Monday, February 13, 2012

"Chocolate" (Valentine's Special)


ChocoStop, Inc. – Make Yours Here. Aku tak bisa berhenti menatap tulisan itu, sambil dalam hati mengucapkannya berulang-ulang. Sore itu sedang sepi, menyediakan waktu tersendiri untuk pemiliknya merenung. Biasanya tidak seperti ini, kami harus pontang-panting melayanimu yang mengantre berjubel menunggu giliran. Aku dibantu tiga orang karyawan yang sangat terampil, dua orang di dapur dan satu orang menemaniku di depan.

ChocoStop, Inc. memiliki ciri khas yang membuatnya lain dari yang lainnya. Dapat dengan jelas terlihat dari tagline yang diusungnya, “Make Yours Here”. Kamu dipersilakan untuk berkreasi dengan kue cokelat pesananmu. Icing cream, sprinkles, dan bahan lainnya tersedia gratis untuk digunakan. Kamu  bisa dengan bebas menulis di atas kuenya, menghiasnya sesuai selera, dan tentu saja pulang dengan senyum lebar.

Beatrice, salah satu karyawan dapur, selalu punya pesona untuk membawamu datang untuk kedua kali, ketiga kali, hingga menjadi pelanggan tetap. Sikapnya yang manis dan sopan, didukung dengan penampilan yang menarik mungkin menjadi salah satu senjatanya. Bisa dibilang, toko ini mati tanpanya. Bersama Teresa, partner-nya di dapur, mereka menjanjikan dapur ini yang terbaik di Jakarta, kata orang.

Aku dan Stacy, kami bagaikan dua pejuang yang tidak kenal lelah melayani pelanggan, ratusan pelanggan. Minta ini, minta itu, lihat ini, lihat itu, dan permintaan-permintaan lain yang tidak kuingat apa, semua harus dijawab ”Iya”, dan kami berhasil. Kami dinobatkan sebagai the best cakeshop in town oleh majalah lifestyle ternama, dan puluhan penghargaan lain yang kami pajang rapi di sudut toko.

Dekorasi sederhana yang homey sangat mengundang para pembelanja yang lewat di depan toko kami, deretan sofa empuk berwarna krem hangat tampak sangat menggoda untuk sekedar duduk sebentar menyeruput ChocoHot, cokelat panas andalan kami. Lampu spot yang menerangi setiap meja semakin menghangatkan suasana dan menahanmu lebih lama di sana. Toko ini sudah hidup lima tahun, menempati tempat yang sama dan belum pernah pindah, dan tidak akan pindah. Kami menempati salah satu area paling strategis di mal kelas atas Jakarta. Pelanggan kami kebanyakan ekspatriat. Dengan citarasa internasional yang memukau, pilihan tepat untuk mereka. Kue kami menyemarakkan momen bahagia mereka.

Mal sudah mulai sepi, dan kami bersiap-siap menutup toko saat ada seseorang yang datang. Kami semua sedang ada di dapur menyelesaikan kue terakhir hari itu, yang selanjutnya akan disimpan dalam lemari pendingin untuk besok diambil oleh pelanggan. Ia terdengar tidak sabar, terdengar dari suara bel yang panjang dan berulang-ulang. Teresa keluar untuk melihat siapa yang datang dan menyuruhnya pulang karena toko sudah tutup. ”Maaf, sudah tutup. Datang besok ya.” ujarnya diiringi senyum. ”Tolong, satu pesanan saja, Please..” mohonnya. Aku mulai penasaran apa yang terjadi di luar, mengapa Tere begitu lama. ”Sorry, sudah tutup.” sambil melenggang keluar. Ia terdiam, sambil menatap mataku dalam.

Pria itu, sekitar tiga puluhan, berpakaian necis, sepertinya baru pulang kerja. Aku tebak, ia seorang karyawan KAP Broto yang berkantor di atas mal ini. ”Aku butuh buat malam ini, bisa?” sambungnya, seakan kami sudah pasti mengiyakan permintaannya. Pada akhirnya, itulah yang kami lakukan, menjawab ”Iya” diiringi senyum dan anggukan ringan. Kami terlalu terlatih untuk ini. Kami pun mempersilakan ia ikut masuk dapur selama kami bekerja, terhitung jam buka toko sudah habis, dan tidak ada pelanggan yang mengantre di depan.

