Friday, August 24, 2012

Silikon


Elena sulit tidur malam itu. Langit-langit putih yang terbentang tepat dua meter di atas tempat tidurnya lebih menarik baginya dibandingkan dengan mimpi-mimpi yang datang menjemputnya. Pikirannya masih belum bisa melupakan kejadian tadi, kejadian paling manis dalam hidupnya. Ia masih ingat jelas, bagaimana Cedric mengucapkan selamat malam sambil membukakan pintu mobil untuknya, bagaimana mereka berpelukan, melepas kepergian satu sama lain.
Elena masih merenung, pelukan tadi terasa kurang berkesan baginya. Cedric terlalu terburu-buru melepaskan diri saat dirinya baru merasa nyaman. Ia mengangkat telepon, raut wajahnya langsung berubah, terpancar kepanikan yang sangat hebat dari kedua matanya. Pasti Magenta. Elena tiba-tiba merasa ngantuk.

Sosok Magenta, yang sama sekali belum pernah dilihatnya, sudah membuat Elena minder duluan. Dari cerita Cedric, Magenta terdengar seperti putri kayangan yang sempurna tanpa cela. Biasanya, setelah mendengar cerita rutin Cedric tentang sosok sempurnanya itu, Elena menjauhi cermin. Ia tidak mau melihat dirinya sendiri. Pun begitu, ia masih belum mau menyerah dengan Cedric.
Elena menemukan sosok sempurnanya dalam diri Cedric. Kesalahan yang disadari sepenuhnya, namun ia tidak kuasa melawan. Elena terus tenggelam dalam pesona Cedric, tanpa peduli keberadaan Magenta, yang sewaktu-waktu bisa mencabut suplai oksigennya, hati Cedric.
*
Matahari sudah tinggi saat Cedric membuka matanya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain mematikan alarm yang sudah berbunyi berulang-ulang. Ia refleks menutupi matanya dari sinar matahari siang yang menerobos masuk dari kaca jendelanya. Sebentar, ia mengecek seseorang yang tidur di sebelahnya, Magenta, yang ternyata masih terlelap. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu melompat buru-buru dari tempat tidur.
Banyak hal yang dicintainya dari Magenta, yang nomor satu adalah kesediaan Magenta untuk mendengarkan semua keluh kesah Cedric, tanpa berusaha menambah kesulitannya dengan ceritanya sendiri. Cedric telah menyerahkan separuh jiwanya pada sesosok yang terbaring manja di tempat tidurnya itu.
*
Lena! Hoi!” teriak Kiara dari kejauhan, ia berusaha mendapatkan perhatian dari sahabatnya yang sedang berjalan seperti tanpa arah itu, tatapannya kosong.
“Hei, Ra.” Jawab Elena lemah. Hari itu, ia seperti dirundung duka yang amat dalam.
“Ada apa, Len? Si Chicco mati?” tanya Kiara asal, sambil pikirannya terus menerka-nerka, setan apa yang menjerat keceriaan sahabatnya ini.
“Nggak, Ra. Masih sehat kok, si Chicco. Makannya banyak banget.” Suaranya masih datar.
”Terus lo kenapa? Cerita-cerita kali ke sahabat lo ini, yang kebetulan masih punya kuping!” Kiara belum juga menyerah.
Selanjutnya, pertemuan mereka menjadi sepenuhnya berbeda dibanding pertemuan-pertemuan mereka biasanya. Kedua sahabat karib yang selalu melempar ejekan ke satu sama lain, kini bertukar air mata. Tentu saja, Elena lebih deras. Kini Kiara tahu penyebabnya, dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan senyum sahabatnya itu.
*
Pada pertemuan mereka sebelumnya, semua berjalan sangat baik. Malam ini, Elena ingin mencoba hal baru, yang siapa tahu bisa semakin mendekatkan Cedric dengan dirinya.
Elena tiba di apartemen Cedric tepat pukul tujuh, lebih cepat sejam dari janji. Elena pikir, akan lebih baik jika ia datang lebih awal dan membantu Cedric menyiapkan makan malam, sesuatu yang dijanjikannya sejak lama. Ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Ia mencoba memutar kenop pintu yang dikiranya terkunci, ternyata tidak.
Terdengar suara deburan air dari dalam kamar, Cedric sedang mandi rupanya. Pikiran jahilnya muncul untuk mengagetkan Cedric sekeluarnya ia dari kamar. Elena berkeliling untuk mencari tempat persembunyian terbaik, saat tiba-tiba langkahnya terhenti. Mulutnya langsung menganga lebar, diikuti dengan suara ”wow” panjang. Ia mengurungkan niat awalnya dan lebih tertarik dengan sesuatu yang baru saja ditemukannya.

”Elena, sejak kapan...” Cedric yang baru keluar dari kamarnya spontan bertanya, pertanyaan yang tidak sempat ia selesaikan ketika melihat apa yang terjadi di apartemennya.
”Ini beli dimana, Dric? Bagus banget! Persis aslinya ya..” Elena mulai menembakkan peluru berisi pertanyaan yang telah disiapkannya dari tadi. Tentu saja ditambah kekaguman yang jelas tergambar di wajahnya.
“Hmm.. Ini.., ini..” Cedric langsung terbata, tidak siap untuk menjawab Elena yang membombardirnya dengan pertanyaan yang seakan tidak akan pernah bisa terjawab.
“Ah, kita makan malam yuk! Lapar nih!” Elena yang tampak tidak sabar menyelamatkan Cedric dari kesengsaraannya.

