Saturday, December 15, 2012

Essence of Life


Benarkah manusia diciptakan untuk mencintai, dan bukannya dicintai? Semua orang bilang, “Kamu resmi jadi gentleman saat kamu bisa menerima kebahagiaan orang dengan tidak bersamamu.” Tidakkah bisa semua persepsi itu diubah, demi keselamatan kita semua, baik yang ingin dicinta atau pun yang selalu rela mencinta.

Benarkah manusia diciptakan berpasang-pasangan? Saat di mana kamu tidak bisa melihat yang lain lagi, hanya dia seorang. Saat di mana semua yang hidup di sekelilingmu seakan mati, merelakan hidupnya bagi satu orang yang terus kamu pandang. Saat di mana kamu lihat terbitnya matahari yang sepenuhnya lain dari yang biasa kamu lihat, dan kamu tahu pada saat itu juga, kamu tidak bisa berpaling lagi dari sang mentari baru.

Benarkah Tuhan punya rencana atas semuanya? Semua orang bilang begitu. Saat kamu dikekang sesak mendera, kamu tahu kamu punya Tuhan. Saat kamu jatuh sedalam-dalamnya, kamu tahu Tuhan yang akan mengangkatmu kembali. Namun tidakkah Tuhan punya pilihan, dan Dia menyuruhmu memainkan hidupmu sendiri. Seperti pintu-pintu yang tertutup, kamu harus memilih pintu mana yang akan kamu buka, dan pintu itulah yang mendefinisikan dirimu. Selanjutnya, milyaran pintu-pintu lainnya telah menunggu.

Dan Tuhan memintamu untuk membuat pilihan atas hidupmu sendiri. Dengan segala keplin-plananmu, segala inkonsistensi yang kamu punya, dan segala bentuk kemungkinan yang telah kamu gambarkan baik-baik di kepalamu. Jalan mana yang akan kamu pilih? Bukankah itu esensi hidup yang paling mulia, membuat pilihan?

Tuesday, November 20, 2012

Tutup Mata, Tutup Mulut, Tutup Telinga.


Pernahkah sejenak kamu menutup matamu? Menghilang dari peradaban. Memisahkan diri dari kenyataan. Membentuk sendiri realitasmu, yang sepenuhnya kamu. Dari kamu, untuk kamu, dan hanya kamu. Bumi yang terus berputar, tidak menyisakan waktu barang sedetik untukmu melihat ke dalammu. Semua hanya semata uang, pendapat orang, dan membuang waktu luang. Pernahkah sedikit terpikir di benakmu, untuk bisa terpejam sehari, tanpa perlu melihat dunia yang putarannya takkan pernah bisa kamu hentikan. Pernahkah tergambar di mimpimu, saat-saat kamu harus menanggapi apa kata orang, membuang waktu dan peluang, hanya untuk seutas kalimat pembelaan yang bahkan kamu ucapkan secara otomatis. Bayangkan semua itu hilang sekarang! Tidak ada lagi bisik-bisik cemburu di belakang, di depan, atau di manapun karena kamu tidak bisa melihat. Tidak ada lagi waktu yang terbuang, semua hanya untuk dirimu sendiri. Bayangkan kamu tidak perlu melihat dirimu sendiri di depan cermin dan terkadang mengeluh, “Aku gemuk.” atau apa saja yang bisa memojokkanmu sendiri. Dan, jika kamu punya waktu lebih, tolong mendongaklah. Pandang Tuhanmu yang sudah lama kau tinggalkan demi persepsi orang tentang dirimu. Tidak, tidak perlulah kamu membuka mata, mata hatimu yang akan bekerja.
Pernahkah sejenak kamu menutup telingamu? Menutup jalan masuk semua hal yang membentuk jalan pikiranmu sekarang. Bisakah kamu tetap bertahan? Apa hidup telah melatihmu untuk terus mendengar, dan bukannya mendengarkan? Tolong, jika ada satu orangpun yang berkata buruk tentangmu, lewatkanlah. Telingamu bukan untuk itu. Coba, sekarang ambillah dua gelas plastik, tenggaklah semua airnya, lalu tangkupkan di kedua telingamu. Apa yang kamu dengar? Kedamaian? Tentu saja. Saat kamu menangkupkan kedua gelas itu di kedua cuping telingamu, suara-suara di sekitarmu terdistorsi hingga hilanglah kekhawatiranmu akan isinya. Dan kamu hanya perlu menertawakannya, orang-orang gila yang terus saja berbicara kosong, seolah-olah merekalah yang paling pintar. Dan kamu di sana hanya tersenyum sambil memejamkan mata, menerka-nerka apa yang sebenarnya mereka sampaikan. Orang-orang itu yang tidak mengerti duniamu, dan takkan pernah mengerti. Sekali lagi, kamu tinggal tersenyum.
Pernahkah sejenak kamu menutup mulutmu? Diam termenung memandangi satu titik berulang-ulang yang sepertinya akan menusuk kerongkonganmu. Mengolah semua perasaan yang meletup-letup ingin dimuntahkan. “Pantaskah aku ada di sini, membaktikan diriku pada dunia, dan bukan pada sesuatu yang tinggi di atas sana?” Begitu tanyamu.

Friday, October 5, 2012

Skripsi S01E01 : Pilot

Hello! Udah lama banget ya, gue gak ngurusin blog ini lagi. Kesibukan-kesibukan yang makin menenggelamkan gue, niat menulis yang tidak juga muncul, sama otak yang lagi butek-buteknya deh nih biang keroknya. Baru sekarang lagi nih, jari-jari gue secara otomatis ngetik blo, yang langsung otomatis ditebak browser gw. Tepat!

Jadi nih yah, ceritanya gue lagi skripsi nih sekarang. Ceritanya doang nih, gw lagi sibuk banget banget. Mondar-mandir kampus, naik-turun gedung, ngejer-ngejer dosen pembimbing gue yang ceritanya juga baik. Semua itu gue lakukan demi secoretan tanda tangan yang bikin kertas gue tambah berantakan, tapi it means everything, man!

Oke, setelah gue pikir-pikir, kejadian ini gak bakal terulang yah (amit-amit ngulang), jadi gue memutuskan untuk mendokumentasikan semua proses pengerjaan skripsi ini. Semua pahit-manisnya, semua contekannya, semuanya, deh! Semua bakal gue beberin abis-abisan di blog ini. So, yah buat yang minat aja sih, boleh mantengin ini blog, siapa tau bermanfaat. (buat apa?)

Baiklah baiklah, sekarang gue ada di tengah jalan. Gue gak sempet dokumentasiin awal perjalanan gue soalnya ada satu dan lain hal yang menghalangi. Jadi tuh ya, perjalanan skripsi gue diawali dengan semangat penuh, setiap hari nongkrong di ruang skripsi, ngebolak-balik skripsi orang, yang akhirnya bikin gue menikmati semilir angin yang dingin di dalem ruang skripsi, enak lho! Terus, sampe rumah, gue mulai nyari-nyari jurnal ilmiah di internet. Mau bahasa apa aja gue jabanin deh, yang penting gue nemu pencerahan.

Selidik punya selidik, pencerahan itu munculnya cukup cepat. Baru sekitar satu minggu gue jadi antisosial, judul pertama gue udah di depan mata! Yay gak tuh?! Pada saat itu, tingkat kepedean gue udah selangit deh,  padahal belom juga nemu dosen pembimbing, bahkan belom tau juga siapa dosen pembimbingnya!

Ketemu dosen pembimbing bikin gue sadar seketika, ternyata semua euforia yang gue rasain selama ini semu! Gue dijatohin lagi ke bumi setelah beberapa hari melayang-layang di udara dengan judul yang menurut gue keren, tapi hampir gak mungkin dikerjain! Setelah itu, gue mulai lagi dari awal, dengan ekspektasi yang lebih rendah.. Syarat dosen pembimbing juga bikin gue makin engap-engapan, 5 variabel independen!?!!

Mulai, hari-hari gue diisi dengan berkelana ke perpustakaan. Dari perpus kampus sendiri sampai melancong ke perpus kampus tetangga. Semua gue lakukan demi sebaris judul, yang akhirnya ketemu juga setelah beberapa hari bongkar-pasang variabel, dan akhirnya gue dapetin juga coretan tanda tangan dosen pembimbing!

Sekarang gue lagi mulai bab 4, jadi mohon doanya ya teman-teman! Semoga kalian gak nemuin berita naas di koran "Seorang mahasiswa UNTAR ditemukan tewas di antara tumpukan laporan keuangan perusahaan manufaktur"

Ciao!

Sunday, September 9, 2012

Hening.


