Monday, May 21, 2012

Hopes, Dreams, and Reality.

We all believe that there are certain connections between people, a thread connects every individuals. Thread that can't be cut off, it may be tangled, but it will always find its way, eventually. The invisible thread connects us with people we know, or even we don't. It's fortunate to have someone you know at the end of your thread, but for some people, they don't see anything at the end, or even they can't see if there's a thread that connects.

Hopes are absolutely positive. They make you grow up and see what's next. I can say, hopes are something similar to a binocular, a special one, something that makes you decide what to see next. Hopes are sometimes blurring. Anything that we planned to see, suddenly disappear. What to blame? Hope? No. Blame yourself for extending your hope too far. If you see, everything has boundaries. Nothing too much is better. If you seek for your thread, you better hope, but keep your feet on the ground.

Well, for you who still haven't found what you're looking for, your thread I mean. Let's move on to second step, the deeper one. Dreaming. In terms of walking, dreams take us to step our feet on an empty space, and lets us walk along happily. The waking up? It's the hardest part. You will get the fall and also the sadness for stand alone going nowhere. If you ever heard, "Living the Dream", it's absolutely a fool. Dreaming needs you to sleep, while living needs a total focus. Continue to seek your thread? Stop dreaming, and let's move on to the third variable.

Reality. Well, I don't have much to say about it. It's all that we live in right now, unless you are sleepwalkers, or a zombie. In reality, you will take off all your binocular, shadow-slippers, and everything dreamy and start walking aimfully towards anything you intend to go. I don't say it's an easy way. Surely, you will find something unpleasant along your way, and it's all coming back to you whether you continue walking or you stop. Something good doesn't come for free.

In the end of our journey here, I don't guarantee you to find the person, or the thread right away. As far as I know, trying is more worthwhile than dreaming, or hoping.

Cheerio!

Sunday, May 13, 2012

Hujan Pukul Delapan.


“7:53”
Karel segera menutup laptop-nya setelah menyadari waktu tidak lagi bersahabat. Dibereskannya semua berkas-berkas yang berserakan di mejanya, dihabiskannya sisa kopi yang masih harap-harap cemas menunggu diteguk. Ia siap sekarang.
Guys, duluan ya!” ujarnya singkat sambil melambai ke segala penjuru ruangan. Ia tidak dapat balasan apa-apa, hanya suara berdehem pelan yang bisa ia dengar sayup-sayup. Ia tidak perlu balasan, ia butuh waktu lebih sekarang.
Tidak ada yang bisa menahannya untuk pulang lewat jam delapan. Sudah ritualnya sejak dua bulan lalu yang tidak boleh diganggu siapapun, bahkan bosnya sendiri. Karel selalu punya alasan tepat, ia menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Bosnya tidak punya alasan apa-apa lagi.

“7:58”
Tepat lima menit waktu yang ia butuhkan untuk dapat mencapai halte bus. Skema waktu yang sudah dilatihnya setiap hari membuatnya semakin presisi dari hari ke hari. Ia bisa memperhitungkan waktu per langkahnya dikali dua ratus lima puluh tiga langkah sama dengan lima menit nol detik.
Biasanya, selepas senyumnya mengembang setelah memeriksa catatan waktunya yang membaik, Karel langsung gugup. Terlalu cepat senyum itu sirna dari bibirnya dan berganti menjadi senyum kecut tak mampu. Dan itulah yang terjadi hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sosoknya selalu bisa mempesona Karel. Gesturnya menghipnotis. Kedipan matanya yang terjadi setiap delapan detik membuat jantungnya berdetak delapan puluh kali delapan lebih cepat. Semua tentangnya adalah sempurna, kira-kira begitu maksud Karel dalam hatinya.
Seperti hari-hari yang telah lewat, Karel hanya bisa memandanginya bisu. Tidak ada patah kata yang keluar dari mulutnya, setidaknya hingga sosok itu menghilang masuk ke dalam bus. Sayang sekali mereka mengambil jurusan yang berbeda, Karel ke barat dan sesosok sempurna itu ke selatan. Sesuatu yang bukannya disesali, namun malah disyukurinya. Karel tidak bisa membayangkan sebanyak apa liur yang akan menetes apabila mereka satu jurusan.