Beatrice dan Stacy izin pamit pulang lebih dulu, ditunggu pacar di bawah katanya. Tinggallah aku, Teresa dan pria itu, David namanya. Teresa mulai mempersiapkan bahan dan aku melihat saja di sampingnya. Teresa lebih ahli dalam hal ini, ia akan memastikan semuanya berjalan sempurna sampai kuenya jadi. Aku cukup melihatnya saja, sudah tiga tahun terakhir tidak memegang dapur, takut ada yang terbakar. David pun cuma melihat, sambil ia bersandar di meja dapur dan mengecek blackberry-nya. Aku iseng bertanya, ”Untuk siapa sih, sampai malam-malam juga masih dikejar?” Ia masih terdiam memandangi layar kaca di tangannya, sampai aku menariknya paksa. ”Eh!” sergahnya kasar. ”Sorry!” sesalku sambil mengembalikan benda kecil bersinar itu. ”Gak apa-apa, sori tadi gak konsen.” jawabnya sambil tersenyum tipis, yang seakan dipaksakan.

Setelah percakapan itu, kami tidak terlibat dalam percakapan apapun sampai kuenya hampir selesai. ”Wangi banget ya kuenya, pantes ramai terus nih,” godanya. Aku dan Tere cuma tersenyum simpul sambil sama-sama mendengus. Terdengar getar handphone yang aku tidak tahu dari mana datangnya. Ternyata punya Tere, ia disuruh pulang sekarang, tanpa alasan. Biasanya kami pulang bersama, entah naik taksi bareng, atau naik mobilku kalau aku lagi sempat. Tere tampak tergesa, ia tidak mengatakan apa-apa, cuma terburu-buru dan segera lari keluar.

Tinggal kami berdua dan kue yang sepuluh menit lagi matang. Aku sekali lagi menanyakan pertanyaan yang tadi terganggu konsentrasi, ”Jadi, buat siapa sih kuenya?” ”Buat pacar nih. Besok Valentine, sekalian minta maaf.” jawabnya cepat. ”Oh! Besok Valentine?!” sergahku terburu. ”Kelamaan di dapur ya kamu?” tanyanya singkat tapi sarkastik. Aku cuma mendengus.

Kuenya nampak matang, siap diangkat. Kumatikan oven dan kuraih sarung tangan di atas oven untuk mengeluarkan kue. ”Nih, udah jadi. Wangi kan?” sambil aku menaruhnya di meja hias. ”Mau dihias pakai apa? Pilih sendiri deh.” ”Wah, aku gak ngerti hias-hiasan, kamu aja deh bantuin. Free of charge kan?” godanya. Menunggu kuenya dingin, aku mengambil minum, satu untukku dan satu untuknya. ”Thanks.” jawabnya singkat saat kusodorkan segelas air putih. Kue sepertinya siap dihias, aku langsung menaburkan sprinkles warna-warni di atasnya, disusul dengan icing cream yang kumasukkan dalam piping bag, dan menuliskan ”Happy Valentine’s Day” dengan tulisan yang kubuat indah. Tanpa ada persetujuan darinya, langsung kumasukkan kue dalam kotak, lalu aku mengikatnya dengan pita warna jingga.

Perjalanan pulang terasa panjang. Meskipun jalanan Jakarta sudah tampak lengang, hampir tidak ada kendaraan lain selain mobilku. Rasa kantuk yang menyerang tampaknya sulit diajak damai, semakin lama semakin dalam aku terperangkap di alam bawah sadar. Syukurlah, aku sampai rumah sebelum semuanya jadi runyam. Ada setitik pikiran yang menggantung di sudut mataku meminta dipikirkan. Tapi aku mengabaikannya, aku tidur.

Memiliki usaha kala muda mengharuskan aku terus konsentrasi pada pekerjaan, apa yang kurang baik, apa yang harus diubah, apa yang bla bla bla. Semua harus diurus sendiri kalau tidak mau ditipu. Itu prinsip yang kupegang terus sejak Papa mempercayakan aku sebagian uangnya untuk modal usaha. Jangan pernah percaya orang lain sebelum kita melihatnya sendiri. Itu pesan Papa yang terakhir ia tinggalkan sebelum pergi selamanya. Aku menjalaninya seperti itu, dan berhasil. Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku, kapan aku punya pacar? Aku sudah tidak muda lagi, hampir tiga puluh. Kejadian tadi malam seakan membangunkan pertanyaan itu kembali setelah lama aku bius total.

