Saturday, January 9, 2016

Filosofi dan Logika



Jalan hidupku yang membawa arah, ke manapun ia melangkah, aku diam pasrah. Akulah yang menjalani lika-likunya, dan sudah seharusnya ia yang mengikut, dan bukan bertanya. Hidupku bukan hidupmu, jadi cukuplah simpan prakatamu, sebelum semuanya jadi semu, dan hidupku jadi hidupmu. Aku tak mau! Apa yang telah kuraih, dengan tangan yang selalu menggapai, takkan pernah cukup memenuhi ego yang membuatku lunglai. Sekencang apa aku berlari? Secepat itukah aku mengejar, apa? Diriku sendiri?

Langkahku yang semula cepat, tiba-tiba bergetar hebat. Entah apa yang membuatku melambat, apakah hujan badai, apakah hujan deras, ataukah hanya gerimis lebat? Aku terkesiap. Seperti berlari sendirian di lintasan balap, putaran demi putaran kulahap, dengan langkah kaki yang semakin berderap. Bayanganku mengejar semakin cepat saja, padahal di putaran sebelumnya aku cukup berjalan manja. Begitukah putaran kehidupan? Akan semakin cepat dan memusingkan, hingga tidak ada lagi asa untuk bahkan melangkah pelan.

Sudah sewajarnya tujuanku terkuak jelas, semua yang bisa dan tidak bisa kuraih, harus bisa kupilih dengan bebas dan tegas. Tapi kenyataannya? Semua masih samar, buram hampir tak berbentuk, dan jalannya belum tentu benar. Sedikit mencuat harapan masa depan, dengan probabilitas yang tidak bisa dibilang bukan, tidak juga bisa dibenarkan. Langkah demi langkah kulihat bayanganku akan selalu lebih jauh di depan, menggenggam sedikit semangat terus belajar. Oh, aku harus terus mengejar!

“Aku mau melakukan sesuatu untuk satu alasan!”, pikirku di awal perjalanan. Satu alasan yang paling konkret dan sekaligus paling klise adalah ‘menjadi bahagia’. Bagaimana mendefinisikan bahagia? Di saat semua yang aku lakukan membuatku gila? Oh, dengan menyelesaikannya segera. Aku menyelesaikannya segera, dengan harapan jadi bahagia. Perlahan, aku mulai paham artinya, ‘kebahagiaan yang kudapat dari selesai segera dan selesai bermakna adalah sama’. Aku mulai tenggelam dalam kebahagiaan yang lama-lama punya nama. Namanya bukan bahagia.

Di saat filosofi datang menyapu semua logikaku, sekejap ototku kaku, lidahku kelu. Seperti dihantam badai topan, aku terpaku. Ingin rasanya ikut lari bersama yang lain, tapi apa arahnya sama, atau sama sekali lain? Kekakuan ini membuatku jatuh tersungkur, tersapu sisa-sisa badai yang telah gugur. Aku masih hidup, dan hari ini membuatku berpikir sejenak, apa yang membuatku redup? Apakah aku terlalu bahagia? Atau karena “bahagia” ini aku jadi menderita? Entahlah. Aku yakin.

Satu alasan itu tiba-tiba jadi jelas, seperti kamu tersenyum di balik beningnya gelas. Aku hanya ingin segera, dan bukannya bermakna. Itulah mengapa! Kesegeraan membunuh makna. Aku belajar banyak menyelesaikan masalah dengan segera, dan itu meletupkan kebahagiaan semu yang sama sekali berbeda. Menjadi bermakna bukan berarti selalu sama, bisa saja berbeda, namun tetap seirama. Aku yakin, untuk saat ini, itu yang akan kucari.

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...