Wednesday, September 28, 2011

Pilihan itu...

Beberapa hari kebelakang saya banyak disibukkan dengan memilah - milah. Pilih kamera apa? Kenapa pilih itu? Kalo dibandingkan sama yang lain gimana? Banyak sekali.

Kemarin, dalam perjalanan ke kampus, tiba - tiba Papa saya menawarkan kamera baru. Wah, asyik sekali! Akhirnya setelah 2 tahun lebih berjuang dengan 1000D, saya berkesempatan ganti kamera baru yang lebih canggih. Hmm, pilihan saya langsung jatuh pada 7D, dengan pertimbangan 5D Mark 2, dan 60D. Sebenarnya buat kalian - kalian yang mungkin ngerti kamera, ini bukan pilihan sulit. Pasti 5D Mark 2 lah ya, harga gak pernah bohong.

Juga, buat sebagian orang bakal senang bukan kepalang dapat kesempatan seperti ini, beli kamera baru! Akhirnya naik kelas juga! Atau apalah yang masuk di akal. Hmm, saya juga sebenarnya senang sekali dapat kesempatan ini, bagaimana permintaan yang sudah diproposalkan 6 bulan yang lalu akhirnya bakal dipenuhi. Satu - satunya keresahan saya, saya bingung pilih yang mana.

Di satu sisi, saya tidak terlalu menginginkan format fullframe, tapi di sisi lain, fullframe sangat sulit ditolak. Banyak sekali alternatif - alternatif yang simpang siur di kepala saya. Kamera ini tambah lensa ini, terus jual yang ini beli yang itu. Kira - kira seperti itu.

Sampai akhirnya saya pun memutuskan, selalu ada rasa kurang yakin terhadap pilihan saya itu. Padahal setelah ditimbang - timbang, alternatif yang saya pilih adalah yang paling menguntungkan. Mengapa? Mengapa saya masih bingung? 

Sebenarnya, masalahnya bukan bagaimana saya memilih kamera, kamera apa yang saya pilih, dan mengapa saya pilih kamera itu. Saya ingin coba sedikit mengupas tentang "Pilihan". Banyak orang bilang, punya pilihan itu enak, kita bisa milih mana yang kita mau. Punya pilihan itu enak, bisa jadi siapa yang kita pilih. Bla bla bla. Pilihan, menurut pandangan saya baik jika kita punya dasar yang cukup untuk bisa memilih. Ada batasan - batasan yang kita buat sendiri dari pilihan kita itu, ada kesadaran penuh dalam menganalisis satu - persatu. 

Karena saya lagi jatuh cinta, topiknya tidak bakal jauh - jauh dari cinta - cintaan pastinya :)

Cinta itu tidak bisa memilih, cinta itu dipilih. Cinta itu tidak pernah berdasarkan logika, kecuali cinta buatan seperti yang saya bahas di posting sebelumnya. Jika didengarkan baik - baik, lagu Agnes Monica yang mengusung cinta dan logika itu ada benarnya. Bagaimana bisa seseorang mengingini lawan jenis yang sudah punya pasangan kalau katanya cinta pakai logika?

Cinta tidak bisa memilih. Manusia punya pertimbangan - pertimbangan dalam memilih, batasan - batasan yang dibuatnya, apa yang benar dan apa yang salah. Pertimbangan dan batasan yang dibuat ini malah akan mengaburkan kaidah cinta yang seutuhnya. Bahwa cinta itu masalah hati. Apa yang ada dalam logikamu tidak pernah sejalan dengan hatimu. Saya merasakan itu benar sekali :)

Cinta itu dipilih, tidak bisa dipaksa. Bagaimanapun, semua sudah digariskan Tuhan, kita cuma bisa menjalaninya. Apakah kita dipilih sekarang, besok, lusa, atau entah kapan. Tanpa bisa kita tahu.

Tulisan ini berdasarkan pengamatan dan observasi selama hidup saya, jika ada kesalahan penangkapan maksud yang disengaja ataupun tidak disengaja, mohon maklum. :)

Tuesday, September 27, 2011

Cinta itu....