Hubungan serius terakhirku berakhir lima tahun lalu, tepat sebulan sebelum toko ini dibuka. Kala itu semua berjalan baik-baik saja, kami sudah sepakat akan menikah dalam satu atau dua tahun ke depan, pertunangan sudah direncanakan. Namun, kepergian Papa merubah semuanya, aku memilih untuk serius dengan usahaku dan meninggalkannya. Masih ada penyesalan sampai sekarang, bukan karena orangnya, tapi kepastiannya. Kepastian bahwa aku akan menikah.

Hari baru dimulai, belum tepat jam sembilan. Sudah banyak orang berkerumun di depan toko kami. Beatrice dan Tere nampak sudah bersiap-siap di dapur saat aku baru sampai dan menyalakan lampu etalase. Stacy nampak tergopoh dari kejauhan, ia membawa banyak sekali barang sampai-sampai kepalanya tidak terlihat. Ia kusuruh membeli bahan tambahan, untuk jaga-jaga kalau pesanan membeludak, yang kutebak pasti akan terjadi, ini hari Valentine! Tepat pukul sembilan, pelanggan mulai berangsur masuk dengan membawa slip merah sebagai tanda pengambilan kue. Aku dan Stacy yang baru selesai meletakkan barang-barang dan masih berkeringat hebat melayani. Aku menerima slip, menyesuaikan dengan catatan di komputer, lalu memberikan slip pada Stacy yang meneruskannya ke dapur. Begitu terus sampai tiga jam berlalu.

Toko sudah agak sepi, kue di lemari pendingin sudah tinggal sedikit. Ini saatnya istirahat. Ada seseorang datang membawa kue saat aku berangsur masuk ke dapur. “Hei,” panggilnya lemah, seperti tidak bersemangat. “Hei, kamu. Kenapa? Mau pesan lagi?” jawabku terkaget saat mengenali wajahnya. “Bukan, ini, eh,” ujarnya tidak jelas sambil menyerahkan kue kepadaku. Aku membawanya ke dalam dan mengajaknya masuk.

”Hey, David! Ada apa?” tanya Tere riang. Beatrice dan Stacy ikut memberikan senyum sapa. ”Ini, kuenya ditolak. Pacarku curiga aku selingkuh, katanya, karena tulisannya bukan tulisanku.” katanya sambil sendu. ”HAH?” kami berempat semua kaget, sambil menahan tawa yang hampir meledak. ”Itu kan tulisan Daisy! Hayo loh!” goda Beatrice iseng. Aku cuma terdiam.

Akhirnya, David tinggal di dapur kami lebih lama, sampai waktu kami hampir menutup toko. Ia membantu melayani pelanggan yang datang, membantu di dapur, walaupun cuma membantu melihat saja. Kami berlima menjadi cukup dekat, David orang yang mudah bergaul, walau ia agak culun, tapi ia lucu. Sebelum ia pamit pulang, blackberry-nya berdering, langsung dijawabnya tanpa melihat siapa.

”Apa? Kamu yakin? Apa gak ada jalan lain?” serentetan pertanyaan dia ajukan pada orang di seberang sana, kira-kira aku tahu lah siapa. Setelahnya, beberapa menit ia cuma bisa berdehem pelan sambil mengangguk mengerti pada orang di seberang telepon. ”Ya udah, kalo itu keputusan kamu. Aku gak bisa apa-apa lagi.” jawabnya mantap, tidak tahu kalau dibuat-buat. Beberapa detik kemudian, ia menutup telepon.

Kami berempat cuma diam, menunggu reaksi lanjutan dari pembicaraan telepon tadi. ”Ia minta putus. Cerita lama.” katanya singkat. Kami semua diam setelahnya. Pertanyaan semalam muncul lagi perlahan-lahan tanpa bisa kutahan, dia semakin kuat nampaknya. Aku memandangi mata David yang tampak kosong melihat ke luar jendela lebar yang langsung menghadap jalan raya. Kulihat ada getaran menggoda di sana, tapi belum kutangkap.

Setelah ia pamit pulang, kami berempat masih sibuk membereskan dapur. Karena besoknya toko tidak buka, kami berniat membereskannya serapi mungkin supaya besok lusa menjadi hari yang baru, tanpa sisa cucian kemarin. Sembari kami beres-beres, entah karena mereka tahu atau menebak-nebak, mereka menyerangku dengan pertanyaan yang paling kuhindari saat ini. ”Kamu suka ya, sama David?” Beatrice melepaskan tembakan pertama. ”Tapi, dia baru putus lho.” Tere yang kedua. Aku berharap Stacy menyelamatkanku karena aku sudah baik dengannya selama kami bersama – sama di kasir. ”Dia ganteng kok.” ujarnya ringan. Terima kasih, Stacy.

