Sunday, February 19, 2012

I (not) Fall Again #3


Matahari sudah tinggi saat Dewi baru membuka matanya. Pekerjaannya sehari-hari memang hanya berkutat di depan komputer membikin desain-desain baru untuk majalah kami, sambil mengurus kontrak-kontrak iklan yang hampir kesemuanya bisa dilakukan dari rumah. Jadilah ia tidak terikat waktu masuk kantor dan bisa bangun sesukanya.

Hari ini berbeda, ia terlonjak kaget saat menyadari jam bekernya tidak berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang, seharusnya ia bangun pukul delapan pagi. Langsung ia bergegas menghambur ke kamar mandi untuk mencuci muka, menyikat gigi, dan persiapan-persiapan lain sebelum menyambut pagi, eh siang.
”Selamat pagi, nona manis,” sapa sang pemilik suara yang langsung menyambutnya ketika Dewi keluar dari kamarnya. ”Kamu telat tiga jam. Thank you.” katanya lagi, sambil terus melebarkan senyum sinisnya.
”Sorry, pangeran!” balas Dewi ringan, tanpa merasa bersalah. Mereka langsung berpelukan dan cipika-cipiki.
Itulah Aryo. Sudah sekitar tiga bulan berhubungan dengan Dewi. Mereka tampak cocok satu sama lain. Jika bukan karena Radja, mereka pasangan juara.
”Masih mau lari pagi?” tanyanya, masih dengan wajah sinis yang sedari tadi tidak juga hilang.
”Malas ah, udah panas. Kita ngemal aja yuk!” jawab Dewi seakan tidak menghiraukan sinisme yang terus-terusan dilempar Aryo.
”Oce.” jawab Aryo singkat sambil menggeleng.

Memang bukan perkara mudah bagi siapapun untuk berurusan dengan Dewi. Sikapnya yang cuek bebek, penampilannya yang sembarangan, serta kata-kata kasar yang sering keluar dari mulutnya memang bukan alasan bagi pria-pria untuk bisa tertarik kepadanya. Ia selalu spontan, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan berisik. Wajahnya yang manis seakan tertutupi oleh tingkah lakunya itu, tapi tidak jarang tingkah lakunyalah yang membuat ia semakin bersinar memukau. Setidaknya, itu yang pernah diceritakan Radja padaku. Aryo mungkin korban lainnya.

Dewi tidak menggandeng lengan Aryo, begitu pun dengan Aryo. Mereka sadar kalau hubungan ini tidaklah serius, hanya sekedar hubungan cadangan buat Dewi. Pun begitu, Aryo masih bertahan.
Hampir setengah jam mereka berjalan memutari segala sudut mal tersebut hanya melihat-lihat. Obrolan mereka sangat mengalir, sampai tidak sadar sudah dua kali mereka melewati bioskop. Mereka berdua terdiam, lalu terkekeh.
”Makan siang yuk!” ajak Aryo, yang langsung disambut Dewi dengan menyandarkan bahunya ke bahu Aryo. ”Yuk!”

Setelah lama berdebat antara makanan barat atau jepang, mereka akhirnya setuju untuk berlabuh di restoran jepang cepat saji. Ini makanan kesukaan Dewi, sangat jelas menggambarkan pribadinya yang simpel dan cepat saji. Ditambah juga harganya yang tidak terlalu mahal. Dewi sedang dalam fase penghematan besar-besaran, katanya.
Tidak sulit untuk mereka memilih menu, sejauh ini. Dewi memilihkan semua yang akan mereka makan, Aryo siap di kasir untuk membayar. Lagi-lagi wajah pasrah terpancar. Tapi Aryo rela.
Cukup lama mereka duduk disana. Prosesi makan siang sudah berakhir sejak sejam yang lalu, tapi mereka berdua masih setia disana. Mengobrol ngalor-ngidul yang tidak ada arahnya, perumpamaan-perumpamaan mustahil yang terus-terusan ditanyakan Dewi, hingga rencana masa depan mereka berdua. Semuanya ditutup dengan tawa renyah di akhir kalimat.

Bukan kebetulan jika mereka berdua bertemu Radja. Ia juga penggemar berat restoran ini. Itulah yang terus ia gembar-gemborkan padaku tentang Dewi dan dirinya. Mereka punya selera yang sama.
”Dew, makan disini juga?” sapa Radja, mencoba seramah mungkin.
”Hey, Dja!” sambut Dewi tidak kalah ramah sambil memeluk Radja.
”Bro,” sapa Aryo penuh senyum. (bersambung)

Monday, February 13, 2012

"Chocolate" (Valentine's Special)


ChocoStop, Inc. – Make Yours Here. Aku tak bisa berhenti menatap tulisan itu, sambil dalam hati mengucapkannya berulang-ulang. Sore itu sedang sepi, menyediakan waktu tersendiri untuk pemiliknya merenung. Biasanya tidak seperti ini, kami harus pontang-panting melayanimu yang mengantre berjubel menunggu giliran. Aku dibantu tiga orang karyawan yang sangat terampil, dua orang di dapur dan satu orang menemaniku di depan.