Pacaran. Satu kata singkat yang cukup satu tarikan napas ringan untuk menyebutkannya, namun sejuta emosi tercurah demi mendalaminya. Satu fase dimana perasaan sungguh memegang peranan terbesar, bahkan melangkahi kelogisan pikiran. Satu sinetron yang diharapkan terus berproduksi menyaingi "Tersanjung", melewati 5 generasi.

Cinta. Semudah itukah diungkapkan? Sesingkat tiga kata delapan huruf yang tersohor itu? Tidak tahu. Saya belum pernah merasakan itu mudah. Selalu ada pikiran tersita, emosi tercurah untuk sang dia. Tidak pernah simpel.

Buat siapapun yang melihat cinta itu mudah, bisa dipelajari, bisa direncanakan, bahkan bisa direkayasa. Tolong, itu bukan yang saya maksud. Bagaimana ada kiat - kiat ampuh mendekati wanita yang digembar - gemborkan lewat media, lewat seminar - seminar romansa. Dengan instruktur - instruktur berpengalaman bertahun - tahun dengan ribuan wanita, mereka menunjukkan bagaimana mudahnya menggaet sang dia, dengan gaya, dengan cepat, bermacam - macam.

Istilah "Bisa karena biasa", cukup masuk akal jika disematkan pada mereka - mereka ini. Entah ribuan wanita yang jatuh hati karena teknik - teknik spektakuler, gaya yang proporsional, dan semua yang serba teratur. Keteraturan yang menghancurkan, kalau saya bilang. Bagaimana bisa, membiasakan diri dengan cinta, yang katanya mudah itu, jika semuanya dilakukan dengan keteraturan penuh. Pertama - tama, kamu harus begini, lalu kamu begitu, kalau dia begini, kamu harus begitu. Jangan pernah begini, jangan pernah begitu. Seakan - akan mereka tahu semua. Tuhan kali?

Sepengalaman saya, cinta itu hampir tidak bisa saya definisikan. Kadang menyenangkan, kadang juga menyesatkan. Kala saya mulai bisa mendefinisikannya, itu langsung berubah. Mungkin saya tidak sesiap mereka alumni - alumni seminar itu yang tahu bagaimana mengontrol keadaan, bagaimana merubah keadaan canggung jadi langsung. Sungguh, saya tidak tahu itu semua. Tapi satu hal yang saya tahu, saya senang berada didekatnya, meskipun hanya hening, meski tak berpandangan, tak bersentuhan. Itulah cinta bagi saya.

Maafkan kegalauan ini, sungguh tidak tahu lagi saya kemana mesti mengadu selain kesini :)

Monday, September 26, 2011

Acceptance

Sudah lama sekali saya tidak ngomel - ngomel disini. Terus aja ada yang menghalangi jemari ini beradu dengan papan ketik, dan tentu saja si penghalang itu adalah si tikus. Penggunaan komputer saya hampir tidak pernah menyentuh papan ketik, selalu cuma tangan kanan meng-klak-klik si tikus yang bisa berjalan kesana kemari. Sekarang saya bosan, mau coba ketak - ketik saja. :)

Penerimaan, apakah itu? Apa pentingnya? Apa masalahnya?. Tanpa saya sadari ya, saya selalu terbuka untuk menerima, apa saja deh. Mulai dari ejekan - ejekan, teriakan - teriakan, sampai saran - saran yang mungkin bisa membangun saya. Menerima mungkin saja merupakan suatu hal yang paling bisa kita lakukan dengan baik. Cukup dengan senyuman kecil atau lebar dan dibarengi dengan sepatah "Terimakasih". Menerima, entah bagaimana caranya selalu bisa membuat kita berpikir. Menerima hal yang baik, kita berpikir, "Wah, orang itu baik sekali, saya harus balas dia!". Menerima hal yang buruk, kita berpikir, "Wah, siapa orang ini, bisa - bisanya ngatain gue!", atau lebih baiknya, "Hmm, dia mungkin benar yah, coba gue liat kedalem dulu yeh". Respon yang berbeda - beda.