Aku tidak sanggup untuk terus-terusan tampil dalam setiap mimpimu. Apa gunanya, jika kehadiranku hanya meninggalkan luka di hatimu, dan tentu hatiku juga. Aku ingin pergi sepenuhnya dengan damai. Kepindahanku ke sini untuk beristirahat, bukan malah menjadi bunga tidurmu.
Aku tidak sanggup untuk terus-terusan ada di sampingmu. Ya, aku bahagia telah jatuh ke dalam pelukmu, namun tidak saat ini. Ini saatnya aku bisa berdiri sendiri dan berjalan dengan kedua kakiku sendiri, entah apa yang menungguku di depan.
Aku tidak sanggup untuk terus-terusan menjadi orang yang namanya selalu kau sebut. Apa gunanya, setiap kau sebut namaku, yang tertinggal hanya susutan air mata di pipimu. Aku lelah dengan semuanya. Aku menyesali ketidakadaanku sekarang. Di saat aku seharusnya membelai pipimu lembut, kini untuk membayangkannya pun aku tak sanggup.

Biarlah cukup aku yang merasakannya, kau tak perlu.

*

Sepanjang jalan itu kita terdiam. Radio pun telah kumatikan karena sinyalnya tidak stabil. Kini aku sedikit kecewa, seharusnya kubiarkan saja menyala, siapa tahu suara radio yang ’kresek-kresek’ itu bisa membuka pembicaraan. Aku tahu, kau memandang lekat ke arahku, namun tanpa satu patah kata pun yang kau ucap. Aku juga sesekali melihat ke arahmu, mengabaikan jalan di depan kita berdua yang penuh ketidakpastian.
Jalan tol Cikampek, pukul dua dini hari. Entah apa yang bisa kuharapkan dari kondisi itu. Tiga jalur kosong yang mungkin bisa jadi arena lomba lari, saking sepinya. Lampu penerangan yang tidak semuanya menyala, menyamarkan pandangan semua pengemudi, termasuk aku. Jarak pandang yang hanya sekitar tiga meter ke depan membuatku semakin penasaran dengan apa yang ada di depannya lagi. Lagi dan lagi. Mungkin, semangat itulah yang membuat kami, para pengemudi, mencapai tujuannya.

Kau juga memandang ke depan, menelusuri semua kemungkinan yang menunggu kita di sana. Sesekali, kulihat kau memejamkan matamu sesaat, entah karena kau mengantuk, atau kau mencoba melihat dengan lebih jelas. Mulutmu masih terkatup, namun pandangan matamu tajam, seakan berkata-kata. Aku sudah berpengalaman denganmu selama lima tahun tanpa putus, tentu saja aku bisa menangkap artinya dengan jelas.

Aku tidak bisa bersamamu lagi, pergilah jauh-jauh.

Aku ingin berteriak. Sekeras-kerasnya, sampai pita suaraku putus. Namun, kuurungkan niatku itu. Aku malah menggenggam jemarimu erat, mencoba mentransfer kehangatan yang tersisa. Sempat aku berpikir untuk menyalakan radio yang ’kresek-kresek’ itu, mungkin sedikit gangguan bisa mengusir pikiran itu dari kepalamu.
Perlahan aku teringat, satu kalimat yang pernah kuucapkan padamu dulu. ”Hatiku cuma milikmu.”
Kini aku mulai mempertanyakan diriku sendiri,

Lalu, hatiku untuk siapa?

Perjalanan ini menyakitkanku. Bagaimana kita memulainya, dan kini harus mengakhirinya seperti ini. Baru kali ini, kudengar kau berkata seperti itu. Kukira hati kita menyatu, melekat kuat tanpa ada yang bisa memisahkannya.
Ketika aku tersadar, jawaban atas pertanyaanku tadi perlahan-lahan menunjukkan bentuknya. Aku mencoba berlari dari kenyataan yang kiranya telah siap menerkamku bulat-bulat. Kakiku hilang.
Aku berusaha melompati tembok pemisah yang berdiri kokoh di antara kita, di mana aku bisa melihatmu melambai padaku. Wajahmu menunjukkan ketulusan, seakan ini adalah perpisahan termanis kita. Aku mau menggapai batu pertama. Tanganku hilang.

”Kamu di rumah sakit sekarang, tadi pagi kamu kecelakaan. Pacarmu tidak terselamatkan.”

Aku benar-benar teriak.

Friday, August 24, 2012

Silikon


Elena sulit tidur malam itu. Langit-langit putih yang terbentang tepat dua meter di atas tempat tidurnya lebih menarik baginya dibandingkan dengan mimpi-mimpi yang datang menjemputnya. Pikirannya masih belum bisa melupakan kejadian tadi, kejadian paling manis dalam hidupnya. Ia masih ingat jelas, bagaimana Cedric mengucapkan selamat malam sambil membukakan pintu mobil untuknya, bagaimana mereka berpelukan, melepas kepergian satu sama lain.
Elena masih merenung, pelukan tadi terasa kurang berkesan baginya. Cedric terlalu terburu-buru melepaskan diri saat dirinya baru merasa nyaman. Ia mengangkat telepon, raut wajahnya langsung berubah, terpancar kepanikan yang sangat hebat dari kedua matanya. Pasti Magenta. Elena tiba-tiba merasa ngantuk.

Sosok Magenta, yang sama sekali belum pernah dilihatnya, sudah membuat Elena minder duluan. Dari cerita Cedric, Magenta terdengar seperti putri kayangan yang sempurna tanpa cela. Biasanya, setelah mendengar cerita rutin Cedric tentang sosok sempurnanya itu, Elena menjauhi cermin. Ia tidak mau melihat dirinya sendiri. Pun begitu, ia masih belum mau menyerah dengan Cedric.
Elena menemukan sosok sempurnanya dalam diri Cedric. Kesalahan yang disadari sepenuhnya, namun ia tidak kuasa melawan. Elena terus tenggelam dalam pesona Cedric, tanpa peduli keberadaan Magenta, yang sewaktu-waktu bisa mencabut suplai oksigennya, hati Cedric.
*
Matahari sudah tinggi saat Cedric membuka matanya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain mematikan alarm yang sudah berbunyi berulang-ulang. Ia refleks menutupi matanya dari sinar matahari siang yang menerobos masuk dari kaca jendelanya. Sebentar, ia mengecek seseorang yang tidur di sebelahnya, Magenta, yang ternyata masih terlelap. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu melompat buru-buru dari tempat tidur.
Banyak hal yang dicintainya dari Magenta, yang nomor satu adalah kesediaan Magenta untuk mendengarkan semua keluh kesah Cedric, tanpa berusaha menambah kesulitannya dengan ceritanya sendiri. Cedric telah menyerahkan separuh jiwanya pada sesosok yang terbaring manja di tempat tidurnya itu.
*
Lena! Hoi!” teriak Kiara dari kejauhan, ia berusaha mendapatkan perhatian dari sahabatnya yang sedang berjalan seperti tanpa arah itu, tatapannya kosong.
“Hei, Ra.” Jawab Elena lemah. Hari itu, ia seperti dirundung duka yang amat dalam.
“Ada apa, Len? Si Chicco mati?” tanya Kiara asal, sambil pikirannya terus menerka-nerka, setan apa yang menjerat keceriaan sahabatnya ini.
“Nggak, Ra. Masih sehat kok, si Chicco. Makannya banyak banget.” Suaranya masih datar.
”Terus lo kenapa? Cerita-cerita kali ke sahabat lo ini, yang kebetulan masih punya kuping!” Kiara belum juga menyerah.
Selanjutnya, pertemuan mereka menjadi sepenuhnya berbeda dibanding pertemuan-pertemuan mereka biasanya. Kedua sahabat karib yang selalu melempar ejekan ke satu sama lain, kini bertukar air mata. Tentu saja, Elena lebih deras. Kini Kiara tahu penyebabnya, dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan senyum sahabatnya itu.
*
Pada pertemuan mereka sebelumnya, semua berjalan sangat baik. Malam ini, Elena ingin mencoba hal baru, yang siapa tahu bisa semakin mendekatkan Cedric dengan dirinya.
Elena tiba di apartemen Cedric tepat pukul tujuh, lebih cepat sejam dari janji. Elena pikir, akan lebih baik jika ia datang lebih awal dan membantu Cedric menyiapkan makan malam, sesuatu yang dijanjikannya sejak lama. Ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Ia mencoba memutar kenop pintu yang dikiranya terkunci, ternyata tidak.
Terdengar suara deburan air dari dalam kamar, Cedric sedang mandi rupanya. Pikiran jahilnya muncul untuk mengagetkan Cedric sekeluarnya ia dari kamar. Elena berkeliling untuk mencari tempat persembunyian terbaik, saat tiba-tiba langkahnya terhenti. Mulutnya langsung menganga lebar, diikuti dengan suara ”wow” panjang. Ia mengurungkan niat awalnya dan lebih tertarik dengan sesuatu yang baru saja ditemukannya.

”Elena, sejak kapan...” Cedric yang baru keluar dari kamarnya spontan bertanya, pertanyaan yang tidak sempat ia selesaikan ketika melihat apa yang terjadi di apartemennya.
”Ini beli dimana, Dric? Bagus banget! Persis aslinya ya..” Elena mulai menembakkan peluru berisi pertanyaan yang telah disiapkannya dari tadi. Tentu saja ditambah kekaguman yang jelas tergambar di wajahnya.
“Hmm.. Ini.., ini..” Cedric langsung terbata, tidak siap untuk menjawab Elena yang membombardirnya dengan pertanyaan yang seakan tidak akan pernah bisa terjawab.
“Ah, kita makan malam yuk! Lapar nih!” Elena yang tampak tidak sabar menyelamatkan Cedric dari kesengsaraannya.

