Saturday, March 31, 2012

#WorldClassWriters with Andrea Hirata at @america.

Tahu tetralogi Laskar Pelangi, kan?

Saya mendapat kesempatan berharga mengikuti talkshow oleh pengarangnya, Andrea Hirata, tadi sore di @america Pacific Place, Jakarta. Tema yang dibahas tadi adalah "Penetrating World Literature". Andrea Hirata berbagi tips dan trik mengenai kesuksesannya dan Laskar Pelangi menembus penerbit terkenal di Amerika, FSG (Farrar, Straus, and Giroux). Penerbit yang menerbitkan buku-buku para pemenang Nobel sastra, yang salah satunya adalah Pablo Neruda dan sederet nama beken lainnya.

Dalam presentasinya, Andrea menceritakan bagaimana proses yang ia lewati hingga dapat mencapai semua ini. Ia butuh satu tahun untuk mencari agen terbaik yang bisa mengangkat karyanya. Proses translating juga berjalan lama, sekitar tujuh bulan hingga akhirnya terbit. Ia sedikit menyelipkan guyonan-guyonan ringan dalam presentasinya yang membuat para hadirin rileks.

Ada satu perbedaan mendasar dalam menerbitkan karya di Indonesia dengan di Eropa atau Amerika, yaitu cara penulisan deskripsi latar dan tempat. Pembaca Indonesia lebih terbiasa dengan sesuatu yang visual, sehingga deskripsi harus dilakukan sejelas-jelasnya dan membuat seakan-akan pembaca berada langsung di tempat kejadian. Berbeda dengan pembaca Indonesia, pembaca luar negeri dianggapnya lebih 'pintar' dan tidak menginginkan adanya deskripsi berlebihan dikarenakan mereka sudah terbiasa dengan budaya membaca.

Dari beberapa hal yang disampaikannya, Andrea sangat menekankan pada mimpi dan niat. Katanya, jika memiliki mimpi yang besar dan didukung dengan niat mewujudkan yang tidak kalah besar, maka semuanya akan mungkin terjadi. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri, bagaimana dirinya bisa bermimpi setinggi itu pada masa kecilnya. Bagaimana mungkin cerita 'kampungan' bisa menembus pasar internasional? Karyanya kini sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia, Mandarin, Korea, Jerman, Inggris, dan sederet bahasa-bahasa lain, dan akan menyusul bahasa Swahili.

Bagaimana, fellow writers? Cukup tertantang untuk menyusul jejak Andrea? Ayo mulai dari sekarang!

Cheerio.

Friday, March 30, 2012

Penyesalan.


Aku tergelak. Spontan langsung kututup mulut dengan tangan kiriku dan lari ke belakang. Tatapan orang-orang yang memojokkan seakan menelanjangiku. Ini pikiranku! Mengapa semua orang mau ikut campur?

Di dalam kamar, aku melanjutkan petualangan pikiran dan mulai tertawa-tawa kecil sendirian, tidak ada siapa-siapa. Pikiran itu terlalu menyenangkan untuk kubiarkan pergi begitu saja dan aku harus keluar lagi menemui orang-orang yang tadi belum sempat menelanjangiku. Aku takut!

Semua kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sudah aku susun rapi dalam memoriku, dan kini mereka muncul kembali dalam wujud yang nyata. Kenyataan! Bagaimana seseorang bisa tidak bahagia bila mimpinya menjadi kenyataan? Bagiku, hari itu hari paling sempurna seumur hidup.

Dua jam aku mengunci diri di dalam kamar, berpesta-pora dengan setan-setan dalam batinku. Tawaku sudah habis, semua memori indah sudah keluar dengan bahagia. Kini, tinggal sisanya.

Orang-orang sudah pulang semua saat aku memutuskan keluar dari kamar. Aku meniti kembali jalur pelarian yang tadi kulewati dengan perlahan. Langkah demi langkah seakan melambatkanku. Terlalu banyak energi yang kubuang tadi. Lantai terasa begitu lengket menahan kakiku melangkah, tapi kupaksakan.

