ? He said that's so easy to find one in college, because we have the same intention, and college really form a good interactions between us compared to the work life I'd have later on.

That somehow makes a good sense in my mind. Why don't I try ?

Cheers.

Thursday, March 17, 2011

March 17th, 2011 - Happy Birthday

hey, it's me, it'll always be me writing here. boring huh ? lol

Today's post dedicated to one of my best friends, Martin who reached his 20th birthday today. I wish all the best for him, and his life. :D

If Jea read this post, I am going to ask her to forgive me bcoz I can't come with her tomorrow, to throw a surprise party for Martin. And also, I wish the best for the surprise party and for you both getting along together :D

Be better in your relationship, Tin !

Cheers.

Wednesday, March 16, 2011

March 16th, 2011 - Conscience of a Streetwalker

hey, it's me again :D

Now, let me skip about what've been fulfilled my day and let's start with a story of an amateur streetwalker.

Today, if I could make a poem about today, it'd be all about rain. Yes, it's been raining today, so hard til' Jakarta couldn't even resist flood. Flood, it is another meaning of Traffic Jam. Here, in our lovely city, Jakarta.

And flood, and traffic jam too, they make me walk my way home, instead taking a bus home. I really dissapointed about how Jakarta handle the flood thing. They can't work the drainage that clogged up, they can't maximise the usage of West and East flood canal.

Now, let's ask why ? Why Jakarta couldn't be traffic jam-free ? According to me, the answer is because they didn't provide the need of walkers. Based on my personal experience, there's almost no way to walk along the pedestrians. Most of them have been used by retailers to sell products. Some of them was broken. Streetwalkers should really risk their life to walk really on the "street", not on the pedestrians.

Despite, I still wish the best for Jakarta, where I lived. Be better Jakarta !

Cheers.

Tuesday, March 15, 2011

New Look, New Hope

I just updated the look of my blog, hope you enjoy :D

Starting tomorrow, I will write here my daily journal, maybe I would use Indonesian for next post and the following.

Cheers.

*or i could still use english* LOL

Monday, March 14, 2011

I Dare to Dream Big

hello there.
after a long time postless, i think it's the time to make it talks again :D

Okay, let me start from here..

I am really motivated right now, can't be more, indeed. I found someone really motivates me to chase my dream, to pursue it, not to give up to it.

Merry Riana is just one of them, who got me keep thinking about my dream, whether it's possible or not at present, never worry about it. I think she's a total package, she's motivatingly beautiful, smart, and communicative, and the story of her life ? It keeps me thinking, and also feeling ashamed. How could a woman endure life that hard, and I can't ? (not to discredit women).

What I learned from her.. Set your goals, and find out why you really want that so much, and you will know how to realise it. Now, I am conscious to announce my dreams, and here it goes :

1. I want to be a landscape photographer, and make a contribution to National Geographic.
2. I want to write books, and authorise it by myself (still dunno what it'll tell about)
3. I want to write songs, and sung by Charice ( aww, she's so adorable :D )

Yapp, it's done. But, I still don't know how to make it work for me. At least I am not afraid to dream BIG !

Cheers.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...