Thursday, June 21, 2012

....


Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada hujan di malam minggu. Bukan hujan biasa, badai yang menerpa dan merubuhkan semua rencana brilian yang telah kususun sejak minggu lalu. Hujan yang kini meninggalkanku duduk sendirian terpaku memandangi layar komputer. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, Facebook jadi pelampiasanku malam ini.
Wah, new friend request. Lumayan, pikirku. Thumbnail foto profilnya menggodaku untuk lebih dari sekedar menekan tombol accept, dan malah masuk ke profile page-nya. Dalam sepersekian detik proses ke sana, sejuta harapan mulai bertunas di hatiku. Sedetik setelahnya, hatiku seketika lebat dipenuhi tunas-tunas yang langsung berubah jadi pohon besar seakan-akan sudah ratusan tahun.
Dimensi waktuku sekejap berhenti. Dengan tatapan yang kini menembus layar komputer, kukagumi dirinya dengan segenap tenaga yang kupunya saat itu. Buset, ganteng amat!
Tidak perlu dua detik untukku memikirkan langkah selanjutnya. Kutelusuri mutual friends, dan kutemukan nama yang sangat familiar di sana. Valerie Sulistio.

“Val, kemarin gue di-add sama Alberto Arnaldo di FB. Lo ada di mutual friends, kenal gak?” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi saat kutemui Val di kampus.
“Oh, itu ‘mah temen sekelas gue! Napa, Kay? Demen lo?” jawabnya santai.
”Kenalin gue, Val. Cepet!”
”Yakin, lo? Dia ganteng banget sih, tapi dia......,” Val mulai nyerocos tanpa arah, “tapi orangnya baik, sih.”
Penutup yang baik. “Oke, besok ya.” Jawabku seraya ngeloyor masuk kelas.

(dua hari kemudian..)

Aku terdiam terpaku di tempatku duduk. Memandanginya dari jauh saja sudah membuatku kaku, bagaimana selanjutnya nanti, ya? Seiring derap langkahnya yang semakin cepat, detak jantungku juga seakan berlomba-lomba.
“Hai, Albert.“ Katanya sambil menyodorkan tangannya ke arahku. Mampus!
”Kayla. Salam kenal, ya.” Tidak habis pikir, bagaimana kalimat terakhir itu bisa meluncur dari mulutku.
Ia tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahku. Bahagia itu sederhana.
Aku mengerling ke Val, yang dibalasnya dengan senyum masam yang tampaknya dipaksakan.

(dua minggu kemudian..)

Hanya perlu dua minggu, untukku mendapatkannya. Ups, atau ia mendapatkanku. Sudah, tidak peduli. Semua judgement yang pernah ditembakkan Val pada Albert tidak ada yang masuk akal. He’s too sweet to be judged. Dua minggu kemarin jadi hari-hari paling bahagia dalam hidupku sampai saat ini. Senyum yang biasanya terus-terusan pergi dari bibirku, kini betah diam di sana seharian.
Aku mulai merasa, inilah jalan kami berdua. Jalan terbaik. Aku selalu percaya, siapa yang sabar menunggu, tidak pernah akan dikecewakan. Dalam kasus ini, aku memang sering menunggu. Menunggunya selesai kelas untuk kemudian pulang bareng, menunggunya makan di kantin dengan senyum yang masih mengembang. Aku sang penunggu sejati.

(lima bulan penantian kemudian..)

Waktu memang punya caranya sendiri. Ia berjalan pelan di saat-saat bahagia, dan di kala kebahagiaan itu pergi, ia bergulir cepat hingga aku tidak bisa mengejarnya lagi. Penantian-penantian itu, yang awalnya kukira akan berbuah manis, kini mulai menunjukkan wajah aslinya. Seperti perjalanan menempuh labirin berliku mencari secercah cahaya di ujungnya, yang kutemukan malah api yang membakar semua yang tiba di ujungnya.
Aku mulai mempertanyakan keyakinanku sendiri, tembok-tembok megah yang telah kubangun bertahun-tahun kini seketika rubuh. Semua pikiran positif yang kukira bisa membantu, kini kupersilakan pergi, dan mengundang lagi skeptisme yang dulu kutendang jauh-jauh.
Dua minggu sudah ia hilang tanpa kabar, setiap kutelepon ponselnya, nada sambunglah yang selalu muncul. Di dalam setiap SMS yang kukirimkan, pasti kusisipkan segenggam cinta yang kupunya. Kini habislah sudah, tak terbalas.
Aku percaya penuh, kita semua hidup dalam rimba ketidakpastian. Dimensi ruang dan dimensi waktu yang tidak pernah bisa berjalan bersamaan, yang membawa kita kepada konsep ’kebetulan’, atau ’mukjizat’, yang mungkin terdengar religius. Aku tidak pernah percaya adanya kebetulan. Bagiku, ’kebetulan’ yang mereka bicarakan itu hanyalah kebaikan semesta pada mereka-mereka yang sudah berusaha terlalu keras untuk mencapai apa yang sebenarnya bukan untuknya. Semesta memberinya satu kesempatan, hanya untuk membuatnya sadar dan berpikir ulang.
Ketidakpastian juga membawa kita untuk tidak lagi percaya adanya keabadian. Semua yang kita miliki sekarang, hanyalah sesuatu yang berada di antara ’halo’ dan ’sampai jumpa’. Tinggal waktu yang menentukan.