ChocoStop, Inc. memiliki ciri khas yang membuatnya lain dari yang lainnya. Dapat dengan jelas terlihat dari tagline yang diusungnya, “Make Yours Here”. Kamu dipersilakan untuk berkreasi dengan kue cokelat pesananmu. Icing cream, sprinkles, dan bahan lainnya tersedia gratis untuk digunakan. Kamu  bisa dengan bebas menulis di atas kuenya, menghiasnya sesuai selera, dan tentu saja pulang dengan senyum lebar.

Beatrice, salah satu karyawan dapur, selalu punya pesona untuk membawamu datang untuk kedua kali, ketiga kali, hingga menjadi pelanggan tetap. Sikapnya yang manis dan sopan, didukung dengan penampilan yang menarik mungkin menjadi salah satu senjatanya. Bisa dibilang, toko ini mati tanpanya. Bersama Teresa, partner-nya di dapur, mereka menjanjikan dapur ini yang terbaik di Jakarta, kata orang.

Aku dan Stacy, kami bagaikan dua pejuang yang tidak kenal lelah melayani pelanggan, ratusan pelanggan. Minta ini, minta itu, lihat ini, lihat itu, dan permintaan-permintaan lain yang tidak kuingat apa, semua harus dijawab ”Iya”, dan kami berhasil. Kami dinobatkan sebagai the best cakeshop in town oleh majalah lifestyle ternama, dan puluhan penghargaan lain yang kami pajang rapi di sudut toko.

Dekorasi sederhana yang homey sangat mengundang para pembelanja yang lewat di depan toko kami, deretan sofa empuk berwarna krem hangat tampak sangat menggoda untuk sekedar duduk sebentar menyeruput ChocoHot, cokelat panas andalan kami. Lampu spot yang menerangi setiap meja semakin menghangatkan suasana dan menahanmu lebih lama di sana. Toko ini sudah hidup lima tahun, menempati tempat yang sama dan belum pernah pindah, dan tidak akan pindah. Kami menempati salah satu area paling strategis di mal kelas atas Jakarta. Pelanggan kami kebanyakan ekspatriat. Dengan citarasa internasional yang memukau, pilihan tepat untuk mereka. Kue kami menyemarakkan momen bahagia mereka.

Mal sudah mulai sepi, dan kami bersiap-siap menutup toko saat ada seseorang yang datang. Kami semua sedang ada di dapur menyelesaikan kue terakhir hari itu, yang selanjutnya akan disimpan dalam lemari pendingin untuk besok diambil oleh pelanggan. Ia terdengar tidak sabar, terdengar dari suara bel yang panjang dan berulang-ulang. Teresa keluar untuk melihat siapa yang datang dan menyuruhnya pulang karena toko sudah tutup. ”Maaf, sudah tutup. Datang besok ya.” ujarnya diiringi senyum. ”Tolong, satu pesanan saja, Please..” mohonnya. Aku mulai penasaran apa yang terjadi di luar, mengapa Tere begitu lama. ”Sorry, sudah tutup.” sambil melenggang keluar. Ia terdiam, sambil menatap mataku dalam.

Pria itu, sekitar tiga puluhan, berpakaian necis, sepertinya baru pulang kerja. Aku tebak, ia seorang karyawan KAP Broto yang berkantor di atas mal ini. ”Aku butuh buat malam ini, bisa?” sambungnya, seakan kami sudah pasti mengiyakan permintaannya. Pada akhirnya, itulah yang kami lakukan, menjawab ”Iya” diiringi senyum dan anggukan ringan. Kami terlalu terlatih untuk ini. Kami pun mempersilakan ia ikut masuk dapur selama kami bekerja, terhitung jam buka toko sudah habis, dan tidak ada pelanggan yang mengantre di depan.

Beatrice dan Stacy izin pamit pulang lebih dulu, ditunggu pacar di bawah katanya. Tinggallah aku, Teresa dan pria itu, David namanya. Teresa mulai mempersiapkan bahan dan aku melihat saja di sampingnya. Teresa lebih ahli dalam hal ini, ia akan memastikan semuanya berjalan sempurna sampai kuenya jadi. Aku cukup melihatnya saja, sudah tiga tahun terakhir tidak memegang dapur, takut ada yang terbakar. David pun cuma melihat, sambil ia bersandar di meja dapur dan mengecek blackberry-nya. Aku iseng bertanya, ”Untuk siapa sih, sampai malam-malam juga masih dikejar?” Ia masih terdiam memandangi layar kaca di tangannya, sampai aku menariknya paksa. ”Eh!” sergahnya kasar. ”Sorry!” sesalku sambil mengembalikan benda kecil bersinar itu. ”Gak apa-apa, sori tadi gak konsen.” jawabnya sambil tersenyum tipis, yang seakan dipaksakan.

