Saturday, December 31, 2011

Lamunan


Pusat kebugaran biasanya selalu dibuat sejuk dan nyaman. Mengapa? Sejak berkeringat menjadi tujuan utama, semburan angin sejuk yang bagai surga itu seakan bersembunyi dibalik lenguhan – lenguhan puas para anggotanya. Kehangatan selalu menyelimuti tempat itu. Puluhan pria dengan otot yang selalu membesar setiap harinya begitu rajin mengecek perkembangan di cermin, entah perlu atau cuma sekedar pemujaan diri. Wanita yang tidak kalah banyak, dengan semangat pantang menyerah, berusaha membakar setiap mili lemak di tubuhnya. Sambil mereka sesekali menggoda sesamanya, cukup ’Sudah turun berapa? Aku lima loh,’ dengan diiringi tawa penuh kemenangan, yang kadang cuma terbalas senyum masam.

Tapi siang itu berbeda. Dingin yang dengan pede-nya menyeruak keluar, diiringi deru mesin pendingin dan pengharum ruangan otomatis yang setiap lima menit tidak alpa menyemprotkan wewangian khas. Alat – alat yang biasanya digilir belasan anggota sampai aku bisa dengar rintihan lelahnya, kali ini tampak riang. Cermin yang biasanya rela jadi orang lain, kini jadi dirinya sendiri, menyatu dengan ruangan itu. Aku, masih dengan earphone yang menggantung sebelah, masih terus berlari mengejarnya. Siapa? Tidak ada siapa – siapa disana, cuma lamunanku saja.

Rambutnya yang panjang sengaja diurai lepas, bergoyang serentak dengan langkahnya yang cepat di karpet treadmill. Ia tidak pernah lambat, selalu berlari. Aku cuma tahu sedikit tentangnya, hanya sepengelihatanku di pantulan kaca yang membatasi kami, para anggota, dengan udara luar. Ketika mendung, bayangannya tampak jelas, sejelas ia menatapku lama setelah ia selesai berlari. Ketika cerah, semuanya nampak pudar. Tapi masih ada secercah bayangan yang kutangkap, persis di wajahnya.

Pernah, suatu hari aku pindah dari tempatku biasa berlari, yang secara tidak langsung sudah kutempelkan namaku disana, demi melihatnya lebih dekat. Tampaknya ia menyadarinya dari awal, dan memilih tidak berlari hari itu. Kembali, rasa hampa peninggalan mantan – mantanku sebelumnya mengetuk pintu, meminta masuk. Hari itu lewat lagi, seperti ratusan hari yang lalu. Tanpa hasil namun ada kepuasan disana.

Satu hari di bulan Januari, saat hujan sedang lebat – lebatnya. Tidak banyak anggota hari itu. Aku, seperti biasa, berlari tanpa tujuan, mengejarnya. Maksudku, bayangannya. Aku tidak peduli apapun hari itu, terlihat jelas dari earphone-ku yang menggantung keduanya, dengan volume maksimal yang bisa diterima gendang telingaku. Kecepatan lariku meningkat seiring dengan tombol bergambar segitiga yang kutekan terus.

Dengan kecepatan seperti itu, dan dunia yang terpisah dari kenyataan, banyaknya tetes keringat yang membasahi pun jadi tidak terasa. Ini hal terakhir yang kuingat sebelum akhirnya terbangun di ruang ganti, saat itu sebulir jagung keringat menyelinap masuk ke mataku. Refleks, aku menyekanya cepat – cepat, dan aku kehilangan waktu untuk menyesuaikan langkahku. Aku terjatuh, terseret karpet yang terus berputar, lalu, aku lupa.

Saat kubuka mata, ada selembar handuk di sebelahku. Ada terselip selembar memo, ”Hati – hati, dong!” Aku menerka, dan dalam hitungan detik, ia muncul di depanku dengan segenggam es batu. Ini yang kutunggu.

