Wednesday, February 8, 2012

I (not) Fall Again #1


Tepukan lembut di wajah langsung membuatku terjaga. Senyum hangatnya seakan menyambutku kembali, setelah lama berkelana di alam mimpi.
“Ayo bangun! Udah landing nih,” ujarnya sambil melanjutkan tepukannya di pipiku. ”buruan, udah kangen nih!”
Aku masih diam di kursiku tidak menghiraukan kata-katanya barusan. Jejak-jejak mimpi barusan masih tertinggal jelas dalam benakku, ditambah orang-orang satu pesawat yang masih sibuk dengan bawaan mereka. Tidak mungkin aku bergerak sekarang.
Jadilah kami dua orang terakhir yang turun dari pesawat. Tepat sebelum pintu pesawat ditutup kembali. Untung salah seorang pramugari masih menyadari keberadaan kami, dua penumpang business class malas yang menunggu adanya jalur khusus dengan ban berjalan untuknya turun. Sayangnya, tidak akan pernah ada.
Kami berdua berlari tergopoh ke tempat pengambilan bagasi yang tampak ramai. Sekali lagi, kami berharap ada layanan khusus. Seharusnya kami turun lebih dulu sebelum penumpang lain turun, tapi apa boleh buat, beberapa hal memang tidak mendukung, seperti mimpi barusan yang membuatku lama tercekat.
”Ah, gara-gara elo kan, jadi ribet kita!” Dewi menggerutu gara-gara keterlambatan kami turun dari pesawat.
Aku cuma menanggapinya dengan senyum masam, ”Udalah Dew, siapa tau ketemu cowok keren.” jawabku asal. Sebenarnya semua keterlambatan kami ini ada maksudnya. Bukan persetujuan kami berdua, lebih ke rencanaku untuk mengulur waktu lebih lama. Aku tahu Millane sudah menunggu di depan.
Aku dan Millane. Banyak orang bilang kami pasangan serasi sejati. Dewi pun bilang begitu. Sudah tiga tahun kami bersama. Tiga tahun itu lama, tapi tidak terasa lama saat bersama Millane. Kami berdua sudah yakin dengan hubungan ini, tidak ada yang mungkin bisa menghalangi kami.
Dewi berbeda. Hubungan yang sudah lama ia bina dengan Radja tampak tidak bergerak kemana-mana. Tidak ada kemajuan yang pernah ia ceritakan padaku. Saat aku gencar-gencarnya menceritakan rencana masa depanku dengan Millane, ia cuma tersenyum tipis tidak tertarik.
Setelah kami menyelesaikan semua urusan dengan bagasi yang memakan waktu sekitar setengah jam, kami keluar dari pintu kedatangan. Mataku mengarah ke semua penjuru mencari keberadaan Millane yang katanya sudah sampai dari sejam yang lalu. Dewi tampak santai, ia berjalan lurus di sampingku tanpa ada wajah bingung sedikitpun yang kutangkap dari ekspresinya.
”Luis!” terdengar teriakan dari sebuah kafe beberapa meter dari tempatku berdiri. Pemilik teriakan itu lantas berdiri dan berlari ke arahku. Aku tidak menyambutnya, terlalu banyak barang bawaan yang harus kutinggalkan, yang takutnya bakal lenyap.
”Hey, Milly!” sambutku riang seraya memeluknya erat. Ada kangen yang akhirnya terpenuhi setelah seminggu tidak bertemu.
”Milly,” sapa Dewi ramah. ”Kangen berat tuh.” katanya sambil menepuk bahuku sambil tertawa renyah.
”Yang disini jugaaaa.” balas Milly manja sambil menggelayut lenganku.
Dewi tampak membalas pesan-pesan masuk yang membanjir saat masih di pesawat tadi. Tampaknya ada satu yang menarik otot pipinya untuk tersenyum. Aku penasaran, langsung aku melongokkan kepalaku ingin ikut melihat. ”Siapa tuuuh?”
”Guys, gw duluan ya. Udah dijemput nih,” ujarnya riang seraya merapikan barang bawaannya. “Byeee!”
Terlihat seorang pria di ujung sana sudah menanti Dewi, dan ia bukan Radja. (bersambung)

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...