Setelah percakapan itu, kami tidak terlibat dalam percakapan apapun sampai kuenya hampir selesai. ”Wangi banget ya kuenya, pantes ramai terus nih,” godanya. Aku dan Tere cuma tersenyum simpul sambil sama-sama mendengus. Terdengar getar handphone yang aku tidak tahu dari mana datangnya. Ternyata punya Tere, ia disuruh pulang sekarang, tanpa alasan. Biasanya kami pulang bersama, entah naik taksi bareng, atau naik mobilku kalau aku lagi sempat. Tere tampak tergesa, ia tidak mengatakan apa-apa, cuma terburu-buru dan segera lari keluar.

Tinggal kami berdua dan kue yang sepuluh menit lagi matang. Aku sekali lagi menanyakan pertanyaan yang tadi terganggu konsentrasi, ”Jadi, buat siapa sih kuenya?” ”Buat pacar nih. Besok Valentine, sekalian minta maaf.” jawabnya cepat. ”Oh! Besok Valentine?!” sergahku terburu. ”Kelamaan di dapur ya kamu?” tanyanya singkat tapi sarkastik. Aku cuma mendengus.

Kuenya nampak matang, siap diangkat. Kumatikan oven dan kuraih sarung tangan di atas oven untuk mengeluarkan kue. ”Nih, udah jadi. Wangi kan?” sambil aku menaruhnya di meja hias. ”Mau dihias pakai apa? Pilih sendiri deh.” ”Wah, aku gak ngerti hias-hiasan, kamu aja deh bantuin. Free of charge kan?” godanya. Menunggu kuenya dingin, aku mengambil minum, satu untukku dan satu untuknya. ”Thanks.” jawabnya singkat saat kusodorkan segelas air putih. Kue sepertinya siap dihias, aku langsung menaburkan sprinkles warna-warni di atasnya, disusul dengan icing cream yang kumasukkan dalam piping bag, dan menuliskan ”Happy Valentine’s Day” dengan tulisan yang kubuat indah. Tanpa ada persetujuan darinya, langsung kumasukkan kue dalam kotak, lalu aku mengikatnya dengan pita warna jingga.

Perjalanan pulang terasa panjang. Meskipun jalanan Jakarta sudah tampak lengang, hampir tidak ada kendaraan lain selain mobilku. Rasa kantuk yang menyerang tampaknya sulit diajak damai, semakin lama semakin dalam aku terperangkap di alam bawah sadar. Syukurlah, aku sampai rumah sebelum semuanya jadi runyam. Ada setitik pikiran yang menggantung di sudut mataku meminta dipikirkan. Tapi aku mengabaikannya, aku tidur.

Memiliki usaha kala muda mengharuskan aku terus konsentrasi pada pekerjaan, apa yang kurang baik, apa yang harus diubah, apa yang bla bla bla. Semua harus diurus sendiri kalau tidak mau ditipu. Itu prinsip yang kupegang terus sejak Papa mempercayakan aku sebagian uangnya untuk modal usaha. Jangan pernah percaya orang lain sebelum kita melihatnya sendiri. Itu pesan Papa yang terakhir ia tinggalkan sebelum pergi selamanya. Aku menjalaninya seperti itu, dan berhasil. Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku, kapan aku punya pacar? Aku sudah tidak muda lagi, hampir tiga puluh. Kejadian tadi malam seakan membangunkan pertanyaan itu kembali setelah lama aku bius total.

Hubungan serius terakhirku berakhir lima tahun lalu, tepat sebulan sebelum toko ini dibuka. Kala itu semua berjalan baik-baik saja, kami sudah sepakat akan menikah dalam satu atau dua tahun ke depan, pertunangan sudah direncanakan. Namun, kepergian Papa merubah semuanya, aku memilih untuk serius dengan usahaku dan meninggalkannya. Masih ada penyesalan sampai sekarang, bukan karena orangnya, tapi kepastiannya. Kepastian bahwa aku akan menikah.

Hari baru dimulai, belum tepat jam sembilan. Sudah banyak orang berkerumun di depan toko kami. Beatrice dan Tere nampak sudah bersiap-siap di dapur saat aku baru sampai dan menyalakan lampu etalase. Stacy nampak tergopoh dari kejauhan, ia membawa banyak sekali barang sampai-sampai kepalanya tidak terlihat. Ia kusuruh membeli bahan tambahan, untuk jaga-jaga kalau pesanan membeludak, yang kutebak pasti akan terjadi, ini hari Valentine! Tepat pukul sembilan, pelanggan mulai berangsur masuk dengan membawa slip merah sebagai tanda pengambilan kue. Aku dan Stacy yang baru selesai meletakkan barang-barang dan masih berkeringat hebat melayani. Aku menerima slip, menyesuaikan dengan catatan di komputer, lalu memberikan slip pada Stacy yang meneruskannya ke dapur. Begitu terus sampai tiga jam berlalu.