...13 Februari 2012
  
Hampir sama seperti tahun lalu, mendekati Valentine pasti memberi rezeki lebih buat kami. Pelanggan yang berjubel dan kerepotan yang kami hadapi terasa sesuai dengan apa yang akan kami dapat setelahnya. David ternyata punya kemampuan memasak yang cukup baik, tiga bulan lalu, aku menawarkannya untuk bekerja di toko. Dua puluh persen urusan profesional, sisanya urusan hati. Hatiku. Beatrice dan Stacy menentangnya mentah-mentah karena katanya bisa merusak workflow toko yang sudah terbentuk, Tere cuma mengangguk saja. Ini keputusanku, aku bos-nya.

Keputusanku tidak sepenuhnya salah. David bisa bekerjasama dengan baik di dapur, meringankan tugas Tere dan Beatrice. Bahkan, dia menerapkan sistem baru yang meningkatkan produktivitas toko ini. Keputusan tepat. Aku menepuk punggung sendiri. Satu-satunya kesalahan, karena ini melibatkan hati. Aku merasa diriku berbeda sejak itu. Bingung.

”Saya mau pesan customizable chocolate cake sama praline. Besok bisa diambil?” “Bisa mbak, saya catat dulu ya.” jawab Stacy dengan manis. Sebentar setelah ia selesai mencatat, merobek slip bukti, dan menyerahkannya, ia langsung masuk ke dapur. “Eh, tadi ada cewek manis banget lho! Coba liat gih, Vid.” godanya ke David. Ia cuma menjawab seadanya lalu memalingkan matanya pada mixer yang berputar cepat di depannya. Stacy ngeloyor keluar.

Malamnya, aku mencocokkan semua pesanan yang masuk dengan catatan di komputer, memastikan tidak ada yang terlewat. Mataku berhenti pada satu nama yang seakan bersinar familiar di layar komputer. ”Hmm, Denise.” gumamku pelan. Aku mencoba mengingat-ingat lagi nama itu, mengapa bisa terdengar sangat familiar di pikiranku. Sedetik setelah aku menyadarinya, Beatrice, Stacy, dan Tere keluar dari dapur dan membereskan etalase. Aku berangsur masuk ke dapur.

”HAPPY VALENTINE!” teriak David riang. Di tangannya terbaring kue cokelat bulat sempurna tanpa hiasan. ”Surprise!” katanya lagi, sambil tersenyum. Aku tidak membuat reaksi apa-apa selama tiga puluh detik, cuma berdiri mematung di tempatku. Ia mulai bingung, terlihat dari air mukanya yang mendadak pucat. Pemandangan itu menyadarkanku. ”Apa-apaan ini?” tanyaku lantang, seakan terkejut. Selanjutnya, aku tidak bisa mengontrol tindakanku dan terbawa dalam kekonyolannya.

Dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya memikirkan nama tadi, yang kutemukan di slip pesanan. Di waktu bersamaan, perasaan geli campur senang masih menyelimutiku, hasil dari surprise David tadi. Malamku terasa panjang sekali. Mataku terus terbuka dan memandang kosong ke langit-langit kamar yang kutempelkan hiasan glow in the dark yang terlihat seperti langit penuh bintang, setidaknya bagiku. Pikiranku mencari korelasi yang paling masuk akal dari penemuan-penemuanku tadi, nama itu dan surprise David. Apa yang bisa kusimpulkan? Aku tidak tidur malam itu.

Besoknya, 14 Februari, Valentine. Bukan hari yang tepat untuk melayani banyaknya pelanggan dengan mood seperti ini. Aku memutuskan untuk tidak sibuk di toko, menyerahkan semuanya pada mereka, dengan alasan simpel namun mujarab, sakit kepala. Aku mengambil tempat di sudut, untuk sekedar duduk bersandar menghirup kopi panas yang baru kubeli tadi sembari mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantui sejak malam. Siapa pemilik nama itu?

Hingga pukul tiga sore, yang artinya sudah kuhabiskan enam jam duduk diam bersandar tanpa jawaban. Kuputuskan untuk beranjak bangun dan mencoba melupakan pertanyaan yang mungkin tidak ada jawabnya itu. Kulihat ada seseorang di depan. ”Atas nama siapa?” tanya Stacy sopan. ”Denise. customized chocolate cake sama praline.” ”Baik, ditunggu sebentar ya,” jawab Stacy sambil menerima slip dan berangsur masuk dapur. Aku terduduk lagi di tempatku, setelah sempat mau beranjak, karena perempuan ini. Kutebak ini orangnya, Denise. ”Sudah siap, ayo ikut saya ke dapur.” ajak Stacy sambil perempuan itu mengikuti di belakangnya.

