Sunday, February 19, 2012

I (not) Fall Again #3


Matahari sudah tinggi saat Dewi baru membuka matanya. Pekerjaannya sehari-hari memang hanya berkutat di depan komputer membikin desain-desain baru untuk majalah kami, sambil mengurus kontrak-kontrak iklan yang hampir kesemuanya bisa dilakukan dari rumah. Jadilah ia tidak terikat waktu masuk kantor dan bisa bangun sesukanya.

Hari ini berbeda, ia terlonjak kaget saat menyadari jam bekernya tidak berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang, seharusnya ia bangun pukul delapan pagi. Langsung ia bergegas menghambur ke kamar mandi untuk mencuci muka, menyikat gigi, dan persiapan-persiapan lain sebelum menyambut pagi, eh siang.
”Selamat pagi, nona manis,” sapa sang pemilik suara yang langsung menyambutnya ketika Dewi keluar dari kamarnya. ”Kamu telat tiga jam. Thank you.” katanya lagi, sambil terus melebarkan senyum sinisnya.
”Sorry, pangeran!” balas Dewi ringan, tanpa merasa bersalah. Mereka langsung berpelukan dan cipika-cipiki.
Itulah Aryo. Sudah sekitar tiga bulan berhubungan dengan Dewi. Mereka tampak cocok satu sama lain. Jika bukan karena Radja, mereka pasangan juara.
”Masih mau lari pagi?” tanyanya, masih dengan wajah sinis yang sedari tadi tidak juga hilang.
”Malas ah, udah panas. Kita ngemal aja yuk!” jawab Dewi seakan tidak menghiraukan sinisme yang terus-terusan dilempar Aryo.
”Oce.” jawab Aryo singkat sambil menggeleng.

Memang bukan perkara mudah bagi siapapun untuk berurusan dengan Dewi. Sikapnya yang cuek bebek, penampilannya yang sembarangan, serta kata-kata kasar yang sering keluar dari mulutnya memang bukan alasan bagi pria-pria untuk bisa tertarik kepadanya. Ia selalu spontan, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan berisik. Wajahnya yang manis seakan tertutupi oleh tingkah lakunya itu, tapi tidak jarang tingkah lakunyalah yang membuat ia semakin bersinar memukau. Setidaknya, itu yang pernah diceritakan Radja padaku. Aryo mungkin korban lainnya.

Dewi tidak menggandeng lengan Aryo, begitu pun dengan Aryo. Mereka sadar kalau hubungan ini tidaklah serius, hanya sekedar hubungan cadangan buat Dewi. Pun begitu, Aryo masih bertahan.
Hampir setengah jam mereka berjalan memutari segala sudut mal tersebut hanya melihat-lihat. Obrolan mereka sangat mengalir, sampai tidak sadar sudah dua kali mereka melewati bioskop. Mereka berdua terdiam, lalu terkekeh.
”Makan siang yuk!” ajak Aryo, yang langsung disambut Dewi dengan menyandarkan bahunya ke bahu Aryo. ”Yuk!”

Setelah lama berdebat antara makanan barat atau jepang, mereka akhirnya setuju untuk berlabuh di restoran jepang cepat saji. Ini makanan kesukaan Dewi, sangat jelas menggambarkan pribadinya yang simpel dan cepat saji. Ditambah juga harganya yang tidak terlalu mahal. Dewi sedang dalam fase penghematan besar-besaran, katanya.
Tidak sulit untuk mereka memilih menu, sejauh ini. Dewi memilihkan semua yang akan mereka makan, Aryo siap di kasir untuk membayar. Lagi-lagi wajah pasrah terpancar. Tapi Aryo rela.
Cukup lama mereka duduk disana. Prosesi makan siang sudah berakhir sejak sejam yang lalu, tapi mereka berdua masih setia disana. Mengobrol ngalor-ngidul yang tidak ada arahnya, perumpamaan-perumpamaan mustahil yang terus-terusan ditanyakan Dewi, hingga rencana masa depan mereka berdua. Semuanya ditutup dengan tawa renyah di akhir kalimat.

Bukan kebetulan jika mereka berdua bertemu Radja. Ia juga penggemar berat restoran ini. Itulah yang terus ia gembar-gemborkan padaku tentang Dewi dan dirinya. Mereka punya selera yang sama.
”Dew, makan disini juga?” sapa Radja, mencoba seramah mungkin.
”Hey, Dja!” sambut Dewi tidak kalah ramah sambil memeluk Radja.
”Bro,” sapa Aryo penuh senyum. (bersambung)

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...