Toko sudah agak sepi, kue di lemari pendingin sudah tinggal sedikit. Ini saatnya istirahat. Ada seseorang datang membawa kue saat aku berangsur masuk ke dapur. “Hei,” panggilnya lemah, seperti tidak bersemangat. “Hei, kamu. Kenapa? Mau pesan lagi?” jawabku terkaget saat mengenali wajahnya. “Bukan, ini, eh,” ujarnya tidak jelas sambil menyerahkan kue kepadaku. Aku membawanya ke dalam dan mengajaknya masuk.

”Hey, David! Ada apa?” tanya Tere riang. Beatrice dan Stacy ikut memberikan senyum sapa. ”Ini, kuenya ditolak. Pacarku curiga aku selingkuh, katanya, karena tulisannya bukan tulisanku.” katanya sambil sendu. ”HAH?” kami berempat semua kaget, sambil menahan tawa yang hampir meledak. ”Itu kan tulisan Daisy! Hayo loh!” goda Beatrice iseng. Aku cuma terdiam.

Akhirnya, David tinggal di dapur kami lebih lama, sampai waktu kami hampir menutup toko. Ia membantu melayani pelanggan yang datang, membantu di dapur, walaupun cuma membantu melihat saja. Kami berlima menjadi cukup dekat, David orang yang mudah bergaul, walau ia agak culun, tapi ia lucu. Sebelum ia pamit pulang, blackberry-nya berdering, langsung dijawabnya tanpa melihat siapa.

”Apa? Kamu yakin? Apa gak ada jalan lain?” serentetan pertanyaan dia ajukan pada orang di seberang sana, kira-kira aku tahu lah siapa. Setelahnya, beberapa menit ia cuma bisa berdehem pelan sambil mengangguk mengerti pada orang di seberang telepon. ”Ya udah, kalo itu keputusan kamu. Aku gak bisa apa-apa lagi.” jawabnya mantap, tidak tahu kalau dibuat-buat. Beberapa detik kemudian, ia menutup telepon.

Kami berempat cuma diam, menunggu reaksi lanjutan dari pembicaraan telepon tadi. ”Ia minta putus. Cerita lama.” katanya singkat. Kami semua diam setelahnya. Pertanyaan semalam muncul lagi perlahan-lahan tanpa bisa kutahan, dia semakin kuat nampaknya. Aku memandangi mata David yang tampak kosong melihat ke luar jendela lebar yang langsung menghadap jalan raya. Kulihat ada getaran menggoda di sana, tapi belum kutangkap.

Setelah ia pamit pulang, kami berempat masih sibuk membereskan dapur. Karena besoknya toko tidak buka, kami berniat membereskannya serapi mungkin supaya besok lusa menjadi hari yang baru, tanpa sisa cucian kemarin. Sembari kami beres-beres, entah karena mereka tahu atau menebak-nebak, mereka menyerangku dengan pertanyaan yang paling kuhindari saat ini. ”Kamu suka ya, sama David?” Beatrice melepaskan tembakan pertama. ”Tapi, dia baru putus lho.” Tere yang kedua. Aku berharap Stacy menyelamatkanku karena aku sudah baik dengannya selama kami bersama – sama di kasir. ”Dia ganteng kok.” ujarnya ringan. Terima kasih, Stacy.

...13 Februari 2012
  
Hampir sama seperti tahun lalu, mendekati Valentine pasti memberi rezeki lebih buat kami. Pelanggan yang berjubel dan kerepotan yang kami hadapi terasa sesuai dengan apa yang akan kami dapat setelahnya. David ternyata punya kemampuan memasak yang cukup baik, tiga bulan lalu, aku menawarkannya untuk bekerja di toko. Dua puluh persen urusan profesional, sisanya urusan hati. Hatiku. Beatrice dan Stacy menentangnya mentah-mentah karena katanya bisa merusak workflow toko yang sudah terbentuk, Tere cuma mengangguk saja. Ini keputusanku, aku bos-nya.

Keputusanku tidak sepenuhnya salah. David bisa bekerjasama dengan baik di dapur, meringankan tugas Tere dan Beatrice. Bahkan, dia menerapkan sistem baru yang meningkatkan produktivitas toko ini. Keputusan tepat. Aku menepuk punggung sendiri. Satu-satunya kesalahan, karena ini melibatkan hati. Aku merasa diriku berbeda sejak itu. Bingung.

”Saya mau pesan customizable chocolate cake sama praline. Besok bisa diambil?” “Bisa mbak, saya catat dulu ya.” jawab Stacy dengan manis. Sebentar setelah ia selesai mencatat, merobek slip bukti, dan menyerahkannya, ia langsung masuk ke dapur. “Eh, tadi ada cewek manis banget lho! Coba liat gih, Vid.” godanya ke David. Ia cuma menjawab seadanya lalu memalingkan matanya pada mixer yang berputar cepat di depannya. Stacy ngeloyor keluar.

Malamnya, aku mencocokkan semua pesanan yang masuk dengan catatan di komputer, memastikan tidak ada yang terlewat. Mataku berhenti pada satu nama yang seakan bersinar familiar di layar komputer. ”Hmm, Denise.” gumamku pelan. Aku mencoba mengingat-ingat lagi nama itu, mengapa bisa terdengar sangat familiar di pikiranku. Sedetik setelah aku menyadarinya, Beatrice, Stacy, dan Tere keluar dari dapur dan membereskan etalase. Aku berangsur masuk ke dapur.