Friday, December 30, 2011

Mengenalmu


Musim hujan tidak ada artinya tanpa segelas cokelat panas, atau dua gelas. Begitu pula aku, tidak ada artinya tanpa dirimu, atau dua dirimu. Satu untukku dan satu untukmu. Dirimu untukku semua.

Rintik hujan di luar seakan mengunci kakiku dengan rapat, melekatkan sofa empuk dengan punggungku seakan menahanku untuk tidak kemana – mana, bahkan untuk sekedar buang air kecil. Penahanan yang sama sekali tidak membuatku meronta dan malah membuatku memintanya terus begitu. Didekap oleh selembar selimut hangat kesukaanku, lebih karena baunya daripada kelembutannya, aku jatuh semakin dalam memuja kehangatan itu. Lantai kayu yang terhampar seolah mengancam ’jangan pergi dari sini, atau kamu akan menyesal.’ Aku tidak melawan, tidak akan.

Novel lima ratus halaman, dengan wangi khas kertas yang memanggil – manggil, semakin mengekang ruang gerakku menjadi cuma sepenjentikkan jari untuk membaliknya, halaman demi halaman. Terjerembab semakin dalam di galaksi asing rekaan si novelis, baris demi baris kalimat terasa menusuk hati. Sampai akhirnya aku berhenti di sebaris kalimat, yang aku curigai sang novelis menulisnya eksklusif untukku, untuk memperingati kehancuran hatiku, dan mungkin hatinya.

’Beberapa hal tidak pantas dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan.’ Sulit untuk membalik halaman setelah menyadari keberadaan kalimat ini. Jemari terasa dingin, dugaanku beku, putaran otak seakan tertahan keberadaan memori lama yang terproyeksikan kembali dalam lamunan. Perlahan namun pasti, mataku terpejam, setelah kuyakini, mungkin jalan ini yang paling tepat.

Cerita dia, bukan yang terindah, bukan yang terlama, tapi pasti yang paling membekas. Kami, berdua, cuma bertahan paling lama dua bulan, sebelum akhirnya kami menyerah pada ketidaksamaan kami. Ketidaksamaan yang sesungguhnya aku anggap sama, tapi ia tidak. Kesungguhan yang tak terbalas, yang bahkan tidak ia terima. Kekaguman yang sulit hilang, hingga sekarang.

Tanpanya, mungkin aku bahagia, begitu pula ia tanpaku. Secara logika bisa diterima. Walau kita semua tahu, cinta bukan semata benar atau salah. Kadang, kebenaran bisa disalahkan, kesalahan bisa dibenarkan. Apa yang menurutmu pantas disalahkan atas ’kekeliruan’ itu? Tidak, bukan cinta jawabmu.

Misteri ini, atau lebih tepat disebut nurani, harus dibenarkan. Siapa yang mau seumur hidupnya hanya diwarnai satu cinta? Cinta yang mungkin tertiup angin sehingga tak diterima. Jika ada tawaran seperti itu, aku dengan rela pasti memilihmu. Pasti. Biarlah nuraniku salah selamanya, karena denganmu aku merasa benar.

Tanpa kau sadari, aku sudah simpan rasa ini sejak tiga tahun lalu, dan sampai sekarang masih belum berani aku ungkapkan kepadamu. Bisa kau hitung berapa cinta yang kupendam, jika dalam sedetik aku merindukanmu satu kali? Sembilan puluh tiga juta tiga ratus dua belas ribu cinta. Silakan ambil kalkulatormu.

Belaian lembut di pipiku sepertinya tahu aku akan jatuh lebih dalam lagi di pusaranmu, jadi segeralah ia berubah menjadi tamparan lembut yang seketika langsung menyadarkanku. Masih belum sempat aku sampaikan padamu, ya?