”Halo, Ra.” Karel menyapa di ujung telepon.
Suara di seberang menjawab malas, tapi tetap dipaksakan, ”Halo, Rel.”
”Tadi gue liat doi lagi, Ra. Makin cantik aja, tuh!” Karel mulai khotbah malamnya. Sementara Fara mulai mencari-cari sesuatu untuk ia mainkan sambil memejamkan mata mendengarkan wejangan. Ia sudah muak dengan semua keluh-kesah Karel di teleponnya yang tidak pernah absen setiap malam. Mungkin sesekali absen saat mereka terjebak lembur di kantor.
“Udah berapa bulan, sih, Rel?” Fara merasa perlu menyatakan sesuatu kali ini, ”Dua bulan, enam bulan, apa dua tahun? Kok gue ngerasanya udah lima tahun, ya?”
”Besok, dua bulan lima hari.” Karel tidak sempat mencerna sarkasme yang dilontarkan sahabatnya itu. Pikirannya terlalu penuh dengan bayang-bayang sosok indah nan cantik itu, tidak ada lagi ruang untuk sentilan-sentilan iseng Fara.
Fara, di seberang telepon hanya bisa mendesah pelan. ”Ajak ngobrol dong.”
Sepertinya sebuah kesalahan besar telah dibuat Fara, ia harus terjebak satu jam lagi untuk menampung omelan dan curhatan Karel. Ia masih terpejam.

”7:52:55”
Karel sudah siap berangkat. Semua barang-barangnya sudah siap seperti biasa. Di hatinya masih belum ada perubahan. Ia masih merasa cukup dengan hanya melihat dan mengaguminya sekian menit saja. Sekian menit yang bahkan tidak bisa dicatat oleh seorang Karel Si Penguasa Waktu, begitu teman-teman memanggilnya.
”Rel, gue ikut lo pulang!” Fara seketika muncul di hadapan Karel tanpa bisa ia sadari dari mana ia datang. Fara pun sudah siap berangkat. Dengan tas kerja bergantung di kedua bahunya, ia siap menentang malam. Lembur di rumah.
Bukan Fara namanya kalau tidak penasaran. Ia sudah bisa menggambarkan sesosok yang katanya cantik itu tanpa melihatnya terlebih dahulu. Semua deskripsi mendetil yang diwartakan Karel setiap malam sudah cukup baginya. Sekarang, ia ingin mencocokkan hasil sketsa dengan aslinya.
”Cantik, Rel!” hanya kata-kata itulah yang bisa keluar dari mulut Fara. Ia mungkin jadi terhipnotis juga olehnya. Tapi, pertahanan Fara jauh lebih kuat, tiga tahun hubungannya dengan Abella jadi palang pintu yang kokoh baginya.
Well, I told you.” jawab Karel bangga. Entah apa yang ia banggakan.
You should talk to her!Fara tidak kalah beringas. Ia siap menyerobot. Tunggu, ada Abella.

Esoknya, semua orang di kantor sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tidak, bukannya kami semua mau menari payung, tapi ramalan cuaca mengatakan akan hujan besar hari ini. Hanya Karel yang tidak siap sama sekali. Persiapannya biasa, seperti hari biasanya. Karel tidak pernah percaya ramalan cuaca, meskipun ia berkali-kali dikecewakan keyakinannya sendiri.
”Selamat pagi, Karel! Pagi yang cerah, ya?” Fara lagi-lagi menampakkan diri tanpa tanda-tanda. Karel lagi-lagi tersentak.
”Iya, hari yang cerah, ya!” balasnya sambil melihat ke luar jendela. Mendung berat.
Fara langsung meletakkan tasnya persis di sebelah tas Karel. Meja mereka bersebelahan. Berkah bagi Karel, petaka bagi Fara. ”Eh, lo pakai tas ini juga?”
”Gue gak ada tas lain yang muat,” jawab Karel sekenanya. ”Jangan ketuker, lho.”

”7:55”
Karel terlambat dua menit dari target awal. Dua menit yang digunakannya baik-baik untuk berpikir apakah sebaiknya pulang sekarang, atau nanti saja setelah hujan reda. Dua menit yang sia-sia, karena ia sudah tahu jawabnya.
Segeralah ia membereskan barang-barangnya, mengambil tas di bawah kakinya, memasukkan kertas-kertas ke dalamnya tanpa melihat, dan menutupnya kasar. Ia tidak pamitan dulu, terlalu lama.