”HAPPY VALENTINE!” teriak David riang. Di tangannya terbaring kue cokelat bulat sempurna tanpa hiasan. ”Surprise!” katanya lagi, sambil tersenyum. Aku tidak membuat reaksi apa-apa selama tiga puluh detik, cuma berdiri mematung di tempatku. Ia mulai bingung, terlihat dari air mukanya yang mendadak pucat. Pemandangan itu menyadarkanku. ”Apa-apaan ini?” tanyaku lantang, seakan terkejut. Selanjutnya, aku tidak bisa mengontrol tindakanku dan terbawa dalam kekonyolannya.

Dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya memikirkan nama tadi, yang kutemukan di slip pesanan. Di waktu bersamaan, perasaan geli campur senang masih menyelimutiku, hasil dari surprise David tadi. Malamku terasa panjang sekali. Mataku terus terbuka dan memandang kosong ke langit-langit kamar yang kutempelkan hiasan glow in the dark yang terlihat seperti langit penuh bintang, setidaknya bagiku. Pikiranku mencari korelasi yang paling masuk akal dari penemuan-penemuanku tadi, nama itu dan surprise David. Apa yang bisa kusimpulkan? Aku tidak tidur malam itu.

Besoknya, 14 Februari, Valentine. Bukan hari yang tepat untuk melayani banyaknya pelanggan dengan mood seperti ini. Aku memutuskan untuk tidak sibuk di toko, menyerahkan semuanya pada mereka, dengan alasan simpel namun mujarab, sakit kepala. Aku mengambil tempat di sudut, untuk sekedar duduk bersandar menghirup kopi panas yang baru kubeli tadi sembari mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantui sejak malam. Siapa pemilik nama itu?

Hingga pukul tiga sore, yang artinya sudah kuhabiskan enam jam duduk diam bersandar tanpa jawaban. Kuputuskan untuk beranjak bangun dan mencoba melupakan pertanyaan yang mungkin tidak ada jawabnya itu. Kulihat ada seseorang di depan. ”Atas nama siapa?” tanya Stacy sopan. ”Denise. customized chocolate cake sama praline.” ”Baik, ditunggu sebentar ya,” jawab Stacy sambil menerima slip dan berangsur masuk dapur. Aku terduduk lagi di tempatku, setelah sempat mau beranjak, karena perempuan ini. Kutebak ini orangnya, Denise. ”Sudah siap, ayo ikut saya ke dapur.” ajak Stacy sambil perempuan itu mengikuti di belakangnya.

”David!” terdengar suara pekikan kaget yang cukup keras dari dalam dapur. Selanjutnya aku tidak dengar. Jawaban dari pertanyaan semalam yang menghabiskan malamku mulai menunjukkan batang hidungnya. ”Ia kenal David, dari mana?” muncul pertanyaan baru yang langsung membangunkan memoriku. ”Oh! Nama itu yang tertulis di gift card. Pacar David!” pikirku cepat. ”Mantan.” pikiranku meralat.

Sebelum aku memutuskan untuk masuk dapur dan melihat apa yang terjadi di dalam, Stacy dan Tere sudah menghambur keluar terlebih dulu, menyisakan Beatrice di dalam yang masih sibuk dengan mixer-nya. ”Mereka ribut besar!” teriak Tere cukup keras. ”Sampai banting-banting barang!” Stacy menimpali. Untung, sedang tidak ada pelanggan saat itu yang bisa semakin merunyamkan masalah. Cepat, aku menerobos masuk ke dapur untuk menetralkan masalah, serta dapurku yang berantakan.

”Apa-apaan ini!” teriakku lantang saat perempuan itu hampir menumpahkan seluruh adonan kue ke muka David. Kaget, ia langsung menaruhnya kembali dan ngeloyor keluar dengan air muka yang masih berapi-api. David cuma bisa diam, dan Beatrice nampak ketakutan meringkuk di sudut dapur. Aku segera menghampiri Beatrice, menenangkannya, dan menyuruhnya keluar menyusul Tere dan Stacy. Tinggallah aku dan David, dan tidak seorang pun di antara kami punya inisiatif memulai pembicaraan. Aku terlalu kesal, dan bahkan kaget untuk bisa menyusun kata-kata dengan rapi tanpa amarah. David mungkin merasa sangat bersalah dan tidak tahu harus berkata apa.

Aku akhirnya mengeluarkan dua patah kata yang sudah kususun dengan rapi sebisaku dengan nada datar. ”Ada apa?” David menunduk ke bawah, terlihat memikirkan jawaban apa yang paling tepat untukku supaya aku tidak merusak mukanya dengan mixer di sebelahku. ”Denise. Freak. Gila.” satu kata benda dan dua kata sifat yang akhirnya keluar dari mulutnya cukup memberikan penjelasan atas semua kerusakan dan kekacauan di sini. Perlahan aku mendekatinya, mencoba menenangkannya. Aku pikir, pelukan hangat akan meleburkan semuanya, pikirannya yang ruwet, rasa bersalahnya yang dapat kulihat dari seluruh tubuhnya yang bergetar, dan tangisnya yang perlahan menitik dari sudut matanya.