Sunday, December 25, 2011

25.12.1991 - 25.12.2011, 20 years and going strong

Selamat natal semuanya! Buat yang merayakan, dan juga yang tidak. Buat yang merayakan, semoga kelahiran Yesus Kristus bisa membawa sesuatu yang baru untuk hidup kita semua. Buat yang tidak merayakan, semoga liburan natal bisa menjadi suatu penebusan yang manis setelah setahun bekerja keras. :)

Tidak lepas dari bahagia natal ini, gue ulang tahun juga! Terdengar seperti kebahagiaan yang berlipat - lipat ya? Hehehe. Engga kok, sebenarnya biasa saja. Budaya natal disini tidak semeriah di luar sana, jadi biasa saja. Menurut gue, semangat natal disini lebih pada perasaan bahagia dan semangat untuk menyambut Yesus Kristus, dibanding merayakan secara fisik.

Selamat ulang tahun yang cukup banyak mengalir ke gue hari ini cukup membangkitkan semangat untuk jadi lebih baik ke depannya. Ucapan selamat yang rata - rata berisi "All the Best", cukup memotivasi gue bilang. Terlepas ucapan itu sudah terlalu biasa, dan seperti keluar otomatis dari mulut kita saat mengucapkan selamat ke seseorang, "All the Best" punya makna tersendiri. Bagaimana kita bisa terus berusaha untuk mendapat semua yang terbaik yang kita bisa dan menjauhi yang buruk. Bagaimana kita bisa menjauhi yang buruk dan menjadi berkat bagi sesama kita.

Tahun ini, tahun ke-20 gue hidup, dan masih berharap bisa terus berlanjut seterusnya. Masih banyak yang belum gue lengkapi di dunia ini. Satu yang paling menggelitik yaitu masalah pacar. Setelah 20 tahun, apakah tahun ini saatnya? I hope so. Hal lain, yang tidak kalah pentingnya, gue belum dibaptis. Gue berharap ada jalan yang dibukakan untuk kesana. :)

Di umur ke-20 ini, gue pengen jadi lebih baik. Pastinya ya. Secara spesifik, gue pengen mulai berpenghasilan sendiri, entah dari bidang apapun yang mungkin. Hal ini udah rutin masuk dalam doa malam gue, semoga bisa terlaksana ya, Amin. Selain itu, gue berharap untuk bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Semoga semua keputusan yang gue ambil bisa membawa hal yang baik buat gue dan orang - orang sekitar gue, Amin.

Akhirnya ya, semoga semangat natal ini bisa membawa kita berjalan lebih jauh lagi dalam damai Tuhan. This is me being religious :p

Friday, December 16, 2011

Lady Gaga, antek Illuminati?

Tulisan ini berdasarkan research kecil - kecilan tadi malam, yang sempat gue tweet juga.
Jadi, gue cukup penasaran dengan penampilan Lady Gaga yang cukup nyeleneh itu, dan video klipnya yang ceritanya sulit untuk ditangkap akal sehat, serta semua gimmicks yang ada.

Tadi malam, iseng - iseng gw googling masalah ini, mulai dari beberapa website yang menuduh Lady Gaga adalah antek Illuminati yang terkenal itu, sampai ada wawancara yang dilakukan salah satu website langsung dengan Lady Gaga. Kira - kira begini ceritanya :

Lady Gaga terlahir dari keluarga yang cukup mapan, beragama Katolik Roma. Dia disekolahkan di sekolah khusus putri, yang semacam Santa Ursula kalo di Jakarta. Dengan pengajaran agama yang sangat ketat. Lady Gaga, awalnya bernama Stefanie Germanotta, merupakan murid yang pintarnya diatas rata - rata. Dia berbakat dalam musik, tari, dan bidang seni lainnya. Jadilah dia melanjutkan sekolahnya di sekolah seni di NY kabarnya satu sekolah dengan superstar Paris Hilton.
Lalu, skip skip skip...