Makan malam berjalan sempurna bagi mereka berdua, setidaknya itu yang dipikirkan Elena. Dua porsi ketoprak yang mereka pesan dari Bang Roni sudah cukup memenuhi janji Cedric. Memang tidak ada makan malam mewah seperti yang dibayangkan Elena sebelum berangkat, namun semua yang terjadi malam ini sudah cukup baginya, ia tidak akan meminta lebih lagi.
”Elena, pertanyaanmu tadi, yang belum terjawab, aku ingin menjawabnya.” Cedric membuka pembicaraan dengan hati-hati.
”Hmm, yang mana? Boneka itu?” jawab Elena, santai.
”Iya. Itu Magenta.” jawab Cedric sambil memandang ke kekasihnya yang masih duduk tenang di sofa.
”Hah? Kamu lucu banget, Dric. Tapi, dia cantik lho.”
Cedric terdiam sebentar. ”Serius, Len.” Lalu ia mulai menjelaskan, entah dari mana dimulainya.
Kali ini, Elena terbahak keras, sambil tangannya mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. Perbuatan yang nantinya akan ia sesali seumur hidupnya. Cedric masih tajam menatap matanya, sesuatu yang baru disadari Elena setelah sekitar dua menit berada di pucuk kebahagiaannya. Elena langsung membuang tawanya jauh-jauh.
”Len, sudah malam, kamu pulang, ya.” Cedric berkata-kata tanpa ekspresi.
“Hmm.. Chicco belum dikasih makan. Aku pulang ya. Good night!“ Jawab Elena sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan mulut, menahan tawa.
*
Cedric tidak menyesali keputusannya semalam. Ia tidak perlu menyesalinya, ia melakukan tindakan yang tepat, pikirnya. Harinya pun dimulai seperti biasa, bangun tidur saat matahari sudah tinggi, mengecup selamat pagi Magenta yang masih terlelap, lalu memulai aktivitasnya. Ia sepertinya cukup bahagia.

”Dric, lo gila ya?” tembak Kiara saat kebetulan ia menemuinya di jalan. Ia sudah tahu semuanya, semalam Elena menumpahkan semua padanya. Itulah gunanya sahabat.
”Kenapa, Ra? Gue biasa aja kok. Hidup gue sendiri, jangan ikut campur lah.” Cedric menjawabnya dengan sinis, ia berhak untuk itu.
Kiara mulai melunak. Ia sadar, pendekatannya salah. ”Dric, gue udah kenal lo dari lama, kita udah sering cerita-cerita. Kalo ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue kok.” Kiara memulainya lagi, kini lebih lembut.
”Gue udah capek, Ra. Sekarang gue merasa bebas, gak ada lagi yang nyuruh-nyuruh gue,” Cedric memulai ceritanya, nafasnya mulai berat. ”Magenta bisa jadi pendengar yang baik, tanpa nambah-nambahin masalah gue seperti yang udah-udah. Gue cuma perlu pendengar, Ra!”
”Oh, jadi lo masih belum bisa move on?” timpal Kiara, sambil menunjukkan foto seseorang yang mirip sekali dengan Magenta. Ialah Magenta yang sesungguhnya, benar-benar ada.
”Udah lah, Ra. Biarin gue seperti sekarang aja, gak merugikan siapa pun, kan?” Cedric menjawab sambil tertunduk lesu.
*
Beberapa hari dihabiskan Kiara bersama Cedric. Kiara merasa perlu mengembalikan temannya itu ke jalan yang benar, ditambah lagi, ia bisa menyelamatkan Elena sekaligus.
Empat hari yang menyedihkan bagi Cedric akhirnya berakhir. Ia telah mengambil keputusan. Bersama Kiara, ia menggantungkan Magenta palsu di dinding, mengikatnya erat-erat, lalu mereka mundur tiga langkah, mengambil pisau dapur yang telah siap di meja.
”Siap, Dric?” tanya Kiara hati-hati.
Cedric menganggukkan kepala, air mata masih mengaliri deras pipinya.
Mereka maju tiga langkah, lalu mulai menggoreskan pisau di tangan masing-masing ke kulit silikon Magenta. Tangan Cedric seperti kaku, perlu Kiara di sampingnya untuk membantunya menggoreskan pisau.
Prosesi ’pembantaian’ itu akhirnya selesai, berbarengan dengan air mata Cedric yang berhenti mengalir. Cedric mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, menandakan ketegaran yang telah memenuhi pikirannya, dan ia siap untuk mencoba lagi.

Ponselnya berdering, nomor yang tidak ia kenali terpampang di layar.
”Halo. Ini siapa, ya?” tanyanya cepat, sambil tangannya masih memainkan pisau dapur yang tadi baru mencabut nyawa ’seseorang’.
”Magenta. Kita perlu bicara, Dric.” Suara di ujung telepon seketika menggema berulang-ulang di kepala Cedric, membuatnya jatuh tertunduk. Kali ini dengan pisau dapur yang masih siap sedia di tangannya, ia telah mencabut satu nyawa lagi.
“Dric, dric! Cedric!” Suara di telepon mulai memenuhi seisi ruangan, tanpa ada jawaban.

***

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...