Menerima, bisa dari luar, bisa juga dari dalam. Menerima dari dalam? Ya, dari dalam. Dari diri kita sendiri. Banyak sekali kasus ketidakterimaan yang saya lihat di lingkungan saya, mulai dari fisik, sampai yang paling parah pikirannya tidak menerima jiwanya sendiri. Jadilah kontradiksi didalam dirinya yang malah bikin stres. Saya sendiri juga kadang tidak terima, kenapa yang lain bisa bicara lancar, tanpa susah payah, terus saya sendiri musti tarik napas dalem - dalem dulu kalo mau ngomong, capek tau. Balik lagi, penerimaan. Sampai sekarang saya masih mencoba menerima kekurangan saya itu, dengan mencari sesuatu yang bisa jadi kekuatan saya. 

Kebohongan itu memang menyenangkan, tapi cuma sejenak. Kita dibuat lupa akan siapa sebenarnya kita, apa yang sebenarnya kita punya, dan mengapa kita seperti itu. Saya juga suka bermimpi, kadang - kadang suka keterusan akhirnya kebawa deh pikiran itu ke dunia nyata, akhirnya setelah tahu kebenarannya, jatuhlah saya dengan sakit. Hehehe.

Akhirnya yah, paragraf terakhir yang pendek ini. Bisakah kita menerima diri kita? Apa adanya, apa kataNya?

Cheers.


Friday, September 9, 2011

Thursday, September 8, 2011

Aksi vs Fiksi

Aksi. Satu kata empat huruf yang bisa mengubah semua persepsi dan asumsi. Menghapus semua bayangan dan menggantikannya dengan cahaya. Satu kata yang terus - menerus didengungkan, dan banyak menginspirasi segala aspek kehidupan, termasuk posting ini. 

Baru tadi sore saya menemukan sebaris kata - kata yang sungguh menginspirasi saya untuk beraksi. Menulis posting ini tentunya. "It's better to light a candle than curse the darkness". Begitu bunyinya. Apa yang langsung menerpa pikiran anda ? Kegelapan, sebatang lilin, seberkas cahaya, atau malah kemarahan yang menjalari benak anda ? Tentunya memang sulit apabila kita terjebak dalam kegelapan. Seringkali jalan menjadi kabur, sulit dikenali, dan semua hal terlihat sama saja. Hitam. Kegelapan dapat membelokkan kita dalam mengejar apa yang kita tuju.

Sebatang lilin memang terlihat remeh, hanya sebatang lilin. Tidak lebih. Namun dibalik keremehannya itu ia menyimpan sejuta potensi yang pastinya akan berguna saat gelap. Ia menerangi jalan, memberi pandangan yang jelas atas sekitar kita, dan yang paling penting, ia menghangatkan. 

Menyalakan lilin memang perkara mudah, hanya tinggal menggesekkan korek, lalu mendekatkannya pada sumbu lilin. Kita seringkali tidak pernah memikirkan apa resiko dari ritual penyalaan lilin tersebut, apakah nanti tiba - tiba koreknya jatuh dan apinya menjalari seluruh rumah kita, apakah korek yang kita pegang aman, adakah cacat produksi yang terlewatkan yang malah mencelakakan kita bukannya menyelamatkan ? Ini hal kecil, yang mungkin membuat anda berpikir, "Ah, mana mungkin?", atau dengan penuh keyakinan, tanpa ada pikiran apa - apa, yang penting kegelapan hilang.

Proses pengambilan keputusan dalam hidup memang jauh lebih rumit dari perumpamaan lilin dan korek ini. Ada banyak aspek yang mempengaruhi selain korek dan lilin dan perasaan kita tentunya. Banyak aspek yang dapat menghambat kita menuju suatu aksi, penuh asumsi dan persepsi negatif yang mendorong niat kita hingga tidak lagi berniat. Kerumitan yang serba canggih ini, bagi sebagian dari kita, termasuk saya, cenderung mendorong kita untuk berpikir, mencari celah untuk menyederhanakannya, dan bahkan meninggalkannya sama sekali.