Kini, agama Lady Gaga diragukan, ada yang bilang dia pemuja setan, Illuminati, atau sebagainya. Berdasarkan riset google semalam, kabarnya ada operasi rahasia CIA, di tahun 1950-an namanya MKULTRA. Itu semacam misi yang berhubungan dengan mind-control, brainwashing, dan pemanfaatan manusia lainnya dengan bahan - bahan kimia lainnya. Dicurigai, Lady Gaga terlibat dalam misi itu, sebagai korbannya. Hal ini semakin diperkuat dengan definisi "Gaga" dalam bahasa inggris yang berarti "intensely enthusiastic about or preoccupied with". Apakah dia dibawah pengaruh CIA ?

Dalam suatu interviewnya, Lady Gaga bilang bahwa dia percaya Tuhan itu ada, entah dalam bentuk apa. Dan dia percaya, Tuhan itu ada dalam diri para fans-nya. Sempat terlihat pula di salah satu video klipnya yang berjudul "You and I", terlihat Lady Gaga membuat tanda salib, yang merupakan simbol kekatolikan.

Sampai sekarangpun, penampilan Lady Gaga masih sulit dijelaskan dan diterima akal sehat. Apakah dia seperti itu demi popularitas saja, atau ada maksud yang diusungnya?

I.L.U


Ini bukan malam yang panjang, namun bukan juga yang singkat. Daun jendela yang kadang menutup otomatis kena semburan angin malam, pintu yang terus – terusan menutup padahal ingin dibuka. Rasanya malam ini cukup mewakili perasaanku, disamping derasnya hujan yang seakan terus meraung – raung benci. Lantunan pemutar musikku juga tanpa daya menyerah pada derasnya hujan, sehingga cuma sepatah – dua patah lirik yang terdengar dari lagu yang dimainkan.

Ingin rasanya aku menghambur keluar, berteriak di tengah hujan. Melakukan apa yang ingin kulakukan sekarang, menangis. Dengan begitu mungkin derai tangisku akan tersembunyi, tersaru dengan hujan.

Adalah dia, yang pertama, dan yang kuharap jadi yang terakhir. Diana namanya, parasnya biasa saja, cantik juga biasa saja. Kibasan rambutnya tidak semenggoda bintang iklan sampo kecantikan itu, wajahnya tidak secerah artis manapun yang bisa kau sebutkan. Tapi hatinya luar biasa. Hati itulah yang bisa membawa lelaki manapun terbang ke surga tertingginya. Hati itulah yang bisa membuatku melepaskan kata – kata yang sebelumnya sulit terucap, ”I love you”.

Aku, salah satu aset terbesar yang dimiliki negeri ini. Bukannya sombong, tapi hampir di seluruh gelaran kompetisi sains yang pernah diadakan di negeri ini, pasti kau temukan namaku disana. Di tempat tertinggi pastinya. Di salah satu sudut kamarku, berdiri dengan bangganya satu set lemari kaca besar, dengan piala – piala hasil kerja kerasku terpampang gagah di dalamnya. Tapi itu semua tidak membuatku punya kebanggaan yang cukup untuk membawaku keluar dari kamar dan mulai melangkah maju. Hari – hariku cukup banyak dipenuhi dengan diktat – diktat tebal, pulpen berbagai rupa, dari yang tebal hingga yang lebih tipis dari rambutmu sendiri, kertas – kertas soal bertebaran hampir di seluruh sudut kamar. Semua itu yang harus dibayar demi piala – piala gagah yang sombong itu.

Romantisme malam itu tidak berlangsung lama. Sesaat setelah hujan reda, Andre, salah satu jenius sains sepertiku mampir kerumah. ”Reza!”, teriaknya dari balik pagar depan. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku, Andre membawa setumpuk diktat fisika miliknya, serta satu tas penuh berisi soal – soal fisika terapan yang didalaminya setahun ini. ”Yaa!”, jawabku dari balik tirai sambil berlalu ke pintu depan. ”Sudah siap belum buat seleksi besok?”, sembur Andre yang sangat telak menamparku di pipi kanan kiri, karena selembar pun belum kupelajari. ”Belum, Dre. Yuk ke kamar aja!”, jawabku pura – pura terlihat santai sambil menyembunyikan bekas tangisan tadi. ”Udah hampir subuh kali, Dre. Ngapain kamu kesini?”, tantangku. ”Kamu juga kok belum tidur? Kukira lagi belajar, jadi ya aku datang aja, mau belajar bareng.”, jawabnya lebih santai.