Makan malam berjalan sempurna bagi mereka berdua, setidaknya itu yang dipikirkan Elena. Dua porsi ketoprak yang mereka pesan dari Bang Roni sudah cukup memenuhi janji Cedric. Memang tidak ada makan malam mewah seperti yang dibayangkan Elena sebelum berangkat, namun semua yang terjadi malam ini sudah cukup baginya, ia tidak akan meminta lebih lagi.
”Elena, pertanyaanmu tadi, yang belum terjawab, aku ingin menjawabnya.” Cedric membuka pembicaraan dengan hati-hati.
”Hmm, yang mana? Boneka itu?” jawab Elena, santai.
”Iya. Itu Magenta.” jawab Cedric sambil memandang ke kekasihnya yang masih duduk tenang di sofa.
”Hah? Kamu lucu banget, Dric. Tapi, dia cantik lho.”
Cedric terdiam sebentar. ”Serius, Len.” Lalu ia mulai menjelaskan, entah dari mana dimulainya.
Kali ini, Elena terbahak keras, sambil tangannya mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. Perbuatan yang nantinya akan ia sesali seumur hidupnya. Cedric masih tajam menatap matanya, sesuatu yang baru disadari Elena setelah sekitar dua menit berada di pucuk kebahagiaannya. Elena langsung membuang tawanya jauh-jauh.
”Len, sudah malam, kamu pulang, ya.” Cedric berkata-kata tanpa ekspresi.
“Hmm.. Chicco belum dikasih makan. Aku pulang ya. Good night!“ Jawab Elena sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan mulut, menahan tawa.
*
Cedric tidak menyesali keputusannya semalam. Ia tidak perlu menyesalinya, ia melakukan tindakan yang tepat, pikirnya. Harinya pun dimulai seperti biasa, bangun tidur saat matahari sudah tinggi, mengecup selamat pagi Magenta yang masih terlelap, lalu memulai aktivitasnya. Ia sepertinya cukup bahagia.

”Dric, lo gila ya?” tembak Kiara saat kebetulan ia menemuinya di jalan. Ia sudah tahu semuanya, semalam Elena menumpahkan semua padanya. Itulah gunanya sahabat.
”Kenapa, Ra? Gue biasa aja kok. Hidup gue sendiri, jangan ikut campur lah.” Cedric menjawabnya dengan sinis, ia berhak untuk itu.
Kiara mulai melunak. Ia sadar, pendekatannya salah. ”Dric, gue udah kenal lo dari lama, kita udah sering cerita-cerita. Kalo ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue kok.” Kiara memulainya lagi, kini lebih lembut.
”Gue udah capek, Ra. Sekarang gue merasa bebas, gak ada lagi yang nyuruh-nyuruh gue,” Cedric memulai ceritanya, nafasnya mulai berat. ”Magenta bisa jadi pendengar yang baik, tanpa nambah-nambahin masalah gue seperti yang udah-udah. Gue cuma perlu pendengar, Ra!”
”Oh, jadi lo masih belum bisa move on?” timpal Kiara, sambil menunjukkan foto seseorang yang mirip sekali dengan Magenta. Ialah Magenta yang sesungguhnya, benar-benar ada.
”Udah lah, Ra. Biarin gue seperti sekarang aja, gak merugikan siapa pun, kan?” Cedric menjawab sambil tertunduk lesu.
*
Beberapa hari dihabiskan Kiara bersama Cedric. Kiara merasa perlu mengembalikan temannya itu ke jalan yang benar, ditambah lagi, ia bisa menyelamatkan Elena sekaligus.
Empat hari yang menyedihkan bagi Cedric akhirnya berakhir. Ia telah mengambil keputusan. Bersama Kiara, ia menggantungkan Magenta palsu di dinding, mengikatnya erat-erat, lalu mereka mundur tiga langkah, mengambil pisau dapur yang telah siap di meja.
”Siap, Dric?” tanya Kiara hati-hati.
Cedric menganggukkan kepala, air mata masih mengaliri deras pipinya.
Mereka maju tiga langkah, lalu mulai menggoreskan pisau di tangan masing-masing ke kulit silikon Magenta. Tangan Cedric seperti kaku, perlu Kiara di sampingnya untuk membantunya menggoreskan pisau.
Prosesi ’pembantaian’ itu akhirnya selesai, berbarengan dengan air mata Cedric yang berhenti mengalir. Cedric mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, menandakan ketegaran yang telah memenuhi pikirannya, dan ia siap untuk mencoba lagi.

Ponselnya berdering, nomor yang tidak ia kenali terpampang di layar.
”Halo. Ini siapa, ya?” tanyanya cepat, sambil tangannya masih memainkan pisau dapur yang tadi baru mencabut nyawa ’seseorang’.
”Magenta. Kita perlu bicara, Dric.” Suara di ujung telepon seketika menggema berulang-ulang di kepala Cedric, membuatnya jatuh tertunduk. Kali ini dengan pisau dapur yang masih siap sedia di tangannya, ia telah mencabut satu nyawa lagi.
“Dric, dric! Cedric!” Suara di telepon mulai memenuhi seisi ruangan, tanpa ada jawaban.

***

Saturday, July 21, 2012

The Right Time


Apa rasanya punya pandangan yang tak berbatas? Aku punya sekarang. Duduk di hamparan pantai menghadap ke laut memberikanku kebebasan luar biasa. Bagaikan keluar dari dirimu sendiri, lalu beterbangan tanpa batas ke manapun kita mau. Aku bisa duduk berjam-jam di sana, dengan mata yang terus menatap lurus.

Malam ini aku menabrak dinding, kemudian pecah berkeping-keping, dan seketika aku memudar di udara. Kesadaranku kembali. Kamu ada di sana. Kamulah dinding itu. Dinding pembatas paling cantik yang pernah kuhadapi, dinding yang bisa membuatku menyerah bertekuk lutut untuk bisa merubuhkannya, dinding yang membuatku rela terkurung di baliknya, tidak bergerak ke mana-mana, tapi aku senang.

”Lagi apa sendirian malam-malam?” tanyamu lembut saat aku menolehkan wajahku, kaget. Lidahku kelu. Dari pancaran sinar matamu, kulihat dinding itu mulai runtuh, ia meruntuhkan dirinya sendiri, dan aku mulai bisa melihat apa yang ada di baliknya. Kita berdua.

Semalaman itu, kita berangkulan di hamparan pantai itu. Tidak, kita tidak sekali pun saling berpandangan. Malam itu sungguh menakjubkan, bintang-bintang bertaburan layaknya jerawat, membuatku memikirkan sesuatu, sesuatu yang akan benar-benar meruntuhkan dinding pembatas di antara kita.

Waktunya benar-benar tepat saat itu, saat kupalingkan wajahku ke arahmu. Kita sangat dekat. Aku memejamkan mata, begitupun kamu. Kita berdua mendekat, seiring kudengar suara tabuhan drum bertalu-talu mengiringi gerakanku saat itu. Sedikit lagi sampai, dan kamu tiba-tiba mundur, membuyarkan drumband lengkap yang mengiringi saat itu. ”Waktunya belum tepat.” Katamu singkat, sambil berlalu. Aku sendiri lagi, siap kembali terbang.

Esok paginya, kamu berada tepat di sebelahku saat kubuka mata pertama kali. ”Selamat pagi.” katamu, sambil mengusap-usap rambutku yang berantakan. Lalu kamu melompat pergi.

Bukan cara mengawali hari yang baik, kurasa. Dugaanku tepat, seharian itu kuhabisi dengan hanya merenung, di saat kamu terlihat sangat menikmati hari. Apa yang salah denganku? Hatiku bukan lembaran trampolin yang bisa dengan mudah dilompati berkali-kali. Aku lebih mengenali diriku sebagai selembar karpet bulu domba, yang bisa membuatmu betah berlama-lama dengannya. Hari itu lewat begitu saja, sampai malam tiba.

Malam ini, aku kembali melayang-layang di udara, mencari pencerahan yang mungkin akan datang dari atas. Biarkan aku yang jemput pencerahan itu, tapi ia tidak datang juga. Aku tidak banyak melayang malam ini. Aku duduk menumpukan dagu pada lutut sambil berpikir, panjang sekali. Apakah ada maksudnya, semua ini? Dan, aku tidak mendapat jawabnya. Setidaknya aku belajar satu hal malam ini, expecting sucks.

Tidak, aku tidak akan pernah bisa menahanmu di sini. Kamu datang dan pergi, dan aku harus membiasakan diri dengan itu. Beradaptasi dengan keadaan, bukankah itu esensi hidup yang terpenting? Apa yang kita lihat tidak sama, dan takkan pernah sama. Biarlah seperti itu adanya. Aku percaya adanya keajaiban, meski tidak datang saat ini.

