Monday, February 6, 2012

Marriage kills.


Sepi. Gelap. Dingin. Itulah tiga kata yang paling mewakili suasana mal ini. Sudah hampir pukul dua dinihari, sepertinya normal. Aku, yang baru saja menghapus urai tangis setelah hampir dua jam didera adegan-adegan manis yang sayangnya berakhir pahit, memutuskan untuk mengambil jalan memutari mal lalu kemudian turun dan menjangkau tempat kuparkir mobilku. Sekitar lima orang kutengarai bermaksud sama, tapi aku tidak peduli, terus kulangkahkan kakiku menembus kegelapan.

Sepanjang perjalanan menuju bawah, beberapa orang yang tadi sepikiran denganku mulai mengambil langkah yang berbeda. Satu orang berbelok di lantai dua, tiga lagi berbelok di parkir timur. Tinggallah aku dengan seorang ini, yang tidak bisa kulihat wajahnya karena ia berjalan terlalu jauh di belakang.

Aku mulai mengendus ketidakwajaran pada langkah orang di belakangku, langkahnya cepat namun berusaha tetap menjaga jarak. Sedetik itu, langsung kukenakan earphone yang selalu siap setia di saku kemejaku, seolah memberikan sinyal ’I don't care’ pada orang di belakang. Sepertinya berhasil, atau aku tidak dengar?

Kudapati pintu yang menutup rapat, kucurigai terkunci. Setelah beberapa detik mencoba mendorongnya, namun tetap tidak membuka. Ah, harus memutar lebih jauh lagi!

Sepertinya aku mengenali wajah orang di belakangku tadi sembari ia mendekat untuk mencobai pintu keluar itu lagi. Marina, seseorang yang pernah punya kepemilikan terbesar di hatiku, seseorang yang pernah menangis dan tertawa bersamaku, seseorang yang di jari manisnya pernah dihiasi sebentuk perak yang terpatrikan namaku. Ya, ia istriku. Jangan tanya kenapa.

Sebenarnya, aku sangat menantikan saat-saat seperti ini, waktu di mana semua fakta akan terungkap, semua perasaan yang sempat terpendam dalam tak terkatakan akhirnya terucap. Tapi bukan pada waktu dan tempat seperti ini.

Hampir enam bulan tanpa kepastian, kami berdua berjalan sendiri-sendiri. Cukup lama untuk ukuran kami yang biasanya sehari tidak bertemu bagaikan kiamat dunia. Akhirnya, tanpa seorang pun berkata-kata, kami berpelukan. Bukan yang terbaik, tapi cukup melegakan dahaga kami masing-masing.

How you doing?” tanyaku singkat setelah kami melepas pelukan erat tadi. ”Good.” jawabnya singkat.
We need to talk, urgent!
Yes, we do.” balasnya.

Kami berpindah ke kafe 24 jam yang tampak masih ramai oleh sekumpulan muda-mudi berpakaian rapi. Mereka tampak sangat menikmati obrolan mereka, jauh melebihi kopinya. Terlihat dari cuma adanya segelas kecil kopi di meja yang mereka kelilingi. Aku jadi teringat masa lalu.

Have you signed your divorce paper yet?” sambutnya sedetik setelah aku kembali ke meja. Aku cuma menjawabnya dengan pandangan datar. “Why?” tanyanya lagi, sebagai balasan dari tatapan datarku. Aku masih belum menjawab.
Did you ever love me?” tiba-tiba pertanyaan itu yang otomatis kulontarkan. Giliran ia terdiam, air mukanya tampak resah mencari jawaban apa yang paling tepat. “Why?” kubalas checkmate yang tadi ia lakukan. Ia juga diam.

What I did wrong? Does it bother you if I didn’t act like what you expect?
Mar, I’m a human being. I need to be.
Mar, talk! Please talk!
Aku tidak bisa menahannya lagi.

I don’t know, Du
What? You don’t know what?” aku mulai lepas kendali. Air mata mulai tampak menitik di sudut mata Marina. Aku merasa itulah tanda untukku menurunkan sedikit tensi percakapan ini. Kubelai rambutnya, sambil kudekatkan ia ke bahuku. “It’s okay,” ujarku menenangkan.

I don’t know if I ever loved you,” katanya setelah berhasil meredam tangisnya.
I’m screwed, none of this is your fault, I’m a mess.
Why didn’t you tell me?” tanyaku bingung atas apa yang barusan ia katakan. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa bisa kuredakan, bahuku jadi sasarannya. Aku tidak berbuat apa-apa lagi, cuma memeluknya sambil terus-terusan membisikkan “It’s okay.” ke telinganya, meskipun aku yakin it’s not okay.

I feel good with you, Du. That’s why I didn’t tell,” katanya sambil masih sedikit terisak. Tatapan matanya mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa kutangkap dengan jelas. ”After all we’ve been through together, and,” ucapannya tertahan, ”That moment you let me down, I overreacted.” Matanya kini menjadi semakin cerah, sisa air mata mulai menghilang mengiringi senyumnya yang perlahan-lahan terbit dari sudut bibirnya. Now, I’m screwed.

Oh, for real. I don’t have to be sorry, though,” ujarku singkat sambil langsung kutinggalkan ia disana. “Hem, paper will be ready tomorrow. Bye.Marina masih memroses apa yang ia dengar barusan, sehingga aku baru dengar ia membalas bye saat aku sudah beberapa langkah menuju pintu keluar.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...