Tuesday, November 17, 2015

, (koma)

Bukan asa yang menggugah rasa
Hanya segurat koma menggantung manja
Menahan pintu ruang seakan bisa
Kesempatan kedua setelah nafas dihela.

Bukan kata yang mengubah makna
Hanya segurat koma menggantung manja
Tak terhitung berapa kali derita
Kala koma menahan akhir cerita

Bukan koma yang mencipta ruang
Hanya hati yang masih ingin berpeluang
Apa arti koma saat Ia berkata titik
Dan apalah titik saat lara masih menitik?

Monday, November 16, 2015

Cahaya

Seberkas mentari menahanmu disini. Kau tahu berapa banyak waktu yang ada, tidak banyak, namun cukup untuk menggelorakan visimu sejenak. Terang itu menyilaukan, sekaligus memabukkan. Ia memanggilmu, menarikmu, dan mengurungmu dalam pikiran itu, pikiran yang diterangi oleh berkas-berkas cahaya yang mengintip di balik terali. Waktumu tidak banyak.

Engkau berlari, mengejar cahaya itu. Tergila-gila kau dibuatnya, entah setengah gila atau sepenuhnya, matamu memandang lurus dan lehermu tidak goyah, dan ayunan langkahmu mantap. Bukan kebetulan, kata orang cahaya itu luar biasa, menghadirkan makna, dan melegakan jiwa. Derap langkahmu makin cepat, mengingat waktumu tak banyak.

Langkahmu terlalu cepat, nafasmu terlalu lambat, dan semangatmu kurang hebat untuk mengimbangi apa yang menghantui kepalamu. Engkau mulai kepayahan, matamu mulai gelap, hingga berkas cahaya itu perlahan hilang. Sesaat muncul pertanyaan di benakmu, “Benarkah ini?”, tanpa kau hiraukan, engkau paksa terus berlari. Waktumu tidak banyak.

Hingga berkas cahaya itu benar-benar hilang, pertanyaan tadi mengetuk lagi, “Apakah ini?”, dan engkau terlalu lelah untuk mengabaikan godaannya, dan engkau jatuh juga. Satu kali, dan engkau kembali bangkit setelah sejenak kau luruskan lagi kakimu dan tekadmu. Cepat, waktu tidak banyak.

Pertanyaan itu datang lagi, kali ini bentuknya berbeda, lebih mirip pernyataan. “Bukan ini!”, katanya. Apa benar ini? tanyamu dalam hati. Kali ini logikamu bergerak, menghitung semua kemungkinan yang ada, setiap titik cahaya yang kau dapati di depan matamu kau analisa. Sial! Bukan yang ini. Lalu engkau jatuh, kedua kali. Kali ini bukan karena kakimu lelah, lebih karena hatimu menyerah. Kalau bukan yang ini, lalu yang mana?

Lehermu yang sebelumnya tegar, kali ini pasrah. Matamu yang sebelumnya cerah, kali ini payah. “Apa lagi?”, tanyamu pada hidup. Tanpa sempat kau dapati jawabnya, kilatan cahaya lain lewat di depanmu, dan hilang begitu saja di ujung labirin. Tentu, bukan itu yang engkau cari, konsistensinya kurang. Sedetik berselang, lewat lagi kilatan tadi, kali ini di belakangmu, yang hanya bisa kau tangkap dari sudut matamu. “Apa yang itu?”, tanyamu lagi, kali ini benar-benar lupa, waktumu tak banyak.

Sejenak dalam gelap membuatmu sadar. Kau dapati secercah sinar, tidak terlalu terang. Kau ikuti sinar itu, ia terus bergerak menjauhimu. Terbiasa oleh kegagalan, engkau diam sebentar. Sinar itu ikut diam, namun tidak memudar. Waktumu mulai menipis, bisa kau rasakan detak jantungmu berdetik. Kali ini harus dapat, katamu dalam hati. Segenap sisa tenagamu dan sedikit sisa hidupmu kau pertaruhkan
semuanya.

Detik terakhir, setelah sekian detik terlewati dengan sia-sia, kau dapati dirimu terjatuh, kepalamu terantuk batu, dan matamu memejam, “Ini akhirnya.”, pikirmu. Namun, kau dapati sinar itu tetap ada, meski matamu terpejam, sambil mengucap doa yang terakhir, dan akhirnya bisa kau yakini bahwa terang tak melulu pasti, dan gelap tak selalu mati. Cahaya itu ada di dalammu, selamanya.
 

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...