Kini, sampailah aku pada kesadaran penuh yang berhasil kuraih kembali setelah lama terbuai dalam kebahagiaan semu penuh harap. Tidak ada kebetulan dari awal kami bertemu, yang ada hanyalah ketidakpastian yang tidak kusadari.
Kuambil ponselku untuk mengiriminya satu SMS terakhir padanya, saat aku teringat ada satu tempat lagi yang belum kuperiksa. Facebook. Aku meluncur cepat menuju ke profile page-nya, mungkin untuk mencari pembenaran, atau alasan yang bisa membawaku kembali. Tapi nihil.
”Bert, you’re perfect in every way, just not for me. Kita udahan, ya.” Sent
Tepat setelah pesan terakhirku terkirim, mataku berhenti di salah satu line di homepage Facebook.
“Alberto Arnaldo is now in a relationship with Valerie Sulistio”
Tidak ada kebetulan, tidak ada kebetulan, batinku, sambil mengurut dada.

Friday, June 1, 2012

Grey Area


Menunggumu di sini seperti menguapkan waktuku. Tidak ada yang tahu kapan kamu akan muncul, apakah tiba-tiba atau dengan pemberitahuan, apakah sebentar, atau bahkan kita akan duduk berjam-jam ditemani kopi yang menguap lebih cepat dari waktuku ini.
Kamu tahu, aku ingin sekali menghirup kopi yang sedari tadi terus kupandangi. Buihnya yang menghilang perlahan membuka ruang hitam yang memberiku waktu sebentar untuk memandangi wajahku sendiri di sana. Pandanganku dibuyarkan uap yang membubung ke atas, menghantarkan wangi pahit getir yang sangat kurindukan, seperti kehadiranmu di depanku saat ini. Andai saja.
Dari aromanya, aku bisa tahu, apa yang benar-benar kuhadapi saat ini. Pahit yang menyadarkanku dari segala ilusi optik yang selama ini berparade di depan mataku. Parade yang terus kuagung-agungkan sampai esensinya hilang. Ilusi yang menghantui sampai gambarnya kabur. Kini aku terperangkap dalam keabu-abuan, tanpa kepastian.
Andai bisa, aku ingin sekali melompat keluar dari kungkungan yang hitam bukan, putih pun bukan ini. Dan aku yakin, secangkir kopilah kunci yang bisa membukakan pintu keluarku. Atau, segelas susu yang baru saja kupesan. Hitam atau putih?
Lihat, bagaimana bisa aku keluar dari sini, kalau hitam atau putih pun membingungkan. Si abu-abu tampaknya sudah menancapkan kukunya terlalu dalam, menjauhkanku dari kebenaran dan mendekatkanku pada probabilitas. Sesuatu yang sangat sulit diterka. If someone says, curiosity kills the cat, I would say, probability kills the cat.
Tanpa pikir panjang lagi, atau tepatnya pita yang memuat semua pikiranku hampir habis, kutuangkan gelas yang berisi susu ke dalam gelas kopi. Aku sudah pasrah. Apabila hidupku memang ditakdirkan abu-abu, mungkin ini semacam perayaan yang harus kulakukan. Aku terlonjak dari posisiku semula. Albert Munsell punya cara sendiri untuk mendefinisikan warna, begitu pun aku. Hitam ditambah putih bisa kuyakini hasilnya bukan abu-abu, malah cokelat kekuningan. Detik itu juga, aku terbebas dari jeratan warna yang selama ini membohongiku.
Kusadari kedatanganmu dari bel pintu yang berbunyi saat kamu melangkah masuk. Aku, yang sudah di sini berjam-jam menunggu, akhirnya bisa bekerjasama dengan aku yang sudah menemukan terang dalam jalannya. Aku berjalan memutar, keluar tanpa bisa kamu sadari. Kehilangan yang mengagetkan, bukan?

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...