Saturday, July 21, 2012

The Right Time


Apa rasanya punya pandangan yang tak berbatas? Aku punya sekarang. Duduk di hamparan pantai menghadap ke laut memberikanku kebebasan luar biasa. Bagaikan keluar dari dirimu sendiri, lalu beterbangan tanpa batas ke manapun kita mau. Aku bisa duduk berjam-jam di sana, dengan mata yang terus menatap lurus.

Malam ini aku menabrak dinding, kemudian pecah berkeping-keping, dan seketika aku memudar di udara. Kesadaranku kembali. Kamu ada di sana. Kamulah dinding itu. Dinding pembatas paling cantik yang pernah kuhadapi, dinding yang bisa membuatku menyerah bertekuk lutut untuk bisa merubuhkannya, dinding yang membuatku rela terkurung di baliknya, tidak bergerak ke mana-mana, tapi aku senang.

”Lagi apa sendirian malam-malam?” tanyamu lembut saat aku menolehkan wajahku, kaget. Lidahku kelu. Dari pancaran sinar matamu, kulihat dinding itu mulai runtuh, ia meruntuhkan dirinya sendiri, dan aku mulai bisa melihat apa yang ada di baliknya. Kita berdua.

Semalaman itu, kita berangkulan di hamparan pantai itu. Tidak, kita tidak sekali pun saling berpandangan. Malam itu sungguh menakjubkan, bintang-bintang bertaburan layaknya jerawat, membuatku memikirkan sesuatu, sesuatu yang akan benar-benar meruntuhkan dinding pembatas di antara kita.

Waktunya benar-benar tepat saat itu, saat kupalingkan wajahku ke arahmu. Kita sangat dekat. Aku memejamkan mata, begitupun kamu. Kita berdua mendekat, seiring kudengar suara tabuhan drum bertalu-talu mengiringi gerakanku saat itu. Sedikit lagi sampai, dan kamu tiba-tiba mundur, membuyarkan drumband lengkap yang mengiringi saat itu. ”Waktunya belum tepat.” Katamu singkat, sambil berlalu. Aku sendiri lagi, siap kembali terbang.

Esok paginya, kamu berada tepat di sebelahku saat kubuka mata pertama kali. ”Selamat pagi.” katamu, sambil mengusap-usap rambutku yang berantakan. Lalu kamu melompat pergi.

Bukan cara mengawali hari yang baik, kurasa. Dugaanku tepat, seharian itu kuhabisi dengan hanya merenung, di saat kamu terlihat sangat menikmati hari. Apa yang salah denganku? Hatiku bukan lembaran trampolin yang bisa dengan mudah dilompati berkali-kali. Aku lebih mengenali diriku sebagai selembar karpet bulu domba, yang bisa membuatmu betah berlama-lama dengannya. Hari itu lewat begitu saja, sampai malam tiba.

Malam ini, aku kembali melayang-layang di udara, mencari pencerahan yang mungkin akan datang dari atas. Biarkan aku yang jemput pencerahan itu, tapi ia tidak datang juga. Aku tidak banyak melayang malam ini. Aku duduk menumpukan dagu pada lutut sambil berpikir, panjang sekali. Apakah ada maksudnya, semua ini? Dan, aku tidak mendapat jawabnya. Setidaknya aku belajar satu hal malam ini, expecting sucks.

Tidak, aku tidak akan pernah bisa menahanmu di sini. Kamu datang dan pergi, dan aku harus membiasakan diri dengan itu. Beradaptasi dengan keadaan, bukankah itu esensi hidup yang terpenting? Apa yang kita lihat tidak sama, dan takkan pernah sama. Biarlah seperti itu adanya. Aku percaya adanya keajaiban, meski tidak datang saat ini.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...