Thursday, June 21, 2012

....


Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada hujan di malam minggu. Bukan hujan biasa, badai yang menerpa dan merubuhkan semua rencana brilian yang telah kususun sejak minggu lalu. Hujan yang kini meninggalkanku duduk sendirian terpaku memandangi layar komputer. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, Facebook jadi pelampiasanku malam ini.
Wah, new friend request. Lumayan, pikirku. Thumbnail foto profilnya menggodaku untuk lebih dari sekedar menekan tombol accept, dan malah masuk ke profile page-nya. Dalam sepersekian detik proses ke sana, sejuta harapan mulai bertunas di hatiku. Sedetik setelahnya, hatiku seketika lebat dipenuhi tunas-tunas yang langsung berubah jadi pohon besar seakan-akan sudah ratusan tahun.
Dimensi waktuku sekejap berhenti. Dengan tatapan yang kini menembus layar komputer, kukagumi dirinya dengan segenap tenaga yang kupunya saat itu. Buset, ganteng amat!
Tidak perlu dua detik untukku memikirkan langkah selanjutnya. Kutelusuri mutual friends, dan kutemukan nama yang sangat familiar di sana. Valerie Sulistio.

“Val, kemarin gue di-add sama Alberto Arnaldo di FB. Lo ada di mutual friends, kenal gak?” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi saat kutemui Val di kampus.
“Oh, itu ‘mah temen sekelas gue! Napa, Kay? Demen lo?” jawabnya santai.
”Kenalin gue, Val. Cepet!”
”Yakin, lo? Dia ganteng banget sih, tapi dia......,” Val mulai nyerocos tanpa arah, “tapi orangnya baik, sih.”
Penutup yang baik. “Oke, besok ya.” Jawabku seraya ngeloyor masuk kelas.

(dua hari kemudian..)

Aku terdiam terpaku di tempatku duduk. Memandanginya dari jauh saja sudah membuatku kaku, bagaimana selanjutnya nanti, ya? Seiring derap langkahnya yang semakin cepat, detak jantungku juga seakan berlomba-lomba.
“Hai, Albert.“ Katanya sambil menyodorkan tangannya ke arahku. Mampus!
”Kayla. Salam kenal, ya.” Tidak habis pikir, bagaimana kalimat terakhir itu bisa meluncur dari mulutku.
Ia tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahku. Bahagia itu sederhana.
Aku mengerling ke Val, yang dibalasnya dengan senyum masam yang tampaknya dipaksakan.

(dua minggu kemudian..)

Hanya perlu dua minggu, untukku mendapatkannya. Ups, atau ia mendapatkanku. Sudah, tidak peduli. Semua judgement yang pernah ditembakkan Val pada Albert tidak ada yang masuk akal. He’s too sweet to be judged. Dua minggu kemarin jadi hari-hari paling bahagia dalam hidupku sampai saat ini. Senyum yang biasanya terus-terusan pergi dari bibirku, kini betah diam di sana seharian.
Aku mulai merasa, inilah jalan kami berdua. Jalan terbaik. Aku selalu percaya, siapa yang sabar menunggu, tidak pernah akan dikecewakan. Dalam kasus ini, aku memang sering menunggu. Menunggunya selesai kelas untuk kemudian pulang bareng, menunggunya makan di kantin dengan senyum yang masih mengembang. Aku sang penunggu sejati.

(lima bulan penantian kemudian..)

Waktu memang punya caranya sendiri. Ia berjalan pelan di saat-saat bahagia, dan di kala kebahagiaan itu pergi, ia bergulir cepat hingga aku tidak bisa mengejarnya lagi. Penantian-penantian itu, yang awalnya kukira akan berbuah manis, kini mulai menunjukkan wajah aslinya. Seperti perjalanan menempuh labirin berliku mencari secercah cahaya di ujungnya, yang kutemukan malah api yang membakar semua yang tiba di ujungnya.
Aku mulai mempertanyakan keyakinanku sendiri, tembok-tembok megah yang telah kubangun bertahun-tahun kini seketika rubuh. Semua pikiran positif yang kukira bisa membantu, kini kupersilakan pergi, dan mengundang lagi skeptisme yang dulu kutendang jauh-jauh.
Dua minggu sudah ia hilang tanpa kabar, setiap kutelepon ponselnya, nada sambunglah yang selalu muncul. Di dalam setiap SMS yang kukirimkan, pasti kusisipkan segenggam cinta yang kupunya. Kini habislah sudah, tak terbalas.
Aku percaya penuh, kita semua hidup dalam rimba ketidakpastian. Dimensi ruang dan dimensi waktu yang tidak pernah bisa berjalan bersamaan, yang membawa kita kepada konsep ’kebetulan’, atau ’mukjizat’, yang mungkin terdengar religius. Aku tidak pernah percaya adanya kebetulan. Bagiku, ’kebetulan’ yang mereka bicarakan itu hanyalah kebaikan semesta pada mereka-mereka yang sudah berusaha terlalu keras untuk mencapai apa yang sebenarnya bukan untuknya. Semesta memberinya satu kesempatan, hanya untuk membuatnya sadar dan berpikir ulang.
Ketidakpastian juga membawa kita untuk tidak lagi percaya adanya keabadian. Semua yang kita miliki sekarang, hanyalah sesuatu yang berada di antara ’halo’ dan ’sampai jumpa’. Tinggal waktu yang menentukan.

Kini, sampailah aku pada kesadaran penuh yang berhasil kuraih kembali setelah lama terbuai dalam kebahagiaan semu penuh harap. Tidak ada kebetulan dari awal kami bertemu, yang ada hanyalah ketidakpastian yang tidak kusadari.
Kuambil ponselku untuk mengiriminya satu SMS terakhir padanya, saat aku teringat ada satu tempat lagi yang belum kuperiksa. Facebook. Aku meluncur cepat menuju ke profile page-nya, mungkin untuk mencari pembenaran, atau alasan yang bisa membawaku kembali. Tapi nihil.
”Bert, you’re perfect in every way, just not for me. Kita udahan, ya.” Sent
Tepat setelah pesan terakhirku terkirim, mataku berhenti di salah satu line di homepage Facebook.
“Alberto Arnaldo is now in a relationship with Valerie Sulistio”
Tidak ada kebetulan, tidak ada kebetulan, batinku, sambil mengurut dada.

Friday, June 1, 2012

Grey Area


Menunggumu di sini seperti menguapkan waktuku. Tidak ada yang tahu kapan kamu akan muncul, apakah tiba-tiba atau dengan pemberitahuan, apakah sebentar, atau bahkan kita akan duduk berjam-jam ditemani kopi yang menguap lebih cepat dari waktuku ini.
Kamu tahu, aku ingin sekali menghirup kopi yang sedari tadi terus kupandangi. Buihnya yang menghilang perlahan membuka ruang hitam yang memberiku waktu sebentar untuk memandangi wajahku sendiri di sana. Pandanganku dibuyarkan uap yang membubung ke atas, menghantarkan wangi pahit getir yang sangat kurindukan, seperti kehadiranmu di depanku saat ini. Andai saja.
Dari aromanya, aku bisa tahu, apa yang benar-benar kuhadapi saat ini. Pahit yang menyadarkanku dari segala ilusi optik yang selama ini berparade di depan mataku. Parade yang terus kuagung-agungkan sampai esensinya hilang. Ilusi yang menghantui sampai gambarnya kabur. Kini aku terperangkap dalam keabu-abuan, tanpa kepastian.
Andai bisa, aku ingin sekali melompat keluar dari kungkungan yang hitam bukan, putih pun bukan ini. Dan aku yakin, secangkir kopilah kunci yang bisa membukakan pintu keluarku. Atau, segelas susu yang baru saja kupesan. Hitam atau putih?
Lihat, bagaimana bisa aku keluar dari sini, kalau hitam atau putih pun membingungkan. Si abu-abu tampaknya sudah menancapkan kukunya terlalu dalam, menjauhkanku dari kebenaran dan mendekatkanku pada probabilitas. Sesuatu yang sangat sulit diterka. If someone says, curiosity kills the cat, I would say, probability kills the cat.
Tanpa pikir panjang lagi, atau tepatnya pita yang memuat semua pikiranku hampir habis, kutuangkan gelas yang berisi susu ke dalam gelas kopi. Aku sudah pasrah. Apabila hidupku memang ditakdirkan abu-abu, mungkin ini semacam perayaan yang harus kulakukan. Aku terlonjak dari posisiku semula. Albert Munsell punya cara sendiri untuk mendefinisikan warna, begitu pun aku. Hitam ditambah putih bisa kuyakini hasilnya bukan abu-abu, malah cokelat kekuningan. Detik itu juga, aku terbebas dari jeratan warna yang selama ini membohongiku.
Kusadari kedatanganmu dari bel pintu yang berbunyi saat kamu melangkah masuk. Aku, yang sudah di sini berjam-jam menunggu, akhirnya bisa bekerjasama dengan aku yang sudah menemukan terang dalam jalannya. Aku berjalan memutar, keluar tanpa bisa kamu sadari. Kehilangan yang mengagetkan, bukan?