”8:00”
Karel sampai di halte setelah membelah jalanan basah dengan kakinya. Untung masih tepat pukul delapan. Matanya langsung memutari halte yang penuh sesak orang-orang yang kebanyakan hanya butuh tempat teduh. Tidak ada.
Karel sudah merelakannya. Sehari tidak bertemu sosok pujaannya tidak akan berarti apa-apa baginya, yang sedetik kemudian langsung disangkalnya kembali. Ia harus bertemu, tidak peduli bagaimana caranya.
Suatu objek bergerak yang menarik perhatian Karel. Wajahnya tertutup tas tangan mahal yang harus berkorban demi keselamatan pemiliknya. Sekilas, Karel mengenalinya. Itulah sosok bidadari yang ia cari-cari dari tadi. Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya dan menelepon Fara untuk menceritakan pemandangan indah yang baru dilihatnya.
Damn!” Karel mengumpat pelan. Tasnya tertukar dengan Fara.
Matanya terhenti pada suatu benda di dalam tas Fara. Payung. Tanpa pikir panjang lagi, langsung diambilnya payung itu, dan kemudian berlari menghampiri sosok bidadari yang diidam-idamkannya sejak lama. Inilah saatnya.
Hey, I’m Karel.
Sesosok itu tersenyum. Manis sekali. ”I’m Gail.
Itulah saat di mana hujan benar-benar membeku di atas mereka.
Akhirnya, sosok itu punya nama.

Friday, May 4, 2012

Blind Date


Siang itu terik. Rio masih duduk tercenung memandangi jalan raya yang penuh lalu-lalang kendaraan. Dua cangkir kopinya tandas sudah, dan ia sedang menunggu yang ketiga. Sekuntum bunga persis di depannya mulai layu, lelah menunggu.
*
Wanita itu sibuk sekali dengan ponselnya. Matanya yang terpaku lurus ke layar, dan mimik serius yang tidak bisa disembunyikannya melompat ke luar. Langkahnya cepat, secepat detik arlojinya dan detak jantungnya.

“Hans,” ujarnya setengah bertanya kepada seorang pria yang ditebaknya. “Hei, I’m Emil.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Sori, salah orang.” Jawab pria itu, tidak niat.
“Oh, maaf.”

Emil kembali sibuk dengan ponselnya. Beberapa panggilan dilakukannya, dan semua berakhir dengan kemasaman di wajahnya. Ia meletakkan ponselnya.
Are you serious?” tanyanya lagi pada pria yang sama. Pria itu masih di sana, tetap pada posisinya semula, dengan banyak cangkir kosong di mejanya.
Pria itu mendongak, dan dengan malas ia mengangguk. “Iya,” hingga keluarlah dua patah kata yang memulai semuanya, “Ada apa?”
Emil tanpa malu-malu langsung mengambil tempat di sebelah pria itu. “Jangan ketawa, ya,” ia melanjutkan, “Aku sudah di sini dua jam menunggu orang yang bahkan tidak kukenal.”
“Hans?”
Emil hanya bisa mengangguk.
“Sudah coba telepon?”
No signal.
Pria itu menyodorkan ponselnya, “Coba punyaku.”
Emil menggeleng. “I’m over it,” ia mendesah pelan, “Inilah mengapa blind date harus diharamkan,” suaranya mulai meninggi, “Orang sinting mana yang mau menunggu seseorang yang belum dikenalnya sampai dua jam?!”
“Tepat di depanmu.”
*
“Sudah ratusan kali kuhubungi, tetap tidak ada jawaban. Hope she’s alright.” Rio mengangkat mukanya kembali setelah panggilan gagal ke-145.
Get over it.” Emil memuntahkan semua rasa kesalnya terhadap konsep aneh bernama blind date.
“Hei!” Rio cepat-cepat memotongnya, terlambat.
What’s your name?
Rio.”
“Oke, Rio. Here’s what happen, kamu menunggu di sini seharian, dengan rasa deg-degan yang terpancar dari muka anehmu itu. Kamu tidak menyadari siapa saja orang-orang yang lewat sini. Sebenarnya, ia sudah lewat sekali, lalu pergi la..”
“Hei!” kali ini Rio sukses memotongnya. Tapi semua intinya sudah terjelaskan sempurna. “You’re stupid.
Emil terkekeh.

So, how about you?Rio balas bertanya, “Sama saja?” Ia mencoba menggunakan semua misil sarkastiknya sekarang.
Emil dengan santai hanya mengangkat bahu.
”Pasti ada alasan di balik semua ini, contohnya kamu,” Rio menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput cangkir keempatnya, ”Priamu sedang berjalan ke sini, ia berhenti sebentar untuk membelikanmu bunga. Saat ia kembali, ia kaget tiba-tiba mobilnya hilang. Ia lalu pergi ke halte, dan terjebak di sana.” Rio meletakkan cangkirnya dengan bangga, tanda ia selesai berbicara.
Hmm, not bad.” Emil berdehem. “Tapi, apa yang berbeda?”
Rio tercenung.
“Kita masih bisa membuat ini berhasil.” Emil berkata mantap.
“Caranya?”
*
“Apa-apaan nih?” Rio bertanya bingung.
This is what a blind date should be,” Emil tersenyum, “Masuk.”

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...