Sunday, September 9, 2012

Hening.


Aku tidak sanggup untuk terus-terusan tampil dalam setiap mimpimu. Apa gunanya, jika kehadiranku hanya meninggalkan luka di hatimu, dan tentu hatiku juga. Aku ingin pergi sepenuhnya dengan damai. Kepindahanku ke sini untuk beristirahat, bukan malah menjadi bunga tidurmu.
Aku tidak sanggup untuk terus-terusan ada di sampingmu. Ya, aku bahagia telah jatuh ke dalam pelukmu, namun tidak saat ini. Ini saatnya aku bisa berdiri sendiri dan berjalan dengan kedua kakiku sendiri, entah apa yang menungguku di depan.
Aku tidak sanggup untuk terus-terusan menjadi orang yang namanya selalu kau sebut. Apa gunanya, setiap kau sebut namaku, yang tertinggal hanya susutan air mata di pipimu. Aku lelah dengan semuanya. Aku menyesali ketidakadaanku sekarang. Di saat aku seharusnya membelai pipimu lembut, kini untuk membayangkannya pun aku tak sanggup.

Biarlah cukup aku yang merasakannya, kau tak perlu.

*

Sepanjang jalan itu kita terdiam. Radio pun telah kumatikan karena sinyalnya tidak stabil. Kini aku sedikit kecewa, seharusnya kubiarkan saja menyala, siapa tahu suara radio yang ’kresek-kresek’ itu bisa membuka pembicaraan. Aku tahu, kau memandang lekat ke arahku, namun tanpa satu patah kata pun yang kau ucap. Aku juga sesekali melihat ke arahmu, mengabaikan jalan di depan kita berdua yang penuh ketidakpastian.
Jalan tol Cikampek, pukul dua dini hari. Entah apa yang bisa kuharapkan dari kondisi itu. Tiga jalur kosong yang mungkin bisa jadi arena lomba lari, saking sepinya. Lampu penerangan yang tidak semuanya menyala, menyamarkan pandangan semua pengemudi, termasuk aku. Jarak pandang yang hanya sekitar tiga meter ke depan membuatku semakin penasaran dengan apa yang ada di depannya lagi. Lagi dan lagi. Mungkin, semangat itulah yang membuat kami, para pengemudi, mencapai tujuannya.

Kau juga memandang ke depan, menelusuri semua kemungkinan yang menunggu kita di sana. Sesekali, kulihat kau memejamkan matamu sesaat, entah karena kau mengantuk, atau kau mencoba melihat dengan lebih jelas. Mulutmu masih terkatup, namun pandangan matamu tajam, seakan berkata-kata. Aku sudah berpengalaman denganmu selama lima tahun tanpa putus, tentu saja aku bisa menangkap artinya dengan jelas.

Aku tidak bisa bersamamu lagi, pergilah jauh-jauh.

Aku ingin berteriak. Sekeras-kerasnya, sampai pita suaraku putus. Namun, kuurungkan niatku itu. Aku malah menggenggam jemarimu erat, mencoba mentransfer kehangatan yang tersisa. Sempat aku berpikir untuk menyalakan radio yang ’kresek-kresek’ itu, mungkin sedikit gangguan bisa mengusir pikiran itu dari kepalamu.
Perlahan aku teringat, satu kalimat yang pernah kuucapkan padamu dulu. ”Hatiku cuma milikmu.”
Kini aku mulai mempertanyakan diriku sendiri,

Lalu, hatiku untuk siapa?

Perjalanan ini menyakitkanku. Bagaimana kita memulainya, dan kini harus mengakhirinya seperti ini. Baru kali ini, kudengar kau berkata seperti itu. Kukira hati kita menyatu, melekat kuat tanpa ada yang bisa memisahkannya.
Ketika aku tersadar, jawaban atas pertanyaanku tadi perlahan-lahan menunjukkan bentuknya. Aku mencoba berlari dari kenyataan yang kiranya telah siap menerkamku bulat-bulat. Kakiku hilang.
Aku berusaha melompati tembok pemisah yang berdiri kokoh di antara kita, di mana aku bisa melihatmu melambai padaku. Wajahmu menunjukkan ketulusan, seakan ini adalah perpisahan termanis kita. Aku mau menggapai batu pertama. Tanganku hilang.

”Kamu di rumah sakit sekarang, tadi pagi kamu kecelakaan. Pacarmu tidak terselamatkan.”

Aku benar-benar teriak.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...