Akhirnya, sesi belajar dadakan itu pun berakhir, tepat pukul enam. Andre pun segera pulang untuk bersiap berangkat kuliah, begitupun denganku. Dengan raut muka yang sudah tak keruan hasil belajar tadi, ditambah tangisan tadi malam, perlu hampir satu jam aku di dalam sana. Cuma diam memandangi wajah seseorang di balik cermin, apakah dia bernyawa? Apa yang akan dia lakukan jika jadi diriku? Entahlah, dia juga tidak menjawab.


Tidak kulihat Diana di kampus, aroma parfumnya pun tidak sempat lewat depan hidungku. Apa dia sudah pulang? Dengan siapa?. Biasanya dia pasti menungguku, selama apapun. Kuputuskan saja pulang sendiri, dengan pikiran yang terus mengganggu, serta perasaan bersalah apabila ternyata ia menungguku, tapi aku yang tidak melihatnya. Ada pikiran kecil yang menyuruhku berbalik, tapi aku terus saja jalan. Sesampainya dirumah, tepat sekali begitu aku menutup pagar seusai memarkir motor, petir menyambar dan hujan mulai turun lagi dengan derasnya.

Tak mampu lagi kutahan perasaan itu, perasaan bersalah dan khawatir yang kalau dikolaborasikan bisa jadi satu penyebab kematian terhebat di bumi ini. Segera kukirim pesan singkat untuk memastikan ia baik – baik saja. Satu pesan, dua pesan, tiga pesan, tidak dibalas. Sudah cukup pikirku, segera kutelepon ponselnya. Ada nada, tapi terus tidak diangkat, sudah kucoba berulang kali, masih tidak diangkat. Ada yang salah sepertinya. Hingga akhirnya diangkat, segera kukenali dari sepatah ”Halo” yang dia ucapkan, ini bukan suara Diana! ”Halo, ini HP-nya Diana kan? Mana Diana?”, tanyaku cepat. ”Pak, maaf, mungkin yang bapak maksud itu pemilik HP ini ya? Dia baru saja ketabrak mobil waktu menyeberang, sekarang lagi dilarikan ke rumah sakit, Pak”, jawab suara disana tak kalah cepat.

Segera kusiapkan motorku, lalu pergi secepat mungkin ke rumah sakit. Dengan pikiran yang campur aduk, aku melaju kencang di jalanan basah bekas hujan, berusaha secepat mungkin untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya, aku segera mencari kamar tempat Diana dirawat, aku bertanya dengan nafas yang tersengal – sengal, sampai satpam di sebelahku perlu menenangkanku. Dari kejauhan, tampak tante Mia, mamanya Diana, om Paulus, papanya, serta Ricky, kakaknya. Bukan niatku untuk  tidak hormat, tapi aku bertanya langsung tanpa basa – basi, ”Dimana Diana?”. Mereka tampak bersamaan mengarahkanku pada satu pintu dengan tatapannya.

Langsung kuraih gagang pintu, dan kubuka perlahan. Antara aku takut pada kenyataan yang terbaring di depanku dan perasaan bersalah yang sudah terakumulasi begitu banyak plus bunganya, yang seketika dapat memecahkan tangisku. Tapi aku berusaha tetap tenang dan melangkah masuk. Terlihat Diana, terbaring lemah di ranjang, dengan kepala terbalut perban dan lengan yang terbujur kaku terbalut gips. ”Reza..”, panggilnya lemah. ”Ya, Di. Aku disini. Maaf ya, tadi siang aku langsung pulang, aku harus siap – siap buat seleksiku minggu depan.. Aku..”, tiba – tiba, Diana dengan lemah meletakkan telunjuknya di bibirku yang dekat. ”Sshh.”, desisnya pelan. Tampak air mata juga mulai berderai membasahi pipinya, sambil terisak dia membisikkanku sesuatu. ”I love you, Za.”