Sejujurnya saya juga masih mencari jawaban atas pertanyaan ini, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini. Sejak dulu, kita selalu didorong untuk berpikir saat menghadapi masalah, berharap ada pencerahan yang mendatangi kita dan melancarkan semua jalan. Namun, ketika pencerahan itu tak kunjung datang, apa yang kita harus lakukan ? Jawabannya pasti "Aksi". Apakah semudah dan sesimpel itukah kita harus memutuskan suatu perkara yang menyangkut kelangsungan hidup kita ?


Wednesday, September 7, 2011

Sempurna tanpa cela

Saya percaya, semua manusia dan segala makhluk bernafas diciptakan sesuai kapasitasnya, kapasitas dalam menopang beban, melawan arus, menerima kesalahan, dan banyak hal lain yang tampak remeh tapi selalu berpengaruh dalam cara pandang kita terhadap orang lain. Terlalu banyak kriteria yang kita cantumkan dalam lembar penilaian kita. Semua hal itu cenderung menyarukan cara pandang alami kita, dimana kita bisa dengan santai tanpa syarat menyapa orang lain. Tanpa berpikiran aneh - aneh yang terlalu jauh dari kenyataan, semua asumsi kita.

Belakangan, saya mulai menyadari bahwa terlalu banyak kriteria yang saya tuliskan dalam pikiran saya. Dalam kenyataannya, terlalu banyak kekecewaan yang saya terima akibat berpegang terlalu erat pada keteguhan saya itu. Semua kriteria yang saya pelajari dari kisah cinta yang lebih merupakan isapan jempol sang sutradara dibanding apa yang benar - benar ada. Menarik, bagaimana sang sutradara bisa menggambarkan pribadi si "manusia sempurna" itu dengan sungguh tanpa cela, dan terlihat nyata dan mendorong mereka mereka yang tidak pernah mengerti artinya "penerimaan" kedalam lubang yang jauh lebih dalam daripada bak mandi mereka sendiri.

Manusia, kadang dibalik kekurangannya justru menyembunyikan potensi yang sungguh tak terduga. Jika menurut saya, kebutaan itu sesuatu yang mengerikan, bagaimana seluruh hidup hanya melihat hitam, tanpa ada putih, dan warna - warni kehidupan. Kebutaan bisa saja merenggut semangat seseorang, meninggalkan orang itu dalam kegelapan yang lebih hitam dari pandangannya. Sungguh mengagumkan melihat seorang buta dengan tongkatnya, bisa berjalan kemana - mana seakan ia cuek saja dengan pandangan orang terhadapnya. Dia tak melihat, namun ia merasakannya. Mata hati yang lebih terasah, perasaan yang jauh lebih peka daripada kita sekalian. Sungguh merupakan karunia yang tidak ternilai. Mereka bisa melihat yang tidak kita lihat, memandangnya dari sudut lain yang jauh lebih manusiawi.

Filosofi orang buta ini kembali menggedor - gedor pintu hati saya, untuk bisa memahami lebih dalam lagi keadaan sekitar saya, untuk bisa lebih "menerima" pemberianNya. Dan yang tidak akan saya lupakan, menghapus semua kriteria - kriteria yang penuh kesempurnaan itu dan menyiapkan lembaran putih dimana akan saya tuliskan semua yang telah saya terima. Bersyukur.

Tuesday, September 6, 2011

Blog Sepi

Blog ini udah seperti teman curhat, kapan aja gue pengen nyampah, dia selalu ada dan selalu siapin berjuta - juta karakter buat gue ngomel. Cukup menyenangkan juga ngomel di blog, tanpa menyakiti perasaan siapapun, daripada ngomel langsung ke orangnya ya kan ? hehehe. Blog gue trafficnya sepi banget, belom tentu ada satu visitor sebulan, dan kalopun ada, paling cuma lewat doang. Terlalu banyak yang mau gue tumpahin ke blog ini, terlalu banyak juga hal - hal yang agak private. Tapi untung aja, blog gue gak ada yang ngunjungin. :D

Salam blogger sepi!