Sampailah aku di sana, dengan kepala menghadap ke atas tidak berani menatapnya. Aku ingin sekali memberinya tatapan ‘rasakan akibatnya’, yang malah menjadi ‘maafkan aku’ karena air mata yang sudah menggunung di pelupuk mata.

Di sana terbaring jenazah ayahku.

Demo BBM : Rp 50.000,- atau Aspirasi ?

Demo penolakan kenaikan harga BBM sudah meluas kemana-mana, hampir ke seluruh Indonesia. Gembar-gembor tingkat kerusakan menyamai 98 sudah sedari awal diutarakan berbagai pihak. Sulit untuk dipercayai pada awalnya, melihat masalahnya hanya kenaikan harga BBM, bukan penggulingan rezim seseorang, yang sekarang saya percayai akan menuju kesana.

Dari pandangan saya sebagai mahasiswa, apa yang rekan-rekan mahasiswa lakukan selama ini saya pandang kurang efektif. Bukannya karena saya keturunan cina lalu tidak peduli demokrasi, namun jalan yang ditempuh tidak mencerminkan mahasiswa yang seharusnya. Saya mendengar potongan-potongan dialog antar mahasiswa yang di-post teman-teman di twitter, salah satunya begini,

A : "Lo masuk kelas gak, bro?"
B : "Gw bolos dulu ya, mau bela negara."

Apakah demonstrasi ditujukan untuk menyampaikan aspirasi, atau malah melarikan diri?

Saya juga curiga, ada massa bayaran yang digerakkan oleh partai-partai tertentu yang sampai sekarang masih galau menentukan sikap. Semua menyebut pro-rakyat, tapi cuma sebagian kecil yang bisa menentukan hitam atau putihnya, sisanya? Abu-abu. Mungkin masih ada ego yang menyangkut di sana, kepentingan partai untuk cari muka menjelang Pemilu 2014, atau tujuan-tujuan lain yang saya tidak tahu.

Menurut kabar yang saya dengar dari kawan-kawan, massa bayaran mendapat uang dispensasi dan nasi bungkus tanpa ada tujuan jelas dalam diri mereka sendiri. Partai ngomong A, ya mereka jalan A. Ada salah satu pendemo yang saya kenali wajahnya pada saat demo hari buruh tahun lalu, muncul lagi saat ini. Dengan dandanan yang sangat mirip, pengeras suara yang persis, dan mungkin teriakan-teriakannya juga sama, namun kali ini dengan atribut yang berbeda.

Kerusakan-kerusakan yang mereka buat, apakah itu sebanding dengan Rp 50.000,- dan sebungkus nasi yang mereka terima?

*Tulisan ini hasil sok tahu dan informasi dari TV seharian ini. Semoga keputusan cepat dibuat, dan apapun itu, saya mendukung.

Monday, March 26, 2012

Human Nature.

Ada sebuah cerita yang cukup menggoda saya untuk menuliskannya di sini. Cerita ini merupakan pengalaman pribadi saya tadi sore. Bukan cerita yang baik, tapi saya rasa cukup menggambarkan sosok manusia dan sikap-sikapnya yang berbeda. Mari kita mulai..

Di dalam angkot yang saya naiki, ada seorang nenek tua yang keriput di wajahnya sudah menyebar luas hingga matanya terlihat layu. Persis di depannya, ada seorang perempuan muda dua-puluhan yang saya tebak adalah cucunya. Mereka berdua tampak bingung, terlihat dari gerak-geriknya yang menoleh kesana-kemari, bahkan angkot pun belum juga jalan. Si nenek membuka suara, "Ini ke Asem bukan?" yang langsung dijawab dengan gelengaa kepala oleh si kenek, "Ibu kalo mau ke Asem, naik 03." Si nenek masih juga ngeyel dengan keyakinannya, "tapi, kata cucu saya naik 14. Ini 14, kan?" tanyanya memastikan. "Iya, ini 14. Asem mana sih, Bu?" tanya si kenek lagi, tidak sabar. Setelah berdebat cukup lama, angkot pun akhirnya jalan karena sudah disesaki penumpang, dan nenek itu masih di dalam, dengan cucunya.

