Tuesday, November 20, 2012

Tutup Mata, Tutup Mulut, Tutup Telinga.


Pernahkah sejenak kamu menutup matamu? Menghilang dari peradaban. Memisahkan diri dari kenyataan. Membentuk sendiri realitasmu, yang sepenuhnya kamu. Dari kamu, untuk kamu, dan hanya kamu. Bumi yang terus berputar, tidak menyisakan waktu barang sedetik untukmu melihat ke dalammu. Semua hanya semata uang, pendapat orang, dan membuang waktu luang. Pernahkah sedikit terpikir di benakmu, untuk bisa terpejam sehari, tanpa perlu melihat dunia yang putarannya takkan pernah bisa kamu hentikan. Pernahkah tergambar di mimpimu, saat-saat kamu harus menanggapi apa kata orang, membuang waktu dan peluang, hanya untuk seutas kalimat pembelaan yang bahkan kamu ucapkan secara otomatis. Bayangkan semua itu hilang sekarang! Tidak ada lagi bisik-bisik cemburu di belakang, di depan, atau di manapun karena kamu tidak bisa melihat. Tidak ada lagi waktu yang terbuang, semua hanya untuk dirimu sendiri. Bayangkan kamu tidak perlu melihat dirimu sendiri di depan cermin dan terkadang mengeluh, “Aku gemuk.” atau apa saja yang bisa memojokkanmu sendiri. Dan, jika kamu punya waktu lebih, tolong mendongaklah. Pandang Tuhanmu yang sudah lama kau tinggalkan demi persepsi orang tentang dirimu. Tidak, tidak perlulah kamu membuka mata, mata hatimu yang akan bekerja.
Pernahkah sejenak kamu menutup telingamu? Menutup jalan masuk semua hal yang membentuk jalan pikiranmu sekarang. Bisakah kamu tetap bertahan? Apa hidup telah melatihmu untuk terus mendengar, dan bukannya mendengarkan? Tolong, jika ada satu orangpun yang berkata buruk tentangmu, lewatkanlah. Telingamu bukan untuk itu. Coba, sekarang ambillah dua gelas plastik, tenggaklah semua airnya, lalu tangkupkan di kedua telingamu. Apa yang kamu dengar? Kedamaian? Tentu saja. Saat kamu menangkupkan kedua gelas itu di kedua cuping telingamu, suara-suara di sekitarmu terdistorsi hingga hilanglah kekhawatiranmu akan isinya. Dan kamu hanya perlu menertawakannya, orang-orang gila yang terus saja berbicara kosong, seolah-olah merekalah yang paling pintar. Dan kamu di sana hanya tersenyum sambil memejamkan mata, menerka-nerka apa yang sebenarnya mereka sampaikan. Orang-orang itu yang tidak mengerti duniamu, dan takkan pernah mengerti. Sekali lagi, kamu tinggal tersenyum.
Pernahkah sejenak kamu menutup mulutmu? Diam termenung memandangi satu titik berulang-ulang yang sepertinya akan menusuk kerongkonganmu. Mengolah semua perasaan yang meletup-letup ingin dimuntahkan. “Pantaskah aku ada di sini, membaktikan diriku pada dunia, dan bukan pada sesuatu yang tinggi di atas sana?” Begitu tanyamu.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...