"... if we ever meet again"


Siang itu, dibalik tembok sebuah rumah kopi tersohor di Jakarta, aku mengurai semua kisah lalu, semua tawa, semua isak tangis yang pernah kami lewati bersama. Wangi kopi yang khas menyelip masuk pikiranku, bersama semua hal yang sebelumnya ada menjadi satu kombinasi mematikan yang siap memaksaku menitikkan air mata saat itu juga. Aku perlu tahu, sejauh mana kami telah berjalan dan apakah perjalanan ini bisa terus berlanjut, atau cukuplah sampai disini. Hampir 3 tahun kami membagi semua, dan kini kami ada di persimpangan. Apakah menambah masa kami bersama, ataukah harus kucari orang lain lagi. Sangat membingungkan.

Pandanganku kutujukan pada pasangan muda – mudi diseberang sana. Mereka tampak sangat bahagia. Terbahak, saling memegang tangan, dan bahkan saling membuang pandangan sesekali. Terasa ada energi yang kuat disana, yang cukup memanggilku untuk berjalan kesana dan meminta petuah – petuah mereka dalam berhubungan. Oh ya, akal sehatku tiba – tiba menampar. Apa yang terjadi, wanita dewasa 24 tahun, cukup mapan, dan menarik sepertiku tertatih – tatih datang kehadapan dua anak bau kencur untuk sepotong nasehat? Langsung kupalingkan wajahku dari mereka berdua, sebelum mereka bisa melihatku didalam.

Saat itu semua rasanya buram, tidak ada yang benar – benar jelas di mataku. Bahkan ketika barista langgananku mengantarkan latte pesananku, ya, memang aku cukup dapat pelayanan khusus disini. Saat pelanggan lain harus mengantri panjang yang pasti akan memotong umur mereka selama beberapa jam, aku tinggal duduk di sofa favoritku dan berteriak ”Jodi!”, dan dalam beberapa menit secangkir latte duduk sama cantiknya dihadapanku. Aku sontak menampar cangkir yang ia bawa, sampai semua mata di rumah kopi itu tertuju padaku, dan Jodi kembali jadi korban. Celemek baristanya berlumuran whipped cream tamparanku. Maaf.

Sesegera itu, langsung kubereskan semua bawaanku dan pergi dari sana. Aku tidak tahan lagi dengan semua tatapan aneh dan decakan yang entah kagum atau heran itu. Aku berantakan sekali. Jalanku ke mobil cuma kuhabiskan menatap lantai, langkah demi langkah, decit demi decit sepatuku yang bisa kudengar sangat jelas. Saat kubuka pintu mobil dua pintuku, tiba – tiba handphoneku bernyanyi, ”..if we ever meet again..”.

Ternyata Bimo, dalang dari semua insiden hari ini, wajah lucunya muncul di layar, sambil kurasakan getaran – getaran, entah dari hatiku atau dari handphoneku. Bimo, orang terakhir yang kucintai, satu – satunya yang bisa mengambil pedih di hatiku dan menggantikannya dengan kasih. Bahkan orang tuaku pun kesulitan, hari ini bisa secara mengejutkan meneleponku, setelah semua yang terjadi hari ini. Mungkin itulah jodoh kata orang. Aku tak langsung mengangkat teleponnya, sekedar membuat dia menunggu lebih lama untuk bicara denganku, padahal aku telah menunggu hampir 3 tahun lamanya.

”Halo,” sapaku singkat, sambil deg – degan menunggu keluar suaranya yang kutunggu – tunggu. ”Wina, ini Wina kan?” jawab suara diseberang sana. ”Iya lah Momo! Ini Wina, emang siapa lagi?”. ”Hai, Win, apa kabarmu? Aku lagi di bandara nih, 2 jam lagi sampai Jakarta. Eh, aku boarding dulu ya! See you!”. ”klik”, suara telepon ditutup, tanpa sempat kujawab sepatah pun.