Sudah setengah jalan, si nenek masih tampak gelisah. Ibu-ibu di sebelahnya tergerak untuk menanyakannya. "Kenapa, Bu?" Dengan dibantu penumpang lain, akhirnya dipastikan si nenek salah jurusan. Ia harus turun dan mengambil angkot kembali. Sesaat setelah si nenek itu turun, mulailah perbincangan seru di dalam angkot.
"Dasar, itu anak muda gak bisa apa-apa." ujar si Ibu, gusar.
"Iya, untung tadi aku tanyain ada nomer telpon apa enggak." Ibu lainnya menimpali.
"Parah banget itu, untung aku telpon tadi. Kalo enggak mah.." si Ibu yang pertama tidak mau kalah.
dan begitu seterusnya hingga saya turun. Pembicaraan mereka sudah berkembang jauh, membahas ketegasan si  Ibu pertama ketika menghadapi sopir taksi yang tidak tahu jalan, dan ia langsung meminta turun, yang dicontohkannya dengan nada tinggi nan tegas. Belum lagi, ia membanding-bandingkan si sopir dengan keponakannya yang juga sopir, tapi tahu jalan. Si Ibu kedua tampak sudah malas, sehingga cuma mengangguk-angguk seperlunya.

Sungguh, apa perlu begitu? Setelah kita membantu orang lain, lalu menggembar-gemborkannya ke luar. Iya, saya percaya semua orang pasti punya sifat itu di dalam dirinya, dan tidak seharusnya saya disini membahas sifat asli manusia, bukan?

Cheerio.

Friday, March 23, 2012

Love is.


What is love? Pertanyaan itulah yang kini sedang berputar-putar di atas kepala Alan. Sudah seharian ia membolak-balik semua buku pintar yang ia punya, segala macam ensiklopedi dari Americana hingga Britannica yang belum juga bisa menjawab pertanyaannya. Berabad-abad perkembangan ilmu pengetahuan di bumi, masih belum ada yang bisa mendefinisikan cinta secara gamblang dan tegas. Kini perhatiannya beralih pada layer komputer di depannya. Google yang sebelumnya ia sembah habis-habisan kini mengecewakannya. Beratus-ratus page dibukanya, tidak ada satupun yang mencuri perhatiannya. Cleverbot kini jadi sasarannya. Robot yang katanya bisa menjawab semua pertanyaan itu pun menyerah.
Alan pun ikut menyerah. Jam di dinding sudah menunjukkan angka tiga lewat lima belas. Sudah 18 jam waktunya tersita untuk pertanyaan bodoh yang satu ini. Ia melangkah gontai menuju tempat tidurnya dengan berselimutkan satu pertanyaan yang mengganggu itu.

Sebelumnya, tidak pernah terbersit sekalipun dalam benak Alan tentang sesuatu yang sudah ia kenal akrab. Dari tiga wanita yang pernah bersamanya, ia mendefinisikan cinta secara berbeda dari ketiganya. Tentu saja, yang terakhir menancap paling dalam di relung hatinya sampai ia tidak bisa bergerak lagi selama hampir dua tahun.
Adalah Rani, peri cinta yang punya jawaban paling logical tentang pertanyaan yang kini dilontarkan Alan. Selama tiga bulan mereka bersama, tidak lama memang, Rani mendoktrinkan satu hal yang kini paling Alan sesali. Cinta itu aku.