Jakarta oh Jakarta

Seperti lebaran tahun lalu, dua tahun lalu, dan berpuluh - puluh tahun lalu. Arus balik selalu lebih deras dari arus mudik. Banyak yang bisa dijanjikan kota sebesar Jakarta, godaan kerlap - kerlipnya yang kadang menyilaukan dan lebih tepatnya memilukan.

Hari pertama kerja masih belum menampakkan tanda - tanda itu, banjiran kaum urban yang mencoba mengadu nasib ke kota yang katanya memberikan jutaan peluang ini. Jalanan masih cukup lengang saat aku dalam perjalanan pulang kuliah, dengan mobil minibus merah bernomor "14" yang sangat mencolok mata sampai - sampai tidak perlu memberi tahu kalau berhenti. Aku duduk di kursi depan.

Seperti biasanya, tatapanku kosong memandang jalan sambil kuseruput jus apel botolan yang baru kubeli, sambil sesekali kupandang supirnya untuk memastikan dia tidak ketiduran saking sepinya. Aku coba pecahkan keheningan sambil kurapikan ceceran uang receh di dashboard. Sang supir menyapa, "Trimakasih dek.", "Iya pak." jawabku. Sang supir menyambung lagi, "Itu, buat polisi cepek di tikungan jalan, kasihan anak - anak kecil  disana.", hanya "Oh." sambungku.

Tikungan demi tikungan kami lewati, dan memang benar tidak pernah sepi dari polisi cepek, sebutan bagi mereka yang rela hati mengatur lalu lintas dengan tangan atau sebentuk karton demi seratusan rupiah yang belum tentu mereka dapat. Pernah kuhitung omzet mereka sebulan nyepek, dengan asumsi gopek. Wah, hasilnya mengejutkan, setara UMR.

Tak terhitung sudah berapa banyak koinan yang si supir relakan, sampai iseng aku bertanya, "Gak rugi pak ngasih terus?". Sambil dalam hati aku menghitung. "Ndak lah, kasih sedikit lah ke mereka, perlu makan juga dia." jawab si supir sambil tertawa kecil. "Makin banyak orang kampung ke sini, ruwet dah Jakarta, kita mah bantu sebisanya deh." sambungnya lagi.

Aku membatin, "Apa yang bisa aku lakukan untuk mereka?". "Apa Jakarta ini cuma seluas kampus ke rumah?". Terlalu banyak sisi kota ini yang belum kulihat, bagaimana mereka berusaha bertahan setelah dikhianati kota ini. Bagaimana dulu mereka meninggalkan kampungnya dengan mimpi selangit namun kini tinggal sesuap nasi.

Hingga akhirnya aku tiba di depan komplek perumahanku, kuingatkan supirnya agar berhenti, yang lagi - lagi mengandalkan warna merah mencoloknya sebagai lampu sen. Kuberikan selembar lima ribuan dan langsung menghambur keluar tanpa si supir sempat menyiapkan kembalian. Kupikir, inilah caraku membantu mereka, entah dengan menyemangati supirnya untuk memberi lebih ke polisi cepek, atau gimana lah baiknya.

Friday, September 2, 2011

Detik Terakhir

kala raga menjiwa,
tanpa ada niat jiwa tuk meraga
kala tangis mengisak,
menyambar, menyapu semua tawa
kala waktu mengejar,
detik pun tak sungkan menyergap
semua, tanpa ada ba bi bu
hanya bisa lari,
terus berlari tanpa henti
hingga akhirnya,
detik pun menyapa.
terakhir.

Thursday, September 1, 2011

Pop.

Penyesalan. Atas apa yang tak dilakukan, apa yang ditunda, kini berakhir sudah. Ribuan kisah tak terkatakan, ribuan detik tersesali tanpa ada harapan untuk kembali.
Penghargaan. Atas semua pemberian, kasih sayang, dan pelukan lembut. Setiap pelukan sarat makna yang selalu melayangkan aku ke dunia penuh harapan.
Perasaan, semua yang sengaja atau tanpa sengaja terpikirkan, baik atau buruk. Takkan pernah merubah apa. 

Aku kagum, melebihi semua decak berirama. Selamat jalan.

NB : Turut berduka cita, Jojo dan Keluarga. Tetap semangat.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...