Ketemu. Bimo. Kangen. Banget. Kata – kata itu yang terus berputar di kepalaku, bagai anak kecil dalam balutan baju pesta menyambut tumpukan kado ulang tahun dihadapannya. Bahagia sekali! Segera saja, kutekan gas mobilku lebih kencang karena aku terlalu senang, dan supaya bisa lebih cepat sampai dirumah bersiap – siap untuk lalu ke bandara menjemput Bimo. Langsung lupa insiden tadi pagi. J

( 3 jam kemudian.. )

Sudah hampir lima kali aku mondar – mandir terminal kedatangan, sudah puluhan tawaran taksi kutolak tapi tetap saja belum kulihat ada tanda – tanda Bimo disini. Akhirnya aku menyerah, kuketik pesan di handphoneku, ”Mo, kamu udah di Jakarta ya beb? Kok tadi aku jemput kamu di bandara ga ada? Udah punya bandara pribadi yang aku ga tau ya? :p”. Terkirim.

Dalam perjalananku pulang, setelah surprise yang gagal total, aku terus merasa was – was sambil tangan kiriku terus memegangi handphone, kalau – kalau ada balasan dari Bimo, yang sampai sekarangpun belum datang. Aku terus bertanya –tanya, apa sih yang ada di pikirannya Bimo, sampai sekarang belum ada kabarnya. Apa dia betulan sudah di Jakarta atau belum? Atau ada apa – apa yang terjadi, sampai belum bisa memberi kabar?

Esok paginya, lebih pagi dari Bruno, anjingku sudah menggedor – gedor pintu kamarku minta diajak main, Bimo menelepon. ”Mo! Kemana aja sih kamu? Aku hubungin dari kemarin ga bisa – bisa! Kamu udah sampai kan beb?”, tanyaku panjang dan terburu – buru. ”Hey Win, sori ya baru bisa telpon kamu sekarang, dari kemarin aku banyak banget pikiran. Oh ya, bisa kita ketemu Win? Di tempat biasa ya, jam 2. Aku mau kasih tau kamu sesuatu. See you there ya!”. Klik, telepon ditutup. Aku bertanya – tanya dalam hati, apa yang membuat Bimo bicara begitu cepat, tidak seperti biasanya dia sangat santai. “Pasti ada sesuatu nih”, pikirku. Entah pikiran ini datang darimana, tapi aku punya perasaan kuat Bimo akan melamarku nanti. Mungkin pikiran gila ya, terlalu pede mungkin. Oh, sangat pede maksudku! J

Tepat pukul dua, aku sudah siap dengan nyaman di sofa favoritku di rumah kopi. Sesekali kubuka cermin kecilku, memastikan tidak ada yang kurang dari penampilanku. Sambil terus melihat arloji dan handphone bersamaan dengan kakiku yang tidak bisa diam, jadilah aku manusia multitasking paling menarik di rumah kopi ini. “Ting tong”, suara bel berbunyi saat pintu utama terbuka, mungkin salah satu ucapan selamat datang yang mereka anggap paling sopan disini. Bimo masuk perlahan sambil menahan pintu untuk…, Siapa? Siapa itu disana?. Sesosok bidadari cantik, ya kuakui memang cantik, berbalut gaun merah pendek, terlihat dengan anggun dan manjanya menggandeng lengan Bimo.

“Win, maaf aku ga kasih tau kamu sebelumnya. Ini pacar baruku, teman sekampusku dari Amerika, kebetulan temanku juga dulu waktu SMA.”. Aku tidak tahu mesti berbuat apa, marah bukan solusi tepat tampaknya. Memprotesnya pun tidak ada gunanya. Segera kukemas semua barang – barangku, dan pergi dari tempat itu, tanpa ada sepatah katapun lepas dari mulutku.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...