Monday, May 21, 2012

Hopes, Dreams, and Reality.

We all believe that there are certain connections between people, a thread connects every individuals. Thread that can't be cut off, it may be tangled, but it will always find its way, eventually. The invisible thread connects us with people we know, or even we don't. It's fortunate to have someone you know at the end of your thread, but for some people, they don't see anything at the end, or even they can't see if there's a thread that connects.

Hopes are absolutely positive. They make you grow up and see what's next. I can say, hopes are something similar to a binocular, a special one, something that makes you decide what to see next. Hopes are sometimes blurring. Anything that we planned to see, suddenly disappear. What to blame? Hope? No. Blame yourself for extending your hope too far. If you see, everything has boundaries. Nothing too much is better. If you seek for your thread, you better hope, but keep your feet on the ground.

Well, for you who still haven't found what you're looking for, your thread I mean. Let's move on to second step, the deeper one. Dreaming. In terms of walking, dreams take us to step our feet on an empty space, and lets us walk along happily. The waking up? It's the hardest part. You will get the fall and also the sadness for stand alone going nowhere. If you ever heard, "Living the Dream", it's absolutely a fool. Dreaming needs you to sleep, while living needs a total focus. Continue to seek your thread? Stop dreaming, and let's move on to the third variable.

Reality. Well, I don't have much to say about it. It's all that we live in right now, unless you are sleepwalkers, or a zombie. In reality, you will take off all your binocular, shadow-slippers, and everything dreamy and start walking aimfully towards anything you intend to go. I don't say it's an easy way. Surely, you will find something unpleasant along your way, and it's all coming back to you whether you continue walking or you stop. Something good doesn't come for free.

In the end of our journey here, I don't guarantee you to find the person, or the thread right away. As far as I know, trying is more worthwhile than dreaming, or hoping.

Cheerio!

Sunday, May 13, 2012

Hujan Pukul Delapan.


“7:53”
Karel segera menutup laptop-nya setelah menyadari waktu tidak lagi bersahabat. Dibereskannya semua berkas-berkas yang berserakan di mejanya, dihabiskannya sisa kopi yang masih harap-harap cemas menunggu diteguk. Ia siap sekarang.
Guys, duluan ya!” ujarnya singkat sambil melambai ke segala penjuru ruangan. Ia tidak dapat balasan apa-apa, hanya suara berdehem pelan yang bisa ia dengar sayup-sayup. Ia tidak perlu balasan, ia butuh waktu lebih sekarang.
Tidak ada yang bisa menahannya untuk pulang lewat jam delapan. Sudah ritualnya sejak dua bulan lalu yang tidak boleh diganggu siapapun, bahkan bosnya sendiri. Karel selalu punya alasan tepat, ia menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Bosnya tidak punya alasan apa-apa lagi.

“7:58”
Tepat lima menit waktu yang ia butuhkan untuk dapat mencapai halte bus. Skema waktu yang sudah dilatihnya setiap hari membuatnya semakin presisi dari hari ke hari. Ia bisa memperhitungkan waktu per langkahnya dikali dua ratus lima puluh tiga langkah sama dengan lima menit nol detik.
Biasanya, selepas senyumnya mengembang setelah memeriksa catatan waktunya yang membaik, Karel langsung gugup. Terlalu cepat senyum itu sirna dari bibirnya dan berganti menjadi senyum kecut tak mampu. Dan itulah yang terjadi hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sosoknya selalu bisa mempesona Karel. Gesturnya menghipnotis. Kedipan matanya yang terjadi setiap delapan detik membuat jantungnya berdetak delapan puluh kali delapan lebih cepat. Semua tentangnya adalah sempurna, kira-kira begitu maksud Karel dalam hatinya.
Seperti hari-hari yang telah lewat, Karel hanya bisa memandanginya bisu. Tidak ada patah kata yang keluar dari mulutnya, setidaknya hingga sosok itu menghilang masuk ke dalam bus. Sayang sekali mereka mengambil jurusan yang berbeda, Karel ke barat dan sesosok sempurna itu ke selatan. Sesuatu yang bukannya disesali, namun malah disyukurinya. Karel tidak bisa membayangkan sebanyak apa liur yang akan menetes apabila mereka satu jurusan.

”Halo, Ra.” Karel menyapa di ujung telepon.
Suara di seberang menjawab malas, tapi tetap dipaksakan, ”Halo, Rel.”
”Tadi gue liat doi lagi, Ra. Makin cantik aja, tuh!” Karel mulai khotbah malamnya. Sementara Fara mulai mencari-cari sesuatu untuk ia mainkan sambil memejamkan mata mendengarkan wejangan. Ia sudah muak dengan semua keluh-kesah Karel di teleponnya yang tidak pernah absen setiap malam. Mungkin sesekali absen saat mereka terjebak lembur di kantor.
“Udah berapa bulan, sih, Rel?” Fara merasa perlu menyatakan sesuatu kali ini, ”Dua bulan, enam bulan, apa dua tahun? Kok gue ngerasanya udah lima tahun, ya?”
”Besok, dua bulan lima hari.” Karel tidak sempat mencerna sarkasme yang dilontarkan sahabatnya itu. Pikirannya terlalu penuh dengan bayang-bayang sosok indah nan cantik itu, tidak ada lagi ruang untuk sentilan-sentilan iseng Fara.
Fara, di seberang telepon hanya bisa mendesah pelan. ”Ajak ngobrol dong.”
Sepertinya sebuah kesalahan besar telah dibuat Fara, ia harus terjebak satu jam lagi untuk menampung omelan dan curhatan Karel. Ia masih terpejam.

”7:52:55”
Karel sudah siap berangkat. Semua barang-barangnya sudah siap seperti biasa. Di hatinya masih belum ada perubahan. Ia masih merasa cukup dengan hanya melihat dan mengaguminya sekian menit saja. Sekian menit yang bahkan tidak bisa dicatat oleh seorang Karel Si Penguasa Waktu, begitu teman-teman memanggilnya.
”Rel, gue ikut lo pulang!” Fara seketika muncul di hadapan Karel tanpa bisa ia sadari dari mana ia datang. Fara pun sudah siap berangkat. Dengan tas kerja bergantung di kedua bahunya, ia siap menentang malam. Lembur di rumah.
Bukan Fara namanya kalau tidak penasaran. Ia sudah bisa menggambarkan sesosok yang katanya cantik itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Semua deskripsi mendetil yang diwartakan Karel setiap malam sudah cukup baginya. Sekarang, ia ingin mencocokkan hasil sketsa dengan aslinya.
”Cantik, Rel!” hanya kata-kata itulah yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia mungkin jadi terhipnotis juga olehnya. Tapi, pertahanan Fara jauh lebih kuat, tiga tahun hubungannya dengan Abella jadi palang pintu yang kokoh baginya.
Well, I told you.” jawab Karel bangga. Entah apa yang ia banggakan.
You should talk to her!Fara tidak kalah beringas. Ia siap menyerobot. Tunggu, ada Abella.

Esoknya, semua orang di kantor sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tidak, bukannya kami semua mau menari payung, tapi ramalan cuaca mengatakan akan hujan besar hari ini. Hanya Karel yang tidak siap sama sekali. Persiapannya biasa, seperti hari biasanya. Karel tidak pernah percaya ramalan cuaca, meskipun ia berkali-kali dikecewakan keyakinannya sendiri.
”Selamat pagi, Karel! Pagi yang cerah, ya?” Fara lagi-lagi menampakkan diri tanpa tanda-tanda. Karel lagi-lagi tersentak.
”Iya, hari yang cerah, ya!” balasnya sambil melihat ke luar jendela. Mendung berat.
Fara langsung meletakkan tasnya persis di sebelah tas Karel. Meja mereka bersebelahan. Berkah bagi Karel, petaka bagi Fara. ”Eh, lo pakai tas ini juga?”
”Gue gak ada tas lain yang muat,” jawab Karel sekenanya. ”Jangan ketuker, lho.”

”7:55”
Karel terlambat dua menit dari target awal. Dua menit yang digunakannya baik-baik untuk berpikir apakah sebaiknya pulang sekarang, atau nanti saja setelah hujan reda. Dua menit yang sia-sia, karena ia sudah tahu jawabnya.
Segeralah ia membereskan barang-barangnya, mengambil tas di bawah kakinya, memasukkan kertas-kertas ke dalamnya tanpa melihat, dan menutupnya kasar. Ia tidak pamitan dulu, terlalu lama.

”8:00”
Karel sampai di halte setelah membelah jalanan basah dengan kakinya. Untung masih tepat pukul delapan. Matanya langsung memutari halte yang penuh sesak orang-orang yang kebanyakan hanya butuh tempat teduh. Tidak ada.
Karel sudah merelakannya. Sehari tidak bertemu sosok pujaannya tidak akan berarti apa-apa baginya, yang sedetik kemudian langsung disangkalnya kembali. Ia harus bertemu, tidak peduli bagaimana caranya.
Suatu objek bergerak yang menarik perhatian Karel. Wajahnya tertutup tas tangan mahal yang harus berkorban demi keselamatan pemiliknya. Sekilas, Karel mengenalinya. Itulah sosok bidadari yang ia cari-cari dari tadi. Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya dan menelepon Fara untuk menceritakan pemandangan indah yang baru dilihatnya.
Damn!” Karel mengumpat pelan. Tasnya tertukar dengan Fara.
Matanya terhenti pada suatu benda di dalam tas Fara. Payung. Tanpa pikir panjang lagi, langsung diambilnya payung itu, dan kemudian berlari menghampiri sosok bidadari yang diidam-idamkannya sejak lama. Inilah saatnya.
Hey, I’m Karel.
Sesosok itu tersenyum. Manis sekali. ”I’m Gail.
Itulah saat di mana hujan benar-benar membeku di atas mereka.
Akhirnya, sosok itu punya nama.

Friday, May 4, 2012

Blind Date


Siang itu terik. Rio masih duduk tercenung memandangi jalan raya yang penuh lalu-lalang kendaraan. Dua cangkir kopinya tandas sudah, dan ia sedang menunggu yang ketiga. Sekuntum bunga persis di depannya mulai layu, lelah menunggu.
*
Wanita itu sibuk sekali dengan ponselnya. Matanya yang terpaku lurus ke layar, dan mimik serius yang tidak bisa disembunyikannya melompat ke luar. Langkahnya cepat, secepat detik arlojinya dan detak jantungnya.

“Hans,” ujarnya setengah bertanya kepada seorang pria yang ditebaknya. “Hei, I’m Emil.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Sori, salah orang.” Jawab pria itu, tidak niat.
“Oh, maaf.”

Emil kembali sibuk dengan ponselnya. Beberapa panggilan dilakukannya, dan semua berakhir dengan kemasaman di wajahnya. Ia meletakkan ponselnya.
Are you serious?” tanyanya lagi pada pria yang sama. Pria itu masih di sana, tetap pada posisinya semula, dengan banyak cangkir kosong di mejanya.
Pria itu mendongak, dan dengan malas ia mengangguk. “Iya,” hingga keluarlah dua patah kata yang memulai semuanya, “Ada apa?”
Emil tanpa malu-malu langsung mengambil tempat di sebelah pria itu. “Jangan ketawa, ya,” ia melanjutkan, “Aku sudah di sini dua jam menunggu orang yang bahkan tidak kukenal.”
“Hans?”
Emil hanya bisa mengangguk.
“Sudah coba telepon?”
No signal.
Pria itu menyodorkan ponselnya, “Coba punyaku.”
Emil menggeleng. “I’m over it,” ia mendesah pelan, “Inilah mengapa blind date harus diharamkan,” suaranya mulai meninggi, “Orang sinting mana yang mau menunggu seseorang yang belum dikenalnya sampai dua jam?!”
“Tepat di depanmu.”
*
“Sudah ratusan kali kuhubungi, tetap tidak ada jawaban. Hope she’s alright.” Rio mengangkat mukanya kembali setelah panggilan gagal ke-145.
Get over it.” Emil memuntahkan semua rasa kesalnya terhadap konsep aneh bernama blind date.
“Hei!” Rio cepat-cepat memotongnya, terlambat.
What’s your name?
Rio.”
“Oke, Rio. Here’s what happen, kamu menunggu di sini seharian, dengan rasa deg-degan yang terpancar dari muka anehmu itu. Kamu tidak menyadari siapa saja orang-orang yang lewat sini. Sebenarnya, ia sudah lewat sekali, lalu pergi la..”
“Hei!” kali ini Rio sukses memotongnya. Tapi semua intinya sudah terjelaskan sempurna. “You’re stupid.
Emil terkekeh.

So, how about you?Rio balas bertanya, “Sama saja?” Ia mencoba menggunakan semua misil sarkastiknya sekarang.
Emil dengan santai hanya mengangkat bahu.
”Pasti ada alasan di balik semua ini, contohnya kamu,” Rio menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput cangkir keempatnya, ”Priamu sedang berjalan ke sini, ia berhenti sebentar untuk membelikanmu bunga. Saat ia kembali, ia kaget tiba-tiba mobilnya hilang. Ia lalu pergi ke halte, dan terjebak di sana.” Rio meletakkan cangkirnya dengan bangga, tanda ia selesai berbicara.
Hmm, not bad.” Emil berdehem. “Tapi, apa yang berbeda?”
Rio tercenung.
“Kita masih bisa membuat ini berhasil.” Emil berkata mantap.
“Caranya?”
*
“Apa-apaan nih?” Rio bertanya bingung.
This is what a blind date should be,” Emil tersenyum, “Masuk.”

Sunday, April 15, 2012

The Depth of Your Heart. #OneCenturyTitanicSpecials


Matanya kini tertuju pada lemari kayu usang tepat di depannya. Pikirannya melayang-layang entah sampai mana, apakah ia akan dimarahi granny karena melanggar aturannya, atau apakah ia akan menemukan sesuatu yang bakal menghantui malamnya nanti. Joseph menggeleng, ia melangkahkan kakinya dengan berani sambil memainkan satu anak kunci yang sudah berkarat di tangannya, tangan satunya disilangkan. Ia takut sekali.
“Klik.” Sebentuk suara yang ia dengar sangat jelas itu mengobati semua rasa penasarannya selama ini. Langsung ditariknya pelan pintu lemari itu, berjaga-jaga supaya granny tidak mendengarnya. Decitan yang mirip tikus ketakutan terdengar saat pintu lemari itu terbuka di hadapannya. Joseph menganga tidak percaya atas apa yang dilihatnya.
Setumpuk buku-buku tebal yang sudah menguning menyambutnya dengan aroma yang khas. Joseph terbatuk sebentar. Tapi, yang paling mengagetkannya, ia mendapati satu radio tua yang selama ini hanya dilihatnya di lukisan yang disimpan granny. Radio tua itu sudah menghiasi malam-malam Joseph selama lebih dari lima tahun, sejak ia ngotot minta dibacakan dongeng sebelum tidur. Radio yang kata granny bisa merekam suara hati pemiliknya dan menyampaikannya ke tujuan, Radio yang bisa menyala saat malam menemani granny saat masih remaja dulu, dan banyak cerita-cerita lain yang membuatnya seterkejut sekarang setelah menemukannya.

Ia ingat sekali bagaimana mengoperasikan radio itu, berbekal cerita granny yang sangat detil bagaimana menyalakannya, bagaimana mencari salurannya, bagaimana mengatur volumenya, dan masih banyak bagaimana-bagaimana lain yang diingatnya jelas. Diputarnya ke kanan kenop berwarna perak lalu diluruskannya perlahan antena yang sudah bisa ia patahkan hanya dengan satu tangan. Tidak menyala. Joseph menggoyang-goyangkannya perlahan hingga habislah batas kesabarannya. Dibuangnya radio itu ke sudut ruangan sambil menggerutu.
Dibukanya satu-satu buku-buku tua yang bertumpuk itu sambil menutup hidungnya, halaman demi halaman yang kebanyakan didominasi oleh potongan-potongan berita dari koran yang ditempel rapi dibacanya dengan sabar. Judul-judul berita itu tidak jauh dari tragedi Titanic seabad yang lalu. Sulit bagi Joseph untuk dapat mengerti semua yang tertulis di sana, umurnya baru tujuh tahun dan kemampuan membacanya baru sebatas buku cerita anak-anak yang dibelikan granny setiap hari ulang tahunnya.
Buku demi buku, lembar demi lembar yang dilihatnya semakin menenggelamkan Joseph dalam lamunannya tentang masa lalu. Ia kini bisa membayangkan bagaimana kota yang ditinggalinya sekarang, Southampton, dalam rekaman hitam-putih seperti yang ia lihat di lembaran berita itu. Sudah hampir empat jam Joseph berada di sana, seharusnya ini waktunya tidur siang. Kebetulan granny tidak mencarinya dan memaksanya tidur siang, bebaslah ia dari jeratan nap time yang paling dibencinya.

Petualangan menembus waktu membuat Joseph lelah, ia jatuh tertidur sambil memeluk buku dan beralaskan kertas-kertas cetakan lama yang berserakan di lantai. Sekitar setengah jam ia terlelap, tiba-tiba radarnya terkesiap mendengar suara samar-samar dari sudut ruangan. Radio! Joseph langsung melompat bangun dan berlari kearah radio itu, ia mengangkatnya dan menempelkan kotak itu di telinganya.
This is Ernest speaking to Marie,” kata-kata pembukaan yang dapat Joseph dengar dengan jelas. Siapa Ernest? Mengapa ia berbicara dengan granny? Lalu ia lanjut mendengarkan.
Marie….. I’ll be... home for.. our chi..,” Suaranya terputus-putus tertutupi oleh suara-suara lain yang terdengar panik bagi Joseph. “I love you.” Setelah itu, semua terdengar tidak jelas, banyak teriakan minta tolong yang didengar Joseph dari rekaman itu, dan suara tadi mulai hilang dan akhirnya rekaman itu mati.

Pikiran polosnya masih belum bisa mencerna semua yang baru saja didengarnya. Tapi, yang Joseph tahu pasti, selama ini semua yang granny ceritakan adalah kenyataan, ia jadi punya semangat lagi untuk meniru tokoh kebanggaannya itu, tentang seorang pejuang yang benar-benar ada, dan semua kehebatannya yang benar-benar nyata.
“Joeeey! Where are you?granny memanggil-manggil dari bawah. Joseph mendadak kaget dan bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus pura-pura tidur hingga granny tidak memanggil lagi, atau ia akan turun dan menceritakan pengalamannya ini. Cukup lama Joseph duduk terdiam kebingungan.
What are you doing here, Joey?” Tanya granny saat mendapati Joseph dan isi lemari keramatnya berserakan di lantai. Ia langsung menggendong Joseph yang pura-pura tidur dan membawanya turun. Tanpa ia sadari, air mata menitik dari sudut matanya.

Monday, April 9, 2012

Alay Life Cycle.

Okei, karena sesuatu dan lain hal yang cukup bikin gue muak, sekarang mari menulis lagi. Sekarang gue bakal coba praktekin semua sarkasme dan sinisme yang pernah gue pelajarin. Enjoy!

Sering liat kan, anak-anak kampung kecil-kecil gak pake sendal lari-larian di jalanan? Itu mereka ngapain coba? Kadang, nendang-nendangin botol, nongkrong di bawah telepon umum, sama yang paling parah sih, jadi tukang parkir dadakan kalo pas ada acara. Jiwa bisnisnya sudah terasah dari usia dini.
Jadi, menurut penelitian asal-asalan yang gue lakukan, ditambah ngarang, jadilah fase hidup para Alay sebagai berikut,

1. Usia 0-5 tahun : Pada usia segini, biasanya mereka masih baik-baik, lucu-lucu, dan sangat sopan. Pantes aja ya, masih ASI eksklusif sih. Mereka masih dimandiin tiap hari, pagi sore, dibedakin biar wangi, terus jam mainnya dibatesin, dan temen-temen mainnya juga seumuran. Kesimpulannya, usia segini masih bersih dari ke-alayan para seniornya.

2. Usia 5-10 tahun : Usia segini mulai terlihat bibit-bibit potensi yang nantinya akan berkembang menjadi besar. Perhatian orang tua mulai menipis pada usia ini, pergaulan juga semakin luas. Pengaruh dari para senior juga akan semakin signifikan pada rentang usia ini, mereka biasanya mulai mengenal rokok. Praktek perploncoan juga tidak terlewatkan. Dalam kasus perparkiran, biasanya senior-senior akan memanfaatkan anak-anak pada usia segini untuk memenuhi kebutuhannya. Pembagiannya pun sangat adil, yang penting bisa beli permen satu.

3. Usia 10-15 tahun : Usia segini, mereka memasuki alayisme tahap satu. Mereka semakin berapi-api dalam menyampaikan pendapatnya, lebih gencar lagi kalo keroyokan. Mereka mulai merasakan adanya kebutuhan finansial yang lebih tinggi, tentunya untuk membeli ensiklopedia dan buku-buku pintar lainnya, ups, maksudnya rokok. Semua keparahan dimulai di fase ini. Mau apa lagi? You name it.

4. Usia 15-20 tahun : Pada usia segini, mereka terbagi menjadi dua bagian, satu bagian yang beruntung bisa sekolah menengah, gak bisa selamanya SD dong ya? dan yang satunya lagi kurang beruntung. Kita mulai dari yang kurang beruntung, biasanya mereka akan melanjutkan karirnya di dunia perparkiran dan mulai mengencingi batas-batas daerahnya. Anak buahnya pun kini akan semakin banyak, dua generasi. Nah, bagian yang beruntung akan meninggalkan lahan basah ini untuk sekolah. Waktunya tidak akan cukup apabila harus mengurus bisnis sebesar itu ditambah kesibukan sekolah. Namun, yang namanya budaya tidak akan pernah berubah. Sekolah pun tidak akan bisa menahan jiwa rebel yang mereka miliki (kalo mau dianggap keren). Ratusan anjing gila berbaju seragam yang sering kita jumpai di jalan, itulah mereka.

5. Usia >20 tahun : Biasanya, untuk bagian yang kurang beruntung, pada usia segini mereka akan mulai sadar akan tujuan hidup mereka yang sesungguhnya. Tapi karena kebebalannya, tidak banyak yang bisa mereka lakukan, paling jadi kuli bangunan atau tukang ojek, atau profesi padat karya lainnya. Jika pun ada sebagian dari mereka yang sukses, pasti udah masuk koran. Bagian yang beruntung, kalo benar-benar beruntung ya mereka lulus SMA.

Nah, begitu mereka kawin sama pasangannya masing-masing, anaknya nanti pun pasti akan melalui fase yang gue sebutin di atas tadi, kecuali kalo emang bener-bener ada yang dirubah dari kepribadian manusianya. Hmm, tapi gw ragu. Hidup para alay! Teruskan warisan budaya nenek moyangmu sampai kau beranak cucu sebanyak-banyaknya!

*Gue gak akan tulis no offense atau apapun, karena emang jelas-jelas ini ofensif. Jadi kalo yang ga setuju, ya udah tutup aja. Kalo yang setuju, I feel you, man!


Cheerio.

Wednesday, April 4, 2012

Basic Equation.

Mau iseng ngangkat tulisan lama aja nih :)

Jadi gini ceritanya, hampir tiga tahun lalu, pas gue baru awal-awal masuk kuliah akuntansi yang memuakkan ini (baru berapa bulan udah muak) tiba-tiba pikiran iseng gue muncul saat lagi sibuk-sibuknya belajar buat UTS DDA1.

"entah kenapa disaat yang laen pada blajar mati matian sampe mati akun besok,, gua malah kepikiran buat bikin ginian.. gua dah pusing sama semuanya tetek bengek angka jelek jelek itu..!!
udah belajar cukup KERAS tadi, dan hasilnya tentu saja nihil.. yah tinggal berharap saja.. wkwkwk..

nah skrg gw mau menganalogikan basic equation of accounting dengan kehidupan sehari2 aja nih..
hmm.. kita mulai...

ASSETS = LIABILITIES + OWNER'S EQUITY

ASSETS. gua mendeskripsikan asset disini sebagai kemampuan yg kita punya buat terus eksis menjalani hidup yang berat. (tentu saja bukan eksis seperti kalian pikirkan..) yah kemampuan ini akan terus berkembang dan berkembang sejalan bagaimana kita meningkatkannya.. bagaimana kita usaha buat ningkatin kemampuan kita yang bakal jadi aset hidup kita kedepannya.. haha.. okay!

LIABILITIES. disini gua deskripsikan sebagai kewajiban2 dalam hidup kita, tentu sajaa ya seperti kalian tau, kalo hidup cuma menuntut hak terus ga akan maju kitanya.. jadi ini bagaikan gimana kita mengerahkan segala niat dan keinginan kita buat ngelakuin sesuatu yang bikin kita maju dan berkembang terus..

then,

OWNER'S EQUITY. gua jelaskan disini sebagai kuasa TUHAN atas diri kita.. TUHAN selalu membuat yang terbaik buat diri kita.. jadi bisa gua bilang disini.. penyertaan TUHAN amat sangatt besar di diri kita.. dan satu lagi. orang tua kita.. yah gua bahas sedikit material ya, yang udah nyekolahin kita, mendidik kita.. pastinya dengan harapan yang terbaikk dari yang terbaik dong??

sori kalo agak agak goblok ya.. hehehe

FYI, disaat gua ngepost ini, nilai akuntansi gua sudah keluar dan ga jelek2 amat.. jadi..
FILOSOFI GUA SUKSES..!! HAHAHA..
"

Dan untungnya, gue bisa bertahan sampai sekarang, di tahun ketiga. Sekarang lagi belajar buat UTS Audit 2. Doain mudah-mudahan semua lancar ya jadi sebentar lagi bisa lulus dengan baik :)

Cheerio.

Monday, April 2, 2012

Sahabat Hujan. #WAAD Specials


Rambutnya yang kian tipis berkibar dalam terpaan angin mendung. Melihat awan hitam yang menggantung di atas kepalanya siap mengguyurkan semua isinya membuatnya semakin bersinar. Gerakannya tampak semakin lincah, ditambah senyumnya yang semanis embun pagi menyempurnakannya.

Aku, dari dalam rumah hanya bisa terdiam melihatnya begitu. Seluruh energinya tampak membuncah keluar menarikan tarian hujan yang sudah jadi tradisinya bertahun-tahun. Aku merasa gelisah, takut energinya terkuras habis dan menjatuhkannya ke tanah. Kutegakkan sandaran kursi dan mengawasinya dengan lebih seksama. Rian tidak pernah segembira ini.

Wajah seribunya – itu yang sering orang katakan pada anak down syndrome, kini tidak lagi seribu, melainkan satu. Semburat emosi yang menggebu-gebu dalam dirinya secara langsung merubah ekspresi wajahnya. Ia satu dari seribu, bahkan sejuta. Ia milikku.

Kecintaannya pada hujan sudah terlihat sejak umurnya masih tiga tahun. Saat Rian masih belum menunjukkan tanda-tanda keterbelakangannya. Hal itulah satu-satunya alasan yang membuatku tetap tegar menghadapinya. Aku percaya, mencintai hujan adalah kebiasaan yang baik, setidaknya, satu-satunya yang masih dilakukannya hingga sekarang. Mereka juga punya ketetapan hati.

Hujan sudah mulai turun dan semakin deras. Rian tertawa makin riang dan berlari kesana-kemari memutari halaman rumah kami yang luas sambil menyeret truk mainannya. Dalam batinku, mungkin inilah hal terindah yang akan dialami Rian, meski aku pasti akan berusaha sekeras yang kumampu untuk membahagiakannya. Namun untuk saat ini, tidak ada yang salah.

”Brukk.” terdengar suara keras dari halaman saat aku sedang membolak-balik majalah. Spontan aku berlari keluar tanpa melihat terlebih dahulu apa yang terjadi. Rian jatuh tersungkur, dan wajahnya jatuh tepat di atas gundukan tanah basah yang semakin mirip lumpur.
”Rian, tidak apa-apa?” tanyaku khawatir sambil membantunya bangun dan siap dengan handuk kecil yang kuraih dari teras.
”Ngg.” jawabnya sambil menggeleng. Ia berusaha melepaskan rangkulanku yang sudah sangat erat, berbanding lurus dengan tingkat kekhawatiranku.

Aku melepasnya. Ia berlari lagi. Kali ini, ia sempat sejenak memberiku tatapan khasnya, dan dibarengi senyum lebar sambil seolah berkata, ”I’m okay, Mommy!

Sometimes, the best thing one can do when it's raining is to let it rain. – Henry Wadsworth Longfellow

Sunday, April 1, 2012

Di Ujung Pelangi.


“Mengapa hidup ini susah banget?” gerutunya padaku. “Buat apa diciptakan warna-warni kalau hitam-putih sudah cukup? Hidup yang begitu simpel sekarang jadi ribet.” Ia terus nyerocos tanpa memberikanku kesempatan mengunyah makananku. Lalu ia terdiam.

“Tidak ada pelangi dalam hitam-putih.” Jawabku pelan. Aku mendekapnya lembut dari belakang sambil meniupkan kata-kata penenang di telinganya. Ia meronta pelan, minta dilepaskan.

Pelangi sudah jadi bagian hidup kami bersama sejak aku mengajaknya melihat pelangi untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Ia terkesima dengan apa yang ia lihat. Lengkungan sempurna tak terputus, katanya melambangkan perjalanan cinta kami yang tak akan terhenti. Susunan warna-warni yang bertumpuk rapi sudah cukup menjelaskan warna-warni kehidupan yang kami lalui. Aku juga terkesima, bagaimana seseorang yang baru pertama kalinya melihat pelangi bisa punya pandangan semanis itu. Aku, tiga puluh tahun melihat pelangi, hanya bisa bergumam, “Wow, bagus sekali.”

Kami juga percaya, pelangi bisa menyatukan orang-orang yang terpisah jauh, mungkin itu sebabnya diciptakan lagu “The Rainbow Connection”. Selama hampir empat tahun kami terpisah, pelangilah yang menjembatani pertemuan kami. Atau bisa dibilang, pelangilah yang menyelamatkan hubungan kami. Bukan perkara mudah buat dua orang yang saling jatuh cinta harus terpisahkan ruang dan waktu tanpa keyakinan kuat pada sesuatu. Untung, kami punya sesuatu itu.

Hari demi hari, warna-warni pelangi mulai memudar dalam pandangan kami. Tidak pernah lagi ada dialog tentang mengapa warna biru ada di urutan kelima, bukannya pertama, mengapa merah ditaruh paling awal, apakah merah lebih kuat dari biru, dan seterusnya dan seterusnya yang bisa menyita waktu kami sampai berjam-jam. Kini pelangi berubah abu-abu. Tujuh warna cerah telah digantikan spektrum pergantian warna hitam menjadi putih, yang di dalamnya terdapat banyak sekali abu-abu. Ketidakjelasan.

Hingga sampailah kami berdua di sini, mencoba mendefinisikan kembali makna pelangi. Sesuatu yang pernah begitu erat melekat pada kami, kini jadi buram. Satu hal yang paling prinsipil dalam perjalanan kami kini sudah pergi, mencoba berlari bersama awan dan mentari. Kami pun menyerah.

“Selamat jalan, Pelangi, sampai jumpa di hujan berikutnya.”

Saturday, March 31, 2012

#WorldClassWriters with Andrea Hirata at @america.

Tahu tetralogi Laskar Pelangi, kan?

Saya mendapat kesempatan berharga mengikuti talkshow oleh pengarangnya, Andrea Hirata, tadi sore di @america Pacific Place, Jakarta. Tema yang dibahas tadi adalah "Penetrating World Literature". Andrea Hirata berbagi tips dan trik mengenai kesuksesannya dan Laskar Pelangi menembus penerbit terkenal di Amerika, FSG (Farrar, Straus, and Giroux). Penerbit yang menerbitkan buku-buku para pemenang Nobel sastra, yang salah satunya adalah Pablo Neruda dan sederet nama beken lainnya.

Dalam presentasinya, Andrea menceritakan bagaimana proses yang ia lewati hingga dapat mencapai semua ini. Ia butuh satu tahun untuk mencari agen terbaik yang bisa mengangkat karyanya. Proses translating juga berjalan lama, sekitar tujuh bulan hingga akhirnya terbit. Ia sedikit menyelipkan guyonan-guyonan ringan dalam presentasinya yang membuat para hadirin rileks.

Ada satu perbedaan mendasar dalam menerbitkan karya di Indonesia dengan di Eropa atau Amerika, yaitu cara penulisan deskripsi latar dan tempat. Pembaca Indonesia lebih terbiasa dengan sesuatu yang visual, sehingga deskripsi harus dilakukan sejelas-jelasnya dan membuat seakan-akan pembaca berada langsung di tempat kejadian. Berbeda dengan pembaca Indonesia, pembaca luar negeri dianggapnya lebih 'pintar' dan tidak menginginkan adanya deskripsi berlebihan dikarenakan mereka sudah terbiasa dengan budaya membaca.

Dari beberapa hal yang disampaikannya, Andrea sangat menekankan pada mimpi dan niat. Katanya, jika memiliki mimpi yang besar dan didukung dengan niat mewujudkan yang tidak kalah besar, maka semuanya akan mungkin terjadi. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri, bagaimana dirinya bisa bermimpi setinggi itu pada masa kecilnya. Bagaimana mungkin cerita 'kampungan' bisa menembus pasar internasional? Karyanya kini sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia, Mandarin, Korea, Jerman, Inggris, dan sederet bahasa-bahasa lain, dan akan menyusul bahasa Swahili.

Bagaimana, fellow writers? Cukup tertantang untuk menyusul jejak Andrea? Ayo mulai dari sekarang!

Cheerio.

Friday, March 30, 2012

Penyesalan.


Aku tergelak. Spontan langsung kututup mulut dengan tangan kiriku dan lari ke belakang. Tatapan orang-orang yang memojokkan seakan menelanjangiku. Ini pikiranku! Mengapa semua orang mau ikut campur?

Di dalam kamar, aku melanjutkan petualangan pikiran dan mulai tertawa-tawa kecil sendirian, tidak ada siapa-siapa. Pikiran itu terlalu menyenangkan untuk kubiarkan pergi begitu saja dan aku harus keluar lagi menemui orang-orang yang tadi belum sempat menelanjangiku. Aku takut!

Semua kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sudah aku susun rapi dalam memoriku, dan kini mereka muncul kembali dalam wujud yang nyata. Kenyataan! Bagaimana seseorang bisa tidak bahagia bila mimpinya menjadi kenyataan? Bagiku, hari itu hari paling sempurna seumur hidup.

Dua jam aku mengunci diri di dalam kamar, berpesta-pora dengan setan-setan dalam batinku. Tawaku sudah habis, semua memori indah sudah keluar dengan bahagia. Kini, tinggal sisanya.

Orang-orang sudah pulang semua saat aku memutuskan keluar dari kamar. Aku meniti kembali jalur pelarian yang tadi kulewati dengan perlahan. Langkah demi langkah seakan melambatkanku. Terlalu banyak energi yang kubuang tadi. Lantai terasa begitu lengket menahan kakiku melangkah, tapi kupaksakan.

Sampailah aku di sana, dengan kepala menghadap ke atas tidak berani menatapnya. Aku ingin sekali memberinya tatapan ‘rasakan akibatnya’, yang malah menjadi ‘maafkan aku’ karena air mata yang sudah menggunung di pelupuk mata.

Di sana terbaring jenazah ayahku.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...