”David!” terdengar suara pekikan kaget yang cukup keras dari dalam dapur. Selanjutnya aku tidak dengar. Jawaban dari pertanyaan semalam yang menghabiskan malamku mulai menunjukkan batang hidungnya. ”Ia kenal David, dari mana?” muncul pertanyaan baru yang langsung membangunkan memoriku. ”Oh! Nama itu yang tertulis di gift card. Pacar David!” pikirku cepat. ”Mantan.” pikiranku meralat.

Sebelum aku memutuskan untuk masuk dapur dan melihat apa yang terjadi di dalam, Stacy dan Tere sudah menghambur keluar terlebih dulu, menyisakan Beatrice di dalam yang masih sibuk dengan mixer-nya. ”Mereka ribut besar!” teriak Tere cukup keras. ”Sampai banting-banting barang!” Stacy menimpali. Untung, sedang tidak ada pelanggan saat itu yang bisa semakin merunyamkan masalah. Cepat, aku menerobos masuk ke dapur untuk menetralkan masalah, serta dapurku yang berantakan.

”Apa-apaan ini!” teriakku lantang saat perempuan itu hampir menumpahkan seluruh adonan kue ke muka David. Kaget, ia langsung menaruhnya kembali dan ngeloyor keluar dengan air muka yang masih berapi-api. David cuma bisa diam, dan Beatrice nampak ketakutan meringkuk di sudut dapur. Aku segera menghampiri Beatrice, menenangkannya, dan menyuruhnya keluar menyusul Tere dan Stacy. Tinggallah aku dan David, dan tidak seorang pun di antara kami punya inisiatif memulai pembicaraan. Aku terlalu kesal, dan bahkan kaget untuk bisa menyusun kata-kata dengan rapi tanpa amarah. David mungkin merasa sangat bersalah dan tidak tahu harus berkata apa.

Aku akhirnya mengeluarkan dua patah kata yang sudah kususun dengan rapi sebisaku dengan nada datar. ”Ada apa?” David menunduk ke bawah, terlihat memikirkan jawaban apa yang paling tepat untukku supaya aku tidak merusak mukanya dengan mixer di sebelahku. ”Denise. Freak. Gila.” satu kata benda dan dua kata sifat yang akhirnya keluar dari mulutnya cukup memberikan penjelasan atas semua kerusakan dan kekacauan di sini. Perlahan aku mendekatinya, mencoba menenangkannya. Aku pikir, pelukan hangat akan meleburkan semuanya, pikirannya yang ruwet, rasa bersalahnya yang dapat kulihat dari seluruh tubuhnya yang bergetar, dan tangisnya yang perlahan menitik dari sudut matanya.

Pelukan itu terasa hangat. David memelukku sangat erat, sambil sesekali ia menahan isaknya yang membuatnya semakin bergetar. Aku bukannya biasa saja, aku turut merasakan pedih yang dia rasakan, entah karena tingkat empati yang kupunya, atau ia mentransfer kesedihannya lewat pelukan. Tidak masalah bagiku, bukannya baik jika kita bisa berbagi kesedihan dengan orang lain, bukan cuma kebahagiaan.

Lima menit berlalu cepat sekali, dan pelukan itu pun harus berakhir. David telah sukses meredakan semuanya, tangisnya, rasa bersalahnya, pikirannya, dan ia siap untuk hal yang baru. Aku, aku tidak meredakan apapun, malah menggairahkan lagi perasaanku padanya. Ini bukan kebetulan, mungkin sudah digariskan seperti ini, aku dan David, David dan mantan freak-nya, aku dan Stacy dkk. Aku tidak akan melawan perasaanku sekarang, semuanya terasa benar. Berdiri diam di sampingnya, memandangi tumpukan mangkuk stainless yang berserakan bersamanya, bernafas beriringan bersamanya. Getaran itu datang lagi, dan aku dengan sukarela membuka diriku untuk menerimanya. Ah, ini yang kucari, kebenaran ini.

No comments:

The Suffering Self and The Desires of Our Hearts : What It Takes to Give Ourselves Up and Getting It Back

 “What makes you, you?” That’s the question I come across tonight, in the eve of the New Year’s Eve. Considering the passing year have been ...