Pertemuan Alan dengan Rani memang bukan kebetulan seperti yang film-film drama romantis ceritakan. Hubungan pertemanan jangka panjang yang akhirnya bisa dikonversi jadi hubungan romantis. Menurut Alan, hal itulah yang membuat dirinya masih terikat secara batin dengan Rani, meski Rani kini sudah hilang entah kemana dengan pacarnya yang baru.
Drama romantis terus didengung-dengungkan Alan dalam pikirannya setiap malam, tentang bagaimana ia akan secara tidak sengaja bertemu lagi dengan Rani yang masih menggandeng pacarnya. Lalu dengan sejurus tatapan, Rani berpaling kepada Alan kembali. Forever alone level 99.

Alan bukannya tidak punya gebetan. Banyak. Sebut saja, Alisa, Jessica, Sherry, dan sederet nama-nama indah berikutnya pernah timbul tenggelam dalam keseharian Alan. Dalam pikirannya, ia ingin sekali move on, dengan adanya kesempatan yang terbuka lebar di depannya dan dengan sederet nama yang siap menerimanya dengan wajah sumringah.
Mereka semua punya definisinya masing-masing tentang cinta, sepengetahuan Alan yang telah menanyainya satu-satu. Dengan menginterogasi mereka semua, Alan berharap bisa menemukan jawaban yang bisa membuatnya bergerak, bangun dari mimpi panjang yang mungkin tidak berkesudahan. Belum ada yang berani menyebut dirinya adalah cinta, seperti Rani dulu. Lagi-lagi Rani.

Dengan pekerjaannya sebagai asisten dosen, Alan berkenalan dengan sederet nama lain yang tidak kalah cantiknya. Sebagian adalah mahasiswi yang diajarnya, dan sebagian lagi adalah rekan sesama asisten dosen. Alan selalu menyelipkan pertanyaan itu dalam setiap obrolannya, dengan kemasan yang berbeda tentunya. Biasanya, reaksi yang diterimanya tidak jauh-jauh dari tawa terbahak-bahak, pertanyaan asal yang hanya bertujuan merubah topik, dan jawaban jujur nan polos, ”tidak tahu.”
Satu jawaban berbeda diterimanya dari Teresa, rekan sesama asisten dosen dalam obrolan seusai kelas.
”Tere, cinta itu apa sih?” tembak Alan tanpa tedeng aling-aling, yang langsung membuat Teresa tersedak air yang baru diteguknya.
”Hmm, apa ya? Sesuatu yang membebaskan, mungkin?” jawabnya hati-hati.
Alan terdiam lama, tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang selama ini sudah mengekangnya dalam pikiran yang diciptakan oleh seseorang, Rani. Cinta tidak mengikat, seperti Teresa bilang, cinta itu membebaskan.
”Ada apa siih? Lagi jatuh cinta ya?” tanya Teresa iseng, yang sekaligus membuyarkan semua yang tersusun rapi dalam memori Alan.
”Hmm, kayaknya sih.”

Sejak saat itu, mereka berdua semakin dekat. Alan tampak semakin yakin dengan pilihannya saat ini. Tidak ada bayang-bayang Rani lagi walaupun hanya sedetik. Semua tumpukan memori lapuk dalam pikirannya sudah ia bereskan dan diisinya lagi dengan sesuatu yang baru. Ia sudah mendapatkan definisi cinta yang selama ini ia cari-cari, tidak ada lagi yang ia ragukan dari langkahnya saat ini.

Timbul pertanyaan iseng dalam pikirannya saat mereka berdua mampir ke toko buku selesai mengajar. Apakah Teresa yang terbaik? Tepat di depannya saat ini, ada sebuah buku tebal tidak terbungkus. Buku itu berjudul ”The Book of Answers” yang dari penjelasannya katanya bisa menjawab semua pertanyaan.
Sesuai petunjuk, Alan memikirkan pertanyaannya selama sepuluh detik dengan mata terpejam sambil tangannya membuka halaman secara acak. Detik kesebelas, ia membuka mata dan langsung tersenyum saat membaca apa yang tertulis di sana. Yes.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...