Pelukan itu terasa hangat. David memelukku sangat erat, sambil sesekali ia menahan isaknya yang membuatnya semakin bergetar. Aku bukannya biasa saja, aku turut merasakan pedih yang dia rasakan, entah karena tingkat empati yang kupunya, atau ia mentransfer kesedihannya lewat pelukan. Tidak masalah bagiku, bukannya baik jika kita bisa berbagi kesedihan dengan orang lain, bukan cuma kebahagiaan.

Lima menit berlalu cepat sekali, dan pelukan itu pun harus berakhir. David telah sukses meredakan semuanya, tangisnya, rasa bersalahnya, pikirannya, dan ia siap untuk hal yang baru. Aku, aku tidak meredakan apapun, malah menggairahkan lagi perasaanku padanya. Ini bukan kebetulan, mungkin sudah digariskan seperti ini, aku dan David, David dan mantan freak-nya, aku dan Stacy dkk. Aku tidak akan melawan perasaanku sekarang, semuanya terasa benar. Berdiri diam di sampingnya, memandangi tumpukan mangkuk stainless yang berserakan bersamanya, bernafas beriringan bersamanya. Getaran itu datang lagi, dan aku dengan sukarela membuka diriku untuk menerimanya. Ah, ini yang kucari, kebenaran ini.

Sunday, February 12, 2012

I (not) Fall Again #2


Pertanyaan yang sama terus berputar-putar di kepalaku selama seminggu setelahnya. Siapa itu? Bagaimana bisa? Bukan pertanyaan penting memang, tapi cukup menggelitik akal sehatku. Ditambah lagi, Dewilah satu-satunya teman perempuanku selain Milly. Milly bukan temanku, ia pacarku.
Hingga sampailah aku di suatu pertemuan bisnis kembali dengan Dewi. Iya, kami membangun bisnis bersama sejak kuliah. Inilah yang membuat kami begitu dekat, seperti adik-kakak. Kami berdua mendirikan sebuah perusahaan rekanan sederhana yang kami namai wish Productions. Perusahaan ini menerbitkan majalah lifestyle online setiap bulannya. Aku memegang bagian keuangan dan publikasi, Dewi di bagian promosi dan desain. Kami mempekerjakan sepuluh orang, yang kesemuanya punya bagian penting dalam lancarnya usaha ini.

“Jadi, untuk laporan bulanan, sudah siap semua?” tanyanya membuka obrolan.
“Sudah semua, gue itung-itung kita rugi lima juta bulan ini,” jawabku menerangkan. “Iklan-iklan dikit banget, tapi musti jalan terus.”
Memang, filosofi kami agak nyeleneh. Kami menolak iklan rokok masuk dalam majalah kami. Sedangkan, kita semua tahu, rokoklah yang menyumbang porsi terbesar dalam dunia periklanan. Keadaan ini yang terus kuperjuangkan, meski Dewi mulai agak melunak masalah ini.
”Makanya, rokoknya diterima aja! Kalo udah kepepet gini pusing kan..” protesnya. Jangan lagi, Dew. Gumamku dalam hati.

Setelah keadaan agak tenang, dan defisit bulan ini sepertinya dapat teratasi dengan kontrak jangka panjang dengan perusahaan kosmetik flamboyan, aku mulai mengarahkan topik pembicaraan.
”Oya, minggu lalu, cowok, siapa tuh?” tanyaku berantakan. Sulit menyusun kata-kata dengan rapi saat rasa ingin tahu mengganggu.
Belum sempat dijawab, aku bertanya lagi, ”Masih sama Radja, kan?” Aduh, mulutku selalu lepas kendali.
”Oh, itu Aryo,” jawabnya singkat, datar. Melihat wajahku yang penuh rasa ingin tahu, Dewi akhirnya menyerah. ”gue sama Radja gak putus, kita saling jujur-jujuran kok.”
”O...” aku cuma bisa membulatkan mulutku. Jawaban Dewi sudah cukup memuaskanku. Toh, aku tidak tertarik.

Setelah kututup dengan ekspresi kaget tidak percaya, Dewi mulai gerah. Ia merasa perlu untuk menjelaskan filosofi pribadinya. ”Gue gak putus sama Radja soalnya gue masih sayang dia,” sejenak ia berhenti dan menyeruput kopinya. ”tapi Gue butuh tantangan lain. Gak mungkin kan kebutuhan kita terpenuhi cuma dari satu orang?” Dewi semakin berapi-api menjelaskannya. ”Radja tahu kok masalah ini, dia setuju aja.”
”O...” Lagi-lagi cuma suara itu yang bisa keluar dari mulutku. Rasa tidak percaya ditambah kekaguman atas pemikiran Dewi yang brilian semakin menenggelamkanku dalam kebingungan.
Pertemuan mingguan itu berakhir dengan senyum di wajah Dewi dan ekspresi tolol tergambar jelas di wajahku seakan-akan ada tulisan ’hit me’ di jidatku. Aku langsung pulang. Butuh banyak waktu untuk mencerna semua yang baru kudengar dengan akal sehat. (bersambung)

Wednesday, February 8, 2012

I (not) Fall Again #1


Tepukan lembut di wajah langsung membuatku terjaga. Senyum hangatnya seakan menyambutku kembali, setelah lama berkelana di alam mimpi.
“Ayo bangun! Udah landing nih,” ujarnya sambil melanjutkan tepukannya di pipiku. ”buruan, udah kangen nih!”
Aku masih diam di kursiku tidak menghiraukan kata-katanya barusan. Jejak-jejak mimpi barusan masih tertinggal jelas dalam benakku, ditambah orang-orang satu pesawat yang masih sibuk dengan bawaan mereka. Tidak mungkin aku bergerak sekarang.
Jadilah kami dua orang terakhir yang turun dari pesawat. Tepat sebelum pintu pesawat ditutup kembali. Untung salah seorang pramugari masih menyadari keberadaan kami, dua penumpang business class malas yang menunggu adanya jalur khusus dengan ban berjalan untuknya turun. Sayangnya, tidak akan pernah ada.
Kami berdua berlari tergopoh ke tempat pengambilan bagasi yang tampak ramai. Sekali lagi, kami berharap ada layanan khusus. Seharusnya kami turun lebih dulu sebelum penumpang lain turun, tapi apa boleh buat, beberapa hal memang tidak mendukung, seperti mimpi barusan yang membuatku lama tercekat.
”Ah, gara-gara elo kan, jadi ribet kita!” Dewi menggerutu gara-gara keterlambatan kami turun dari pesawat.
Aku cuma menanggapinya dengan senyum masam, ”Udalah Dew, siapa tau ketemu cowok keren.” jawabku asal. Sebenarnya semua keterlambatan kami ini ada maksudnya. Bukan persetujuan kami berdua, lebih ke rencanaku untuk mengulur waktu lebih lama. Aku tahu Millane sudah menunggu di depan.
Aku dan Millane. Banyak orang bilang kami pasangan serasi sejati. Dewi pun bilang begitu. Sudah tiga tahun kami bersama. Tiga tahun itu lama, tapi tidak terasa lama saat bersama Millane. Kami berdua sudah yakin dengan hubungan ini, tidak ada yang mungkin bisa menghalangi kami.
Dewi berbeda. Hubungan yang sudah lama ia bina dengan Radja tampak tidak bergerak kemana-mana. Tidak ada kemajuan yang pernah ia ceritakan padaku. Saat aku gencar-gencarnya menceritakan rencana masa depanku dengan Millane, ia cuma tersenyum tipis tidak tertarik.
Setelah kami menyelesaikan semua urusan dengan bagasi yang memakan waktu sekitar setengah jam, kami keluar dari pintu kedatangan. Mataku mengarah ke semua penjuru mencari keberadaan Millane yang katanya sudah sampai dari sejam yang lalu. Dewi tampak santai, ia berjalan lurus di sampingku tanpa ada wajah bingung sedikitpun yang kutangkap dari ekspresinya.
”Luis!” terdengar teriakan dari sebuah kafe beberapa meter dari tempatku berdiri. Pemilik teriakan itu lantas berdiri dan berlari ke arahku. Aku tidak menyambutnya, terlalu banyak barang bawaan yang harus kutinggalkan, yang takutnya bakal lenyap.
”Hey, Milly!” sambutku riang seraya memeluknya erat. Ada kangen yang akhirnya terpenuhi setelah seminggu tidak bertemu.
”Milly,” sapa Dewi ramah. ”Kangen berat tuh.” katanya sambil menepuk bahuku sambil tertawa renyah.
”Yang disini jugaaaa.” balas Milly manja sambil menggelayut lenganku.
Dewi tampak membalas pesan-pesan masuk yang membanjir saat masih di pesawat tadi. Tampaknya ada satu yang menarik otot pipinya untuk tersenyum. Aku penasaran, langsung aku melongokkan kepalaku ingin ikut melihat. ”Siapa tuuuh?”
”Guys, gw duluan ya. Udah dijemput nih,” ujarnya riang seraya merapikan barang bawaannya. “Byeee!”
Terlihat seorang pria di ujung sana sudah menanti Dewi, dan ia bukan Radja. (bersambung)

Monday, February 6, 2012

Marriage kills.


Sepi. Gelap. Dingin. Itulah tiga kata yang paling mewakili suasana mal ini. Sudah hampir pukul dua dinihari, sepertinya normal. Aku, yang baru saja menghapus urai tangis setelah hampir dua jam didera adegan-adegan manis yang sayangnya berakhir pahit, memutuskan untuk mengambil jalan memutari mal lalu kemudian turun dan menjangkau tempat kuparkir mobilku. Sekitar lima orang kutengarai bermaksud sama, tapi aku tidak peduli, terus kulangkahkan kakiku menembus kegelapan.

Sepanjang perjalanan menuju bawah, beberapa orang yang tadi sepikiran denganku mulai mengambil langkah yang berbeda. Satu orang berbelok di lantai dua, tiga lagi berbelok di parkir timur. Tinggallah aku dengan seorang ini, yang tidak bisa kulihat wajahnya karena ia berjalan terlalu jauh di belakang.

Aku mulai mengendus ketidakwajaran pada langkah orang di belakangku, langkahnya cepat namun berusaha tetap menjaga jarak. Sedetik itu, langsung kukenakan earphone yang selalu siap setia di saku kemejaku, seolah memberikan sinyal ’I don't care’ pada orang di belakang. Sepertinya berhasil, atau aku tidak dengar?

Kudapati pintu yang menutup rapat, kucurigai terkunci. Setelah beberapa detik mencoba mendorongnya, namun tetap tidak membuka. Ah, harus memutar lebih jauh lagi!

Sepertinya aku mengenali wajah orang di belakangku tadi sembari ia mendekat untuk mencobai pintu keluar itu lagi. Marina, seseorang yang pernah punya kepemilikan terbesar di hatiku, seseorang yang pernah menangis dan tertawa bersamaku, seseorang yang di jari manisnya pernah dihiasi sebentuk perak yang terpatrikan namaku. Ya, ia istriku. Jangan tanya kenapa.

Sebenarnya, aku sangat menantikan saat-saat seperti ini, waktu di mana semua fakta akan terungkap, semua perasaan yang sempat terpendam dalam tak terkatakan akhirnya terucap. Tapi bukan pada waktu dan tempat seperti ini.

Hampir enam bulan tanpa kepastian, kami berdua berjalan sendiri-sendiri. Cukup lama untuk ukuran kami yang biasanya sehari tidak bertemu bagaikan kiamat dunia. Akhirnya, tanpa seorang pun berkata-kata, kami berpelukan. Bukan yang terbaik, tapi cukup melegakan dahaga kami masing-masing.

How you doing?” tanyaku singkat setelah kami melepas pelukan erat tadi. ”Good.” jawabnya singkat.
We need to talk, urgent!
Yes, we do.” balasnya.

Kami berpindah ke kafe 24 jam yang tampak masih ramai oleh sekumpulan muda-mudi berpakaian rapi. Mereka tampak sangat menikmati obrolan mereka, jauh melebihi kopinya. Terlihat dari cuma adanya segelas kecil kopi di meja yang mereka kelilingi. Aku jadi teringat masa lalu.

Have you signed your divorce paper yet?” sambutnya sedetik setelah aku kembali ke meja. Aku cuma menjawabnya dengan pandangan datar. “Why?” tanyanya lagi, sebagai balasan dari tatapan datarku. Aku masih belum menjawab.
Did you ever love me?” tiba-tiba pertanyaan itu yang otomatis kulontarkan. Giliran ia terdiam, air mukanya tampak resah mencari jawaban apa yang paling tepat. “Why?” kubalas checkmate yang tadi ia lakukan. Ia juga diam.

What I did wrong? Does it bother you if I didn’t act like what you expect?
Mar, I’m a human being. I need to be.
Mar, talk! Please talk!
Aku tidak bisa menahannya lagi.

I don’t know, Du
What? You don’t know what?” aku mulai lepas kendali. Air mata mulai tampak menitik di sudut mata Marina. Aku merasa itulah tanda untukku menurunkan sedikit tensi percakapan ini. Kubelai rambutnya, sambil kudekatkan ia ke bahuku. “It’s okay,” ujarku menenangkan.

I don’t know if I ever loved you,” katanya setelah berhasil meredam tangisnya.
I’m screwed, none of this is your fault, I’m a mess.
Why didn’t you tell me?” tanyaku bingung atas apa yang barusan ia katakan. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa bisa kuredakan, bahuku jadi sasarannya. Aku tidak berbuat apa-apa lagi, cuma memeluknya sambil terus-terusan membisikkan “It’s okay.” ke telinganya, meskipun aku yakin it’s not okay.

I feel good with you, Du. That’s why I didn’t tell,” katanya sambil masih sedikit terisak. Tatapan matanya mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa kutangkap dengan jelas. ”After all we’ve been through together, and,” ucapannya tertahan, ”That moment you let me down, I overreacted.” Matanya kini menjadi semakin cerah, sisa air mata mulai menghilang mengiringi senyumnya yang perlahan-lahan terbit dari sudut bibirnya. Now, I’m screwed.

Oh, for real. I don’t have to be sorry, though,” ujarku singkat sambil langsung kutinggalkan ia disana. “Hem, paper will be ready tomorrow. Bye.Marina masih memroses apa yang ia dengar barusan, sehingga aku baru dengar ia membalas bye saat aku sudah beberapa langkah